KERIS: REGALIA DAN SENJATA MELAYU (Sebuah Kajian Historis, Etnografis, dan Simbolik)

Oleh: M. Muhar Omtatok



Abstrak 

Keris merupakan salah satu artefak kebudayaan paling ikonik di dunia Melayu-Nusantara yang memadukan fungsi senjata, regalia, dan simbol spiritual. Asal-usulnya masih menjadi perdebatan karena keterbatasan sumber tertulis sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah “keris” telah ditemukan sejak abad ke-9 Masehi dalam prasasti-prasasti awal Nusantara. Kajian ini menelusuri perkembangan historis, fungsi sosial, dan nilai simbolik keris dalam kebudayaan Melayu, dengan menyoroti keris sebagai regalia kekuasaan serta instrumen dalam sistem hukum tradisional seperti Hukuman Salang. Pendekatan penelitian ini bersifat deskriptif-historis dengan memanfaatkan sumber-sumber primer dan sekunder, antara lain karya Gardner (1936), Raffles (1817), Maxwell (1878), dan naskah klasik seperti Hikayat Hang Tuah serta Hikayat Siak. Kajian menunjukkan bahwa keris tidak sekadar senjata tikam, melainkan lambang legitimasi, spiritualitas, dan identitas politik masyarakat Melayu dari abad ke-9 hingga kini.


1.   Pendahuluan

 

“Palis gubang bukan terebang,

Semat ada belah pun ada;

Keris dan pedang bukan sembarang,

Semangat ada  tuah pun ada”.

 

Keris menempati posisi istimewa dalam khazanah budaya Melayu dan Nusantara. Artefak ini tidak hanya berfungsi sebagai senjata, melainkan juga sebagai lambang kekuasaan (regalia), pusaka spiritual, dan identitas etnokultural masyarakat Melayu. Istilah “keris” sendiri sudah tercatat dalam prasasti abad ke-9 Masehi, meskipun bukti deskriptif yang menjelaskan bentuk dan penggunaannya baru muncul lebih jelas pada masa-masa kemudian.


Kajian ilmiah mengenai keris banyak dilakukan melalui analisis ikonografi pada relief candi, arca, maupun laporan para penjelajah Eropa abad ke-18 hingga 19, seperti John Anderson (1823) dan Frank Marryat (1848). Gardner (1936) kemudian menjadi pelopor dalam menulis monografi etnografis sistematis mengenai keris dan senjata Melayu lainnya, sementara Raffles (1817) dan Maxwell (1878) memberikan catatan penting mengenai peran keris dalam struktur sosial dan simbol kekuasaan Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaya.


Tulisan ini berupaya menelusuri asal-usul, fungsi, struktur, dan simbolisme keris dalam konteks masyarakat Melayu, khususnya di kawasan Sumatera Timur, Siak, dan Semenanjung Malaya. Selain itu, dibahas pula keris sebagai regalia kesultanan serta peranannya dalam pelaksanaan Hukuman Salang, sebuah bentuk eksekusi hukum tradisional Melayu.


2.   Asal-Usul dan Penyebaran Keris Melayu

 

Asal-usul keris tidak sepenuhnya terjelaskan. Meskipun istilah “keris” muncul sejak abad ke-9, bukti arkeologis dan tekstual yang komprehensif baru muncul antara abad ke-13 hingga 15. Beberapa ahli mengaitkan kemunculan awal keris dengan pengaruh teknologi tempa logam Jawa dan Sumatera yang berkembang di bawah pengaruh budaya Austronesia.


Menurut Gardner (1936), persebaran keris Melayu bermula dari kawasan Sumatera Timur – Saat ini pesisir timur Sumatera Utara, Riau, Deli, dan Siak - kemudian meluas ke Semenanjung Malaya. Dalam tradisi Melayu, keris dikenal dalam berbagai sebutan dan bentuk, antara lain keris panjang, keris alang, dan keris anak alang. Fungsi-fungsinya pun beragam: alat pertahanan diri, lambang kedaulatan, pelengkap busana kebesaran, hingga sarana dalam upacara keagamaan dan pengobatan tradisional.


