Dato' Usman Awang
(1929–2001) dikenali sebagai salah seorang sasterawan Melayu terkemuka dari
Malaysia. Beliau banyak menulis puisi, drama, dan cerpen yang mengangkat tema
kemanusiaan, cinta, persaudaraan, dan perjuangan rakyat. Wan Osman bin Wan Awang atau yang popular Dato' Usman Awang
adalah tokoh sentral dalam sastra Melayu modern, yang karyanya berciri khas
dengan karya yang halus, puitis, dan penuh kemanusiaan, simpati terhadap
golongan bawahan dan isu sosial, serta menggunakan bahasa yang indah dan sarat
makna. Ia diakui secara luas melalui penganugerahan gelar Sastrawan
Negara dan penghargaan internasional.
“Melayu”
Melayu
itu orang yang bijaksana
Nakalnya
bersulam jenaka
Budi
bahasanya tidak terkira
Kurang
ajarnya tetap santun
Jika
menipu pun masih bersopan
Bila
mengampu bijak beralas tangan.
Melayu
itu berani jika bersalah
Kecut
takut kerana benar,
Janji
simpan di perut
Selalu
pecah di mulut,
Biar
mati adat
Jangan
mati anak.
Melayu
di tanah Semenanjung luas maknanya:
Jawa
itu Melayu, Bugis itu Melayu
Banjar
juga disebut Melayu, Minangkabau
memang
Melayu,
Keturunan
Acheh adalah Melayu,
Jakun
dan Sakai asli Melayu,
Arab
dan Pakistani, semua Melayu
Mamak
dan Malbari serap ke Melayu
Malah
mua’alaf bertakrif Melayu
(Setelah
disunat anunya itu)
Dalam
sejarahnya
Melayu
itu pengembara lautan
Melorongkan
jalur sejarah zaman
Begitu
luas daerah sempadan
Sayangnya
kini segala kehilangan
Melayu
itu kaya falsafahnya
Kias
kata bidal pusaka
Akar
budi bersulamkan daya
Gedung
akal laut bicara
Malangnya
Melayu itu kuat bersorak
Terlalu
ghairah pesta temasya
Sedangkan
kampung telah tergadai
Sawah
sejalur tinggal sejengkal
tanah
sebidang mudah terjual
Meski
telah memiliki telaga
Tangan
masih memegang tali
Sedang
orang mencapai timba.
Berbuahlah
pisang tiga kali
Melayu
itu masih bermimpi
Walaupun
sudah mengenal universiti
Masih
berdagang di rumah sendiri.
Berkelahi
cara Melayu
Menikam
dengan pantun
Menyanggah
dengan senyum
Marahnya
dengan diam
Merendah
bukan menyembah
Meninggi
bukan melonjak.
Watak
Melayu menolak permusuhan
Setia
dan sabar tiada sempadan
Tapi
jika marah tak nampak telinga
Musuh
dicari ke lubang cacing
Tak
dapat tanduk telinga dijinjing
Maruah
dan agama dihina jangan
Hebat
amuknya tak kenal lawan
Berdamai
cara Melayu indah sekali
Silaturrahim
hati yang murni
Maaf
diungkap senantiasa bersahut
Tangan
diulur sentiasa bersambut
Luka
pun tidak lagi berparut
Baiknya
hati Melayu itu tak terbandingkan
Selagi
yang ada sanggup diberikan
Sehingga
tercipta sebuah kiasan:
“Dagang
lalu nasi ditanakkan
Suami
pulang lapar tak makan
Kera
di hutan disusu-susukan
Anak
di pangkuan mati kebuluran”
Bagaimanakah
Melayu abad dua puluh satu
Masihkan
tunduk tersipu-sipu?
Jangan
takut melanggar pantang
Jika
pantang menghalang kemajuan;
Jangan
segan menentang larangan
Jika
yakin kepada kebenaran;
Jangan
malu mengucapkan keyakinan
Jika
percaya kepada keadilan.
Jadilah
bangsa yang bijaksana
Memegang
tali memegang timba
Memiliki
ekonomi mencipta budaya
Menjadi
tuan di negara Merdeka.
Puisi bertajuk ‘Melayu’
karya Dato' Usman Awang di atas sangat popular, menggambarkan jatidiri dan
keperibadian orang Melayu.
Isi atau makna utama
dalam puisi ini merupakan ‘Jatidiri Melayu’. Dato' Usman Awang melukiskan orang
Melayu yang berpegang pada nilai sopan santun, budi bahasa, hormat kepada orang
tua, dan kuat beragama. Sikap hidup Orang Melayu digambarkan sebagai masyarakat
yang mesra, ramah, terbuka, tetapi juga berani bila marwah dicabar. Nilai kemanusiaan
dalam puisi ini menekankan sifat Melayu yang mengutamakan persaudaraan,
gotong-royong, dan cinta damai, tetapi tidak lemah dalam mempertahankan haknya.
Agaknya pesanan moral
yang mau disampaikan Dato' Usman Awang adalah agar orang Melayu senantiasa bangga
dengan akar budaya, tetapi dalam waktu yang sama terbuka untuk menerima dan
mampu berkompetisi dalam keberagaman.
Jika dianalisis gaya bahasa,
ia ada mengutip beberapa petuah dan tunjuk ajar nenek moyang Orang Melayu,
contohnya ciri ‘anak siarahan’ dalam petuah Melayu yaitu “Dagang lalu nasi
ditanakkan, suami pulang lapar tak makan, kera di hutan susukan, anak di
pangkuan mati kebuluran”. Petuah ini
mengingatkan tunjuk ajar ‘Berbuat baik dipada-pada, berbuat jahat jangan
sekali.
Pengulangan atau
repetisi kata “Melayu itu…” berulang untuk menegaskan ciri-ciri Melayu yang ia
maksud. Karena ia ada menyebut batasan Melayu sebagai bangsa di Tanah Semenanjung,
di sisi lain ia mengarah Melayu secara Etnisitas, dengan konsep sosial yang
mengacu pada jatidiri sekelompok orang
yang memiliki kesamaan ciri-ciri budaya dan sosial, yang sama ada di Sumatera,
Brunei, serta wilayah Melayu lainnya. Metafora yang digunakan untuk memberi
gambaran mendalam tentang jiwa dan sikap orang Melayu secara etnisitas yang
berbudaya. Dalam sajak ini juga mengarahkan bahwa Islam sebagai identitas kultural
Melayu, bukan cuma ikatan nasab. Nada dalam persajakan yang penuh kasih sayang,
keinsafan, dan kebanggaan.*(M Muhar
Omtatok)

Komentar