Rumah Panggung Melayu: Kajian Arsitektur, Nilai Budaya, dan Filsafat Hidup Melayu

Oleh: M. Muhar Omtatok

 Pendahuluan


Rumah panggung Melayu merupakan salah satu warisan arsitektur tradisional tertua di kawasan Nusantara.
Ia bukan hanya bangunan tempat tinggal, melainkan lambang peradaban, identitas sosial, dan manifestasi falsafah hidup orang Melayu.
Sebagai bentuk arsitektur yang hidup di wilayah pesisir, sungai, dan rawa, rumah panggung Melayu mencerminkan adaptasi ekologis, spiritual, dan sosial yang cermat terhadap lingkungan tropis.

Kajian Teori dan Konsep Arsitektur Tradisional


Secara teoritis, rumah panggung Melayu berada dalam rumpun arsitektur vernakular tropis, yaitu bangunan yang lahir dari kebutuhan lokal dengan bahan, teknologi, dan budaya setempat.


Menurut teori arsitektur vernakular yang dipaparkan oleh Paul Oliver (1997), rumah tradisional memiliki tiga karakteristik utama: 

·       Adaptif terhadap lingkungan: Rumah tradisional dirancang untuk beradaptasi dengan kondisi geografis, iklim, dan sumber daya alam setempat.

·       Memiliki nilai simbolik dan sosial: Rumah tradisional adalah manifestasi dari budaya, kepercayaan, dan struktur sosial masyarakatnya.

·       Dibangun melalui tradisi kolektif masyarakat: Rumah-rumah ini dibangun oleh masyarakat atau pemiliknya menggunakan metode, teknik, dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. 

 


Struktur dan Unsur Arsitektur Rumah Panggung Melayu


Rumah Melayu umumnya berbentuk panggung tinggi yang ditopang oleh tiang-tiang kayu keras seperti kayu meranti, nibung, atau cengal.
Tinggi rumah dari ompak ke lantai antara 1,5 hingga 3 meter, atau disesuaikan dengan kondisi banjir dan rawa.

Bentuk atap bervariasi: limas, gonjong, panjang, lancang atau lentik, bahkan ada  biduk. Di wilayah Riau dan Sumatera Timur dikenal atap lontik (melengkung ke atas), sedangkan di Semenanjung Malaysia dikenal bumbung panjang.
Bagian-bagian utama rumah secara umum meliputi tangga, serambi, rumah ibu, ruang dapur, dan kolong rumah - masing-masing memiliki fungsi sosial dan simbolik tersendiri.


Filsafat dan Nilai Budaya


Filsafat rumah panggung Melayu mencerminkan tata nilai sosial dan keagamaan masyarakatnya.
Tinggi rumah melambangkan martabat keluarga, arah rumah biasanya menghadap sungai atau kiblat, tiang seri ditanam dengan doa adat, dan ukiran flora seperti pucuk rebung melambangkan pertumbuhan serta ketuhanan.

Dalam falsafah budaya Melayu disebutkan:  Tinggi tidak melangit, rendah tidak menyembah bumi” yang menjadikan setiap unsur rumah memiliki makna spiritual dan moral.


Dalam petuah kuno Melayu mengenai bangunan, disebutkan:

“Sepasang tajuk di ujung

Sepasang tajuk di pangkal

Tajuk pembangkit seri pelangi

Membangkit cahaya di bumi

Membangkit cahaya di langit

Membangkit cahaya di laut

Membangkit cahaya di dalam rumah

Nan peduli mendapat tuah”.

 

Tajuk dalam arsitektur Melayu merujuk pada puncak atau atap - bagian paling tinggi dari rumah, biasanya pada hujung bumbung (ujung atap).

“Sepasang tajuk di ujung” dan “sepasang tajuk di pangkal” bisa menggambarkan dua sisi atap rumah Melayu (bumbung panjang, lipat kajang, atau perabung lima) yang memiliki keseimbangan dan keserasian - simbol langit dan bumi, laki-laki dan perempuan, asal dan tujuan.

Dalam filosofi Melayu, keseimbangan ini mencerminkan adat dan syarak yang berpadu.

 “Tajuk pembangkit” mungkin menunjuk pada perabung utama, yakni puncak atap yang menjadi “tulang belakang” bangunan.