3.   Struktur dan Terminologi Keris Melayu

 

Keris Melayu memiliki tiga bagian utama: mata (bilah), hulu (gagang), dan sarung (warangka). Masing-masing bagian memiliki terminologi khusus dalam khazanah bahasa Melayu klasik, mencerminkan tingkat penghargaan dan kerumitan simbolik terhadap senjata ini.


Beberapa istilah penting antara lain: Aring, Ganja, Pendok, Pamor, Sampir, dan Hulu tangkup bersusun. Jenis-jenis keris Melayu sangat beragam, antara lain keris berlok, keris panjang, keris teterapan, keris harubi (berhulukan emas), hingga keris sundang (berbilah lebar seperti pedang).


Keris sering kali dihubungkan dengan konsep tuah dan semangat, yang mencerminkan kepercayaan masyarakat Melayu terhadap kekuatan spiritual dalam benda pusaka. Proses pemeliharaan seperti “melimaukan” atau “memerasapkan” keris pada malam tertentu, misalnya malam 10 Muharram, mencerminkan tradisi sinkretik antara spiritualitas Islam dan kepercayaan adat lama.


4.   Keris Regalia dan Makna Kesultanan

 

Dalam sistem monarki Melayu, keris bukan hanya lambang status, tetapi juga simbol legitimasi politik. Salah satu contoh paling penting ialah Keris Panjang Diraja, yaitu keris panjang berbilah sekitar 60 cm dan lebar 6,3 cm yang digunakan dalam upacara penobatan Sultan.


Keris Panjang Diraja memiliki ciri khas: tidak berluk (lurus), ber-ganja khas Melayu, serta dihiasi kinatah (ornamen emas). Pada bagian bawah ganja terdapat lubang tempat puli enggang - simbol kharisma dan pesona Sultan. Hulu keris bermotif tangkup bersusun lima terap, melambangkan Rukun Islam dan lima waktu ibadah wajib. Simbolisme keris sebagai regalia menunjukkan bahwa kekuasaan raja dianggap memiliki dimensi sakral.


5.   Keris Bahari dan Hukuman Salang

 

Salah satu fungsi penting keris dalam sistem sosial Melayu ialah sebagai alat pelaksanaan hukum tradisional yang dikenal dengan Hukuman Salang. Jenis keris yang digunakan disebut Keris Panjang atau Keris Salang, bagian dari rumpun Keris Bahari (Sumatran kris).


Menurut Gardner (1936) dan laporan Frank Marryat (1848), eksekusi dilakukan dengan cara menikam bagian atas tulang selangka hingga menembus jantung, menyebabkan kematian seketika tanpa merusak tubuh. Algojo pelaksana hukuman ini disebut penyalang. Praktik ini tercatat di beberapa negeri Melayu, seperti Naning dan Melaka pada abad ke-18–19 (Maxwell, 1878; Newbold, 1839).


Hukuman Salang mencerminkan sistem hukum adat Melayu yang menekankan keseimbangan antara kehormatan, keadilan, dan kesucian tubuh manusia.


6.   Simbolisme, Tuah, dan Petua Keris

 

Dalam kebudayaan Melayu, keris bukan saja dianggap sebagai senjata atau alat pertahanan diri, tetapi juga sebagai medium penentu nasib dan keberuntungan pemiliknya. Setiap bilah keris diyakini memiliki “semangat” atau “penunggu” tersendiri, yang dapat mempengaruhi rezeki, keselamatan, dan kewibawaan seseorang. Oleh itu, masyarakat Melayu lama telah mengembangkan pelbagai petuah atau aturan tradisional untuk menilai tuah sesebuah keris.

Tradisi ini memperlihatkan perpaduan antara sistem simbolik, spiritualitas, dan psikologi kolektif masyarakat Melayu dalam memaknai benda pusaka. Kaedah penentuan tuah keris dilakukan melalui pengukuran ibu jari, bilangan hitungan tertentu, dan ungkapan simbolik yang diwariskan secara turun-temurun oleh orang-orang tua Melayu.


