Oleh: M. Muhar Omtatok
Kuliner tradisional
seringkali menyimpan cerita panjang tentang jatidiri dan nilai suatu
masyarakat. Bagi suku Melayu di Sumatera Utara, salah satu warisan kuliner yang
sarat makna adalah Halua, manisan yang dibuat dari berbagai bahan alami.
Hidangan ini tidak hanya menjadi sajian pemanis lidah, tetapi juga simbol
kebersamaan dan penghormatan dalam setiap perayaan besar.
Halua biasanya hadir
dalam dua momen penting: Hari Raya Idul Fitri dan upacara perkahwinan pada adat
Nasi Hadap-Hadapan. Kehadirannya menjadi pertanda bahwa perayaan bukan hanya
soal meriah, tetapi juga mempererat silaturahmi, menjaga tradisi, dan
melestarikan kearifan tempatan; serta ‘manis untung’.
Halua:
Manis Rasa, Ragam Bentuk
Rasa halua yang manis dalam berbagai bentuk dan bahan, melambangkan “manis untung’ dalam kehidupan sesiapa yang memakannya. Manis dapat mewakili sifat-sifat baik yang harus dimiliki. Dalam konteks Melayu, "manis" juga dapat merujuk pada budi pekerti yang luhur, sopan santun, dan kebaikan hati yang seharusnya menjadi bagian dari jatidiri. Rasa "manis" pada halua terlambang kebaikan, keindahan, atau keberkahan.
Keunikan Halua terletak
pada keberagaman bahan yang digunakan. Hampir semua bisa dijadikan halua:
buah-buahan, bunga, sayuran, hingga serat tumbuhan. Proses pembuatannya pun
penuh kecermatan, seringkali melibatkan seni tebuk ukir, pilinan, hingga
pintalan.
Beberapa jenis Halua
khas Melayu di Sumatera Utara antara lain:
1. Halua
Betik (Pepaya)
• Halua Pucuk Betik – dibuat dari pucuk
batang dan daun pepaya.
• Halua Buku Bemban – daging pepaya
dibentuk menyerupai tali runjai, disimpul, dan dihias menyerupai bunga.
• Halua Selimpat – daging pepaya diolah
jadi lembaran, kemudian ditautkan hingga berbentuk empat ekor.
• Halua Tebuk Betik – pepaya yang diukir
dengan teknik halus.
• Halua Bunga Betik – dibuat dari bunga
pepaya.
• Halua Buah Muda Betik – pepaya muda
yang masih bisa dikepal dijadikan bahan utama.
2. Halua Meregat – dari buah
kolang-kaling, kenyal dan segar.
3. Halua Lada – dibuat dari cabai merah
dan hijau yang bijinya dibuang, menghasilkan kombinasi rasa pedas-manis unik.
4. Halua Paria – buah paria atau pare utuh
yang dibuang bijinya, menghadirkan rasa pahit-manis yang khas.
5. Halua Pala – buah pala dikupas,
kemudian dibentuk menyerupai bunga.
6. Halua Mawar – manisan dari bunga mawar
yang harum.
7. Halua Gelugur – buah gelugur dipotong
sesuai ruas dan diukir.
8. Halua Cekapung, Gelebuk, dan Renda –
tiga jenis halua dari buah lokal yang mulai langka.
9. Halua Kacang Panjang – kacang panjang
dipintal, menghasilkan bentuk unik.
10. Halua Benang – terbuat dari serat
tumbuhan menyerupai wol; kini jarang ditemukan.
11. Halua Kundur – manisan dari buah kundur
(bligo) yang segar.
12. Halua Inovasi Modern – seiring
perkembangan, bahan baru digunakan: wortel, tomat, belimbing, hingga lidah
buaya.
Keragaman ini menunjukkan betapa kuliner Melayu kaya inovasi, tanpa kehilangan sentuhan tradisional.
Filosofi dan Fungsi Sosial Halua
Bagi masyarakat Melayu,
Halua bukan sekadar manisan. Ia melambangkan manis untung, kemesraan,
keharmonisan, dan keindahan hidup. Dalam adat perkahwinan, Halua menjadi bagian
dari prosesi Nasi Hadap-Hadapan, yang sarat makna tentang hubungan kekeluargaan
dan persaudaraan.
Kehadirannya di Hari Raya
Idul Fitri juga memperkuat nuansa silaturahmi. Menyajikan Halua berarti membuka
pintu rumah dan hati bagi tamu yang datang, menjadikan pertemuan lebih manis
dan penuh keberkahan.
Keistimewaan:
Tahan Lama Tanpa Pengawet
Salah satu hal luar
biasa dari Halua Melayu adalah ketahanannya. Tanpa bahan pengawet aditif, Halua
bisa bertahan hingga puluhan tahun. Rahasianya terletak pada cara penyimpanan
tradisional: menggunakan pasu tanah atau balang / toples kaca. Teknik ini
menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga kualitas makanan sekaligus ramah
lingkungan.
Halua Melayu di Sumatera Utara adalah warisan kuliner yang unik, indah, dan sarat makna. Ia bukan hanya manisan, tetapi juga simbol budaya, ikatan sosial, dan kreativitas kuliner masyarakat Melayu.
Di tengah gempuran
modernitas dan kuliner instan, melestarikan Halua berarti menjaga identitas dan
warisan leluhur agar tetap hidup di meja makan generasi mendatang.*





Komentar