“Seri pelangi” mengandung makna keindahan, cahaya, dan harmoni warna - bisa juga melambangkan keberagaman dan keselarasan anasir atau unsur alam,  misalnya air, api, angin, tanah, dan kayu.

Sehingga  bagian puncak rumah ini bukan sekadar struktur, tapi pusat energi dan simbol pencerahan.

 “Membangkit cahaya di bumi, Membangkit cahaya di langit, Membangkit cahaya di laut, Membangkit cahaya di dalam rumah”

Ini menggambarkan fungsi spiritual dan sosial rumah Melayu:

“Cahaya di bumi” merupakan tempat berpijak, kehidupan sehari-hari, kerja dan nafkah.

“Cahaya di langit” merupakan  hubungan dengan Ilahi, doa, dan restu.

“Cahaya di laut” merupakan  rezeki dan perjalanan, karena orang Melayu erat dengan dunia bahari serta kosmologi.

“Cahaya di dalam rumah” merupakan  kasih sayang, ilmu, dan silaturahmi keluarga.

Kesemuanya menunjukkan rumah sebagai mikrokosmos, tempat bertemunya unsur duniawi dan ilahi.

 “Nan peduli mendapat tuah.”

Pesan terakhir ini adalah inti petuah: siapa yang menjaga dan memahami keseimbangan bangunan ini, secara fisik dan batin,  akan memperoleh tuah - keberkahan, keselamatan, dan kesejahteraan.

Petuah ini menegaskan bahwa rumah (atau bangunan) bukan sekadar tempat tinggal, tetapi wadah energi, nilai, dan doa.
Ia dibangun dengan kesadaran terhadap:

·       -  keseimbangan alam,

·       -  arah dan tata letak yang selaras,

·       -  simbolisme spiritual pada tiap bagian,dan

·       -  rasa syukur terhadap pencipta.

Sehingga petuah ini menggambarkan falsafah arsitektur Melayu di mana setiap tajuk, tiang, dan ruang bukan hanya struktur fisik, melainkan manifestasi keseimbangan kosmos dan sumber tuah bagi penghuninya.

 


Ragam Rumah Panggung Melayu di Berbagai Wilayah


Setiap wilayah memiliki variasi arsitektur Melayu: Rumah Lontik di Riau, Rumah Kajang Lako di Jambi, Rumah Limas di Palembang, Rumah Bumbung Panjang di Malaysia, hingga Rumah Melayu Sambas di Kalimantan Barat.
Semua serumpun dalam nilai dan fungsi sosial.

a. Rumah Melayu Sumatera Utara

  • Lokasi: Deli Serdang, Langkat, Medan, sekitarnya.
  • Ciri khas:
    • Berdiri di atas tiang kayu nibung atau kayu keras, sekitar 1,5–2 meter dari tanah.
    • Bentuk atap limas panjang atau lipat kajang. Di utara Medan ditemukan atap lontik.
    • Tangga depan berhiaskan ukiran flora seperti bunga teratai dan sulur bayur.
    • Ruang tengah luas untuk menerima tamu, menunjukkan sifat terbuka masyarakat Melayu.
  • Makna: Menunjukkan kemakmuran dan tata kehidupan yang berlandaskan adat dan Islam.

 

b. Rumah Melayu Riau

  • Lokasi: Riau Daratan (Pekanbaru, Siak, Kampar).
  • Ciri khas:
    • Disebut juga Rumah Lontik atau Rumah Lipat Kajang.
    • Atapnya berbentuk melengkung seperti tanduk atau mirip biduk terbalik - melambangkan hubungan erat orang Melayu dengan air dan tetap menyatukan diri pada ilahiah.
    • Hiasan ukirannya sarat makna filosofis: “pucuk rebung”, “awan larat”, dan “tampuk manggis”. Terdapat Selembayung .
    • Ruang dibagi tiga: serambi depan (tamu), rumah ibu (keluarga), dan serambi belakang (dapur).
  • Makna: Simbol keseimbangan, kesopanan, dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga.