Berikut antara petua tradisional Melayu untuk menilai tuah dan kesesuaian sesebuah keris atau senjata tajam dengan pemiliknya:


Petuah 1: Menilai Tuah Berdasarkan Sebutan Tradisional

1.    Besi betat – tidak tepakai (tidak sesuai).

2.    Besi miang – tidak baik.

3.    Anakanda tangisan – tidak baik.

4.    Petang-petang kekanda datang – membawa ramai sahabat dan kawan (baik).

5.    Emas sekupang jatuh keriba – membawa pelaris dan rezeki (amat baik).

Petua ini mencerminkan keyakinan bahawa setiap besi memiliki “tuah” tersendiri, dan kombinasi kata-kata tersebut melambangkan harapan serta akibat spiritual yang mungkin timbul dari kepemilikan senjata tersebut.


Petuah 2: Berdasarkan Ucapan dan Simbol Air

1.    Bismillah – membawa kebaikan.

2.    Air penuh melimpah – pelaris dan keberkatan.

3.    Kumbang terbang – tidak baik.

4.    Mani' setitik – bersifat pengasih.

Dalam konteks ini, air melambangkan rezeki dan kehidupan, sementara “Bismillah” menunjukkan keberkatan Ilahi yang memayungi pemilik keris.


Petuah 3: Menggunakan Ukuran Ibu Jari

Keris diukur dari pangkal hingga ke pucuk bilah menggunakan ibu jari tangan. Setiap penempatan ibu jari dikaitkan dengan sebutan berikut:

1.    Raja – paling baik.

2.    Menteri – baik.

3.    Hulubalang – baik.

4.    Habodi (Hamba suruhan) – tidak sesuai.

Jika hitungan terakhir jatuh pada “Raja”, keris itu dianggap sangat bertuah kepada tuannya, membawa marwah dan kedudukan tinggi.


Petuah  4: Penghitungan Tangan Kanan dan Kiri

1.    Mulakan dengan ibu jari kiri pada pangkal mata keris.

2.    Letakkan ibu jari kanan di atas ibu jari kiri.

3.    Ulangi hingga sampai ke pucuk bilah.

Jika hitungan terakhir jatuh pada ibu jari kiri, maka keris itu bertuah kepada tuannya. Sebaliknya, jika jatuh pada ibu jari kanan, keris tersebut akan membawa ketidakelokan atau kesialan.


Namun, bagi orang kidal, aturan ini dibalik - mereka harus memulakan hitungan dengan
ibu jari tangan kanan.


Petuah 5: Ucapan Simbolik Setiap Sukatan

Setiap kali ibu jari diletakkan pada bilah keris, sebutkan kata berikut secara berurutan:

1.    Raja

2.    Pahlawan

3.    Perempuan

4.    Habodi orang

Jika hitungan terakhir jatuh pada:

·         Raja → tuah besar, membawa kemasyhuran dan kekuasaan.

·         Pahlawan → membawa keberanian dan kedudukan.

·         Perempuan → pelaris rezeki dan kejayaan dalam perniagaan.

·         Habodi orang → tidak sesuai, disarankan tidak menyimpan keris tersebut.

Petua ini menggambarkan sistem taksonomi sosial Melayu, di mana konsep status, rezeki, dan kehormatan diproyeksikan melalui simbol linguistik.




Petuah  6: Kaedah “Ular Berang”

Kaedah ini juga menggunakan ibu jari tangan, namun pada setiap penempatan ibu jari disebutkan kata-kata berikut:

1.    Ular berang

2.    Meniti riak

3.    Riak dititi gelombang tujuh

4.    Karam di laut

5.    Timbul di darat

6.    Habis hutang

7.    Berganti hutang

8.    Hutang lama tidak terbayar

Jika hitungan terakhir jatuh pada:

·         Ular berang, Meniti riak, atau Habis hutang → membawa kebaikan dan ketenangan hidup.

·         Riak dititi gelombang tujuh → dianggap tuah terbaik, melambangkan keseimbangan antara darat dan laut, dunia dan akhirat.

·         Berganti hutang → membawa kesialan kecil.

·         Karam di laut atau Hutang lama tidak terbayarpetanda buruk, disarankan agar keris tidak disimpan.

Petuah ini menunjukkan hubungan antara kosmologi Melayu dengan simbol air dan laut, di mana kehidupan dianggap sebagai pelayaran spiritual yang penuh ujian dan petanda.


Secara keseluruhan, sistem petuah dan tuah keris bukanlah sekadar bentuk kepercayaan mistik, tetapi manifestasi falsafah keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan ghaib. Ia juga menjadi alat introspeksi diri - bagaimana seseorang menilai dirinya dalam konteks nasib, tanggungjawab, dan rezeki.

Melalui petuah-petuah ini, masyarakat Melayu mengekspresikan pandangan hidup yang menggabungkan adat, agama, dan spiritualitas tradisional, menjadikan keris bukan sekadar senjata, tetapi penjelmaan roh kebudayaan Melayu itu sendiri.


 

7. Bahagian-Bahagian Keris Menurut Kaidah Melayu

 Aring -- Kerawang di pangkal mata keris,

Balang -- Bahagian sarung keris yang lurus,

Batir-batir -- Perhiasan pada tuli-tuli keris yang dibuat daripada emas,

Biji timun -- Sejenis ukiran, sejenis garis-garis pada mata pisau (keris),

Bunga pamor -- Lukisan pada keris kerana waja putih yang ditempa pada bilah keris,  

Cincin pacat kenyang -- Cincin yang besar dan tebal pada satu bahagian (dipakai untuk melindungi jari sewaktu memegang keris),

Dagu keris -- Hujung ganja keris, Gandik -- Perhiasan pada hulu keris

Ganja -- Bahagian keris di antara mata dan hulunya – yang terdiri: Ganja datang = ganja rawan -- Ganja yang dilekatkan pada bilahnya,  Ganja iras = ganja menumpu -- Ganja yang bersambung dgn bilahnya.

Kurai -- Corak (gambar, barik-barik) pada bilah keris dan lain-lain yang berpamor,

Lambai gajah -- Bahagian mata keris (yang terletak di bawah dagu keris),

Landaian -- Hulu keris,

Kelok -- liku pada mata keris,

Merubi -- Bentuk hulu keris yang seperti ubi,

Paksi -- Puting (bahagian keris dan lain-lain) yang masuk ke dalam hulunya,

Panjut -- Warna putih pada hujung mata keris,

Pendongkok / Dongkok keris -- Gelang-gelang antara hulu dan bilah keris, pemendak (dulang-dulang) keris. Kedongkok. Pemendak,

Penduk -- Penyalut pada sarung keris daripada emas (perak dan lain-lain).Terapan,

Penongkok -- Emas dan lain-lain yang disalut pada hulu keris,

Pestaka -- Kuasa buruk atau baik yang ada pada keris (lembing dan lain-lain),

Sampir -- Bahagian sarung keris yang di atas sekali, Warangka (Jawa),

 Sigi -- Gelang-gelang daripada besi dan lain-lain (untuk me­nguatkan pegangan hulu pada puting keris dan lain-lain), temin,

Tebu-tebu -- Gelang-gelang (pada batang tombak, hulu keris, dan lain-lan),

Tuli-tuli -- Sejenis tali (daripada benang sutera, emas, perak, rotan, dan lain-lain) untuk melekatkan sarung keris pada tali pinggang.



8. Jenis Jenis Penamaan Keris Melayu

Secara umum, jenis keris Melayu, adalah:

·       Keris (anak) alang -- Keris yang sederhana panjang bilahnya. Alang yang lebih pendek disebut Anak alang.

·       Keris (hulu) pekaka, Selindit, Jau Deman  dan lain lain  -- Sejenis keris yang dilihat dari hulunya, misalnya hulu pekaka (hulunya berbentuk kepala burung pekaka).

·       Keris alang -- Keris yang sedang atau sederhana panjangnya. Jika Alang diraja merupakan keris panjang.

·       Keris berapit -- Keris yang pada sarungnya dibubuhi dawai mas atau perak.

·       Keris berlok (berkeluk) -- Keris yang berkeluk-keluk (tidak lurus) bilahnya. Jumlahnya tak banyak di Melayu.

·       Keris cerita -- Keris yang bilahnya berkeluk sembilan atau lebih.

·       Keris ganja seiras -- Keris sepukal (keris yang hulu dan matanya dibuat daripada besi yang satu).

·       Keris harubi / Keris merubi / Keris bawang sebungkul -- Sejenis keris yang berhulukan emas (khas untuk raja-raja).

·       Keris kalamisani -- merip keris Jawa (yang lebar, lurus dan berkeluk-keluk di pangkalnya). 