 

c. Rumah Melayu Riau Kepulauan (Kepulauan Riau)

  • Lokasi: Batam, Bintan, Lingga, Karimun.
  • Ciri khas:
    • Didirikan di tepi pantai, sering di atas air.
    • Tiang-tiang kayu nibung menyesuaikan pasang surut laut.
    • Dinding papan dan atap nipah agar ringan dan mudah diperbaiki.
    • Terdapat serambi laut untuk menambat perahu — menunjukkan adaptasi dengan kehidupan maritim. Terdapat tunjuk langit di bagian depan bubung.
  • Makna: Rumah sebagai tempat singgah dan bernaung, bukan milik bumi semata, tapi bagian dari siklus alam laut.

 


d. Rumah Melayu Jambi

  • Lokasi: Kota Jambi, Muaro Jambi, dan sekitarnya.
  • Ciri khas:
    • Bentuk rumah panggung tinggi dengan tangga dari depan.
    • Dikenal Rumah Kajang Lako (rumah raja atau bangsawan).
    • Atap tumpang dua dengan ujung melengkung, sering berhiaskan tanduk kijang atau burung serindit.
    • Dinding miring sedikit ke luar, memberi kesan anggun.
  • Makna: Melambangkan martabat, wibawa, dan keseimbangan antara dunia manusia dan alam gaib.

 


e. Rumah Limas Palembang (Sumatera Selatan)

  • Lokasi: Palembang dan sekitarnya.
  • Ciri khas:
    • Meskipun tidak sepenuhnya rumah panggung tinggi, tetap bertiang dan bertingkat (limasan).
    • Memiliki joglo bertingkat lima yang disebut “kekijing” - menandakan strata sosial penghuni.
    • Ukiran kayunya halus dan mewah, terutama di bagian dinding dan tangga.
  • Makna: Melambangkan hirarki, kemuliaan, dan keteraturan sosial masyarakat Melayu Palembang.

 

f. Rumah Melayu Bengkulu

  • Ciri khas:
    • Rumah panggung dengan tiang kayu gelam atau meranti.
    • Tangga depan disebut tangga rajo (tangga raja).
    • Atap pelana sederhana dengan dinding papan horisontal.
    • Ventilasi banyak untuk menyesuaikan iklim lembap pantai barat Sumatera.
  • Makna: Simbol kesederhanaan, keterbukaan, dan adaptasi terhadap lingkungan pesisir.

g. Rumah Melayu Tebingtinggi, Batubara, Asahan hingga Labuhanbatu Perbatasan Sumut–Riau

  • Ciri khas:
    • Kombinasi gaya Melayu Sumatera Timur.
    • Ada pula  “rumah bertiang dua belas” - melambangkan kekuatan dan keseimbangan.
    • Ornamen banyak menggunakan warna kuning keemasan, simbol kemuliaan Melayu.
  • Makna: Rumah sebagai pusat adat dan lambang kehormatan keluarga.

h. Rumah Melayu Pontianak

  • Lokasi: Kota Pontianak dan daerah sepanjang Sungai Kapuas.
  • Ciri khas:
    • Rumah panggung tinggi dari kayu ulin atau belian, karena daerah ini sering tergenang air pasang sungai.
    • Berdiri di atas tiang-tiang yang disebut tiang tongkat dengan ketinggian 1,5–2,5 meter.
    • Dinding dari papan horisontal, atap pelana dari seng atau sirap.
    • Serambi depan luas, sering digunakan untuk menerima tamu atau berdagang.
    • Tangga utama disebut tangga serambi - melambangkan keterbukaan dan keramahan.
  • Makna: Rumah ini menunjukkan hubungan harmonis manusia dengan sungai, yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Pontianak.

 

i. Rumah Melayu Sambas

  • Lokasi: Kabupaten Sambas, daerah bersejarah Kesultanan Sambas.
  • Ciri khas:
    • Memiliki bentuk rumah panggung besar dengan tiang tinggi dan ruang tengah luas.
    • Atap berbentuk limas panjang atau lipat kajang.
    • Ujung atap (tajuk) dihiasi ornamen awan larat, pucuk rebung, dan bunga tanjung — ukiran khas Melayu Sambas.
    • Tangga dan serambi depan merupakan lambang penyambutan dan penghormatan tamu.
    • Ruangan dibagi tiga: serambi luar (tamu), rumah ibu (keluarga), dan serambi dapur (aktivitas perempuan).
  • Makna: Melambangkan nilai kesopanan, martabat, dan tatanan sosial Melayu Sambas yang berakar dari istana dan adat kesultanan.