·       Keris melela -- Keris yang tidak berpamor.

·       Keris pandak (pendek) -- Keris yang pendek bilahnya.

·       Keris panjang -- Keris yang panjang bilahnya.

·       Keris parung -- Sari keris yang berlok-lok dan berbentuk ular.

·       Keris parung sari -- Keris yang bilahnya berkeluk tujuh atau kurang.

·       Keris penjawat -- Sejenis keris yang dipakai petugas istana.

·       Keris setanggi -- Sejenis keris untuk beberapa hal misalnya memberantas kejahatan, beraroma harum dan sebagainya. 

·       Keris pendua -- Keris yang digunakan sebagai keris cadangan/pendamping (bukan keris utama).

·       Keris penyalang / Keris salang -- Keris yang digunakan untuk menyalang (sebagai menjalankan hukuman bunuh). 

·       Keris sempana -- Keris yang dimaknai harapan lurus , ada yang berluk bilahnya hingga tujuh atau sembilan. Mengandung ipoh.

·       Keris sempena -- keris yang berkeluk tiga, lima, atau tujuh dan dipercaya dapat mendatangkan keselamatan kepada pemiliknya. 

·       Keris sepungal -- a) keris ganja iras; b) keris yang lurus matanya atau bilahnya (bukan keris yang berlok).

·       Keris sundang -- Sejenis keris yang lebar bilahnya seperti bilah pedang.

·       Keris tempa -- Keris buatan, misalnya Keris tempa padang (keris buatan tebing tinggi).

·       Keris teterapan -- Keris yang beralur panjang di tengah-tengah bilahnya.

·       Keris wasiat -- Keris pusaka peninggalan moyang.

·       Petaram -- (sastera lama) Sejenis keris kecil yang dipakai oleh perem­puan.

·       Senderik -- Sejenis keris pendek.

·       Selit – Keris apapun yang diselitkan atau diletakan di perut bawah, biasanya sebelah kiri kain sampan; bukan keris panjang.

 


9.   Kesimpulan

 

Keris dalam kebudayaan Melayu bukan semata-mata senjata, melainkan manifestasi dari sistem nilai, kepercayaan, dan struktur sosial yang kompleks. Ia berfungsi sebagai regalia, pusaka, dan alat hukum, sekaligus menjadi lambang kedaulatan dan spiritualitas bangsa Melayu. Kajian historis menunjukkan bahwa keris telah berkembang sejak abad ke-9 dan mencapai puncak kejayaan pada abad ke-14–16, bersamaan dengan kemakmuran kerajaan-kerajaan Melayu seperti Malaka, Sumatera Timur dan Riau-Lingga. Hingga kini, keris tetap hidup sebagai simbol identitas budaya dan estetika, menegaskan kesinambungan tradisi Melayu dalam dunia modern.*



Daftar Pustaka

·       Anderson, J. (1823). Mission to the East Coast of Sumatra. London: Blackwood.

·       Gardner, G. B. (1936). Keris and Other Malay Weapons. Singapore: Progressive Publishing.

·       Groneman, I. (1910–1913). Der Kris der Javaner. Internationales Archiv für Ethnographie.

·       Huyser, J. G. (1916–1918). Het vervaardigen van krissen. Internationales Archiv voor Ethnographie.

·       Maxwell, W. E. (1878). Perak and the Malays: Sarong and Kris. Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society.

·       Marryat, F. (1848). Borneo and the Indian Archipelago. London: Longman, Brown, Green, and Longmans.

·       Newbold, T. J. (1839). Political and Statistical Account of the British Settlements in the Straits of Malacca. London.

·       Raffles, T. S. (1817). The History of Java. London: Black, Parbury & Allen.

·       Schmeltz, J. D. E. (1890). Indonesische Prunkwaffen. Internationales Archiv für Ethnographie.

·       Hikayat Hang Tuah. (ed. W. G. Shellabear, 1908). Singapore: Methodist Publishing House.

·       Hikayat Siak (naskah abad ke-19, edisi modern).

·       Sejarah Melayu / Malay Annals (ed. John Leyden, 1821).

Komentar

Unknown mengatakan…
Assalamualaikum,
Maaf saya mau tanya apakah keris diatas juga dijual ato bisa dipesan.
Terimakasih.

Salam tuan.