 

j. Rumah Melayu Mempawah

  • Lokasi: Daerah Kesultanan Mempawah, di pesisir barat laut Kalimantan Barat.
  • Ciri khas:
    • Bentuk rumah panggung persegi panjang dengan tangga kayu di tengah depan.
    • Bumbung berbentuk limas, agak curam, untuk menahan hujan deras.
    • Terdapat serambi gantung di depan rumah sebagai tempat bersantai atau menerima tamu ringan.
    • Kayu utama biasanya dari ulin atau belian, dan dinding dari papan atau kulit kayu tebal.
  • Makna: Menunjukkan sifat beradat, terbuka, dan bersahaja, sesuai dengan karakter masyarakat Mempawah yang religius dan berpegang pada adat Melayu Islam.

 

l. Rumah Melayu Ketapang

  • Lokasi: Kabupaten Ketapang dan sekitarnya (pesisir selatan Kalbar).
  • Ciri khas:
    • Rumah panggung dengan bentuk lebih sederhana, mengikuti gaya rumah nelayan dan petani pesisir.
    • Atap pelana atau perabung ganda dari daun nipah atau rumbia.
    • Dinding papan vertikal, banyak ventilasi untuk sirkulasi udara tropis.
    • Lantai dibuat dari papan berjarak kecil agar air bisa mengalir saat banjir.
  • Makna: Simbol adaptasi terhadap lingkungan pesisir dan kehidupan sederhana masyarakat nelayan Melayu.

m. Rumah Melayu Singkawang

  • Lokasi: Daerah pesisir utara, dekat dengan komunitas Tionghoa dan Dayak.
  • Ciri khas:
    • Menampilkan perpaduan arsitektur Melayu dan Tionghoa.
    • Rumah panggung rendah dengan serambi depan beratap panjang, menyerupai toko rumah.
    • Hiasan pada jendela dan tiang sering berwarna cerah, seperti merah, hijau, dan emas.
    • Terkadang ada ornamen naga atau bunga teratai — hasil akulturasi budaya.
  • Makna: Menunjukkan toleransi dan keterbukaan budaya Melayu pesisir terhadap pengaruh luar.

 

n. Rumah Melayu Kapuas Hulu

  • Lokasi: Wilayah hulu Sungai Kapuas, perbatasan dengan Sarawak.
  • Ciri khas:
    • Rumah panggung tinggi, kadang dibangun sejajar dengan sungai.
    • Struktur mirip rumah panjang Dayak, tapi dengan tata ruang dan nilai Melayu.
    • Terbuat dari kayu keras lokal seperti meranti, ulin, atau belian.
    • Atap pelana sederhana dengan bahan seng atau sirap.
  • Makna: Melambangkan perpaduan dua tradisi — Melayu sungai dan Dayak hulu — dalam harmoni sosial dan spiritual.

 


Fungsi Sosial dan Adat

Rumah tradisional Melayu tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi pusat kehidupan sosial masyarakat. Di dalamnya berlangsung berbagai kegiatan yang mempererat hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan, seperti musyawarah, kenduri, serta gotong royong. Serambi depan sering digunakan untuk menerima tamu dan menggelar pertemuan adat, sementara ruang tengah menjadi tempat berkumpul keluarga dan melaksanakan doa bersama. Pembagian ruang dalam rumah pun mencerminkan tatanan sosial yang sopan dan beradab, sesuai dengan nilai-nilai Melayu yang menjunjung tinggi kehormatan, kesantunan, dan keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan.

Selain fungsi sosial, rumah tradisional Melayu memiliki makna adat dan spiritual yang mendalam. Setiap bagian rumah, dari tiang, tangga, hingga atap, mengandung simbol dan doa yang melambangkan perjalanan hidup manusia. Rumah menjadi tempat pelaksanaan berbagai upacara adat, seperti peresmian rumah baru, pernikahan, hingga kenduri kematian. Dalam pandangan adat, rumah yang dibangun dengan niat baik dan tata aturan yang benar diyakini akan membawa tuah atau keberkahan bagi penghuninya. Dengan demikian, rumah tradisional Melayu tidak sekadar bangunan fisik, melainkan wadah nilai-nilai luhur yang menjaga kesinambungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.


 
Adaptasi Ekologis

Adaptasi ekologis rumah panggung Melayu menunjukkan kearifan lokal masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan tropis yang lembap dan panas. Struktur rumah panggung dengan kolong tinggi berfungsi menjaga sirkulasi udara agar rumah tetap sejuk serta melindungi penghuni dari banjir, binatang liar, dan kelembapan tanah. Atapnya yang lebar dan miring dirancang untuk menyalurkan air hujan dengan cepat, sementara dinding dari papan kayu atau anyaman bambu memungkinkan terjadinya sirkulasi udara silang secara alami.

Selain itu, seluruh bahan bangunan rumah panggung Melayu berasal dari sumber daya lokal seperti kayu, bambu, rumbia, dan nipah yang mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Pemanfaatan bahan-bahan alami ini tidak hanya mencerminkan kepedulian terhadap keseimbangan alam, tetapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat Melayu menjaga keberlanjutan sumber daya tanpa merusak ekosistem. Dengan demikian, rumah panggung Melayu menjadi contoh nyata harmoni antara manusia dan lingkungannya melalui prinsip adaptasi ekologis yang bijaksana.


Perbandingan Melayu Indonesia dan Semenanjung Malaysia


Perbandingan antara rumah panggung Melayu di Indonesia dan di Semenanjung menunjukkan perbedaan bentuk fisik namun kesamaan nilai budaya yang mendasarinya. Di sebagian rumah panggung Melayu di Indonesia umumnya menonjolkan atap yang beragam, misalnya yang melengkung ke atas di kedua ujungnya, mencerminkan semangat terbuka dan dinamis. Hiasan ukiran pada dinding dan tiang sering kali berwarna cerah dengan motif flora dan fauna, menggambarkan kekayaan alam dan simbol-simbol kehidupan. Sementara itu, rumah Melayu di Semenanjung lebih banyak menggunakan bentuk bumbung panjang yang sederhana dan elegan, dengan dominasi warna alami serta ukiran bermotif kaligrafi Islam yang mencerminkan pengaruh keagamaan yang kuat dan nilai kesederhanaan.

Meskipun memiliki perbedaan estetika dan gaya arsitektur, kedua jenis rumah tersebut berakar pada falsafah budaya yang sama, yaitu keseimbangan antara adat, marwah, dan agama. Keduanya dibangun dengan tata ruang yang mencerminkan kesopanan, penghormatan terhadap tamu, serta pemisahan ruang antara laki-laki dan perempuan sesuai nilai Islam. Rumah panggung, baik di Indonesia maupun di Semenanjung Malaysia, menjadi simbol keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta, sekaligus perwujudan identitas Melayu yang menjunjung tinggi budi pekerti dan keseimbangan hidup.

 

Tantangan dan Pelestarian


Modernisasi, urbanisasi, dan hilangnya bahan alami menjadi tantangan besar.
Namun kini banyak upaya pelestarian melalui rekonstruksi rumah adat, pendidikan budaya, dan desain neo-tradisional yang menghidupkan nilai Melayu dalam konteks modern.

Kesimpulan


Rumah panggung Melayu adalah pusaka arsitektur dan spiritual bangsa Melayu yang menyatukan nilai adat, agama, dan kearifan lingkungan.
Ia mengajarkan keseimbangan, kesopanan, dan marwah hidup.
Dalam pandangan Melayu, rumah bukan hanya tempat berteduh, tetapi tempat bermaruah. Sehingga muncul petuah: “Naik tuah, tinggi marwah, sehat berkah, rezeki melimpah”.*


Rumah Melayu di Serapuh Asli - Langkat

Rumah Melayu Peninggalan Tengku Tocco di Tebingtinggi - Sumatera Utara

Rumah Melayu di Serapuh Asli - Langkat

Rumah Penduduk di Lidah Tanah - Serdang Bedagai

Rumah Tuan Guru Silou Laut

Rumah Hasyim NT di Tebingtinggi

Di Pulau Penyengat

Di Labuhan Deli

Di Marendal Medan

Riau

Batubara



























Komentar

Unknown mengatakan…
assalamulaikum, saya mau bertanya apa perbedaan rumah melayu di sumatera timur ? apakah ada tata aturan adat melayu yang mengatur tatanan ruangan dan ornamennya ?