Oleh: M Muhar Omtatok
Asal usul perkataan “Melayu”
masih belum dapat disahkan oleh sejarahwan. Perkataan "Melayu"
memiliki sejarah panjang dan kompleks. Memang asal usulnya terkait
erat dengan wilayah Sumatera dan penyebarannya ke seluruh Nusantara serta Asia
Tenggara. Ada beberapa teori mengenai asal usul nama "Melayu", ada
yang menyebut dari karakteristik Orang Melayu yang terlihat berlemah lembut,
yaitu “Melayur”. Melayur dalam bahasa Melayu artinya mendiang daun diperapian
sehingga menjadi lemah lembut.
Adalah teori golongan Austronesia di Yunan. Kumpulan pertama dikenali sebagai Melayu Proto, berpindah ke Asia Tenggara pada Zaman Batu Baru (2500 Sebelum Masihi). Keturunannya Orang Asli di Semenanjung Malaysia, Dayak di Sarawak dan Batak di Sumatera, katanya.
Kumpulan kedua dikenali sebagai Melayu Deutro, berpindah ke Asia Tenggara pada
Zaman Logam kira-kira 1500 Sebelum Masehi.
Dikatakan lebih bijak dan dan mahir daripada Melayu Proto. Bijak dalam bidang
astronomi, pelayaran dan bercucuk tanam. Bilangan lebih banyak daripada Melayu
Proto. Menduduki kawasan pantai dan lembah di Asia Tenggara. Orang ini,
kumpulan pertama dan kedua, dikenali sebagai Austronesia.
Teori Yunan ini berasal
dari Robert Barron von Heine Geldern, seorang ahli prasejarah, arkeolog, dan
etnolog, mengemukakan teori bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari
Yunan berdasarkan kemiripan budaya megalitik. Teori ini lebih banyak didasarkan
pada kesamaan bentuk kapak tua dan artefak megalitik di Yunan dan
Nusantara. Namun, bukti-bukti ini tidak cukup kuat untuk menyimpulkan
migrasi besar-besaran. Kesamaan bentuk bisa jadi hanya merupakan kebetulan
atau hasil dari penyebaran teknologi yang lebih umum.
Seiring perkembangan
ilmu pengetahuan, bukti genetik menjadi sangat penting dalam melacak asal usul
manusia. Sayangnya, teori Yunan tidak didukung oleh bukti genetik yang
kuat. Penelitian genetik menunjukkan bahwa penduduk Nusantara memiliki
keragaman genetik yang lebih kompleks dan tidak hanya berasal dari satu daerah.
Awalnya perkataan Melayu merupakan nama tempat (toponim), yang merujuk pada
suatu lokasi di Sumatera. Setelah abad ke-15 istilah Melayu mulai digunakan
untuk merujuk pada nama suku (etnonim).
Bagaimanapun terdapat beberapa bukti sejarah yang coba mengaitkan asal-usul perkataan
Melayu, misalnya naskah tua dan sumber utama dalam catatan Tiongkok:
1. Sejarah Melayu (Malay Annals)
Kitab ini, yang ditulis
dalam bahasa Melayu, merupakan salah satu sumber utama yang menceritakan tentang
asal-usul dan perkembangan awal orang Melayu serta kerajaan-kerajaan mereka,
termasuk Srivijaya.
Kerajaan
Melayu-Srivijaya ini merupakan kerajaan maritim yang kuat di wilayah ini pada
abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, berpusat di Sumatera. Kata
"Melayu" pada masa itu merujuk pada wilayah dan masyarakat di sekitar
sungai Batanghari, yang menjadi pusat kerajaan tersebut.
2.
Catatan-catatan
sejarah dan Prasasti
dari Tiongkok dan India juga menyebutkan tentang kerajaan Melayu-Srivijaya
dan keberadaan masyarakat Melayu di wilayah tersebut, meskipun dengan ejaan
yang berbeda.
3.
T'ang-Hui-Yao
(唐會要):
Catatan ini memuat
informasi tentang utusan dari Kerajaan Melayu yang datang ke Tiongkok pada
tahun 644-645 M, menunjukkan adanya hubungan awal antara Tiongkok dan kerajaan
ini.
Catatan ini menjadi
salah satu bukti sejarah tertua mengenai kerajaan Mo-lo-yeu, yang sering
dikaitkan dengan asal usul nama Melayu.Peristiwa ini juga menunjukkan hubungan
dagang antara kerajaan di wilayah Sumatera dengan Tiongkok pada masa itu.
4.
I-Tsing
(Yi Jing) (義淨):
Pendeta Buddha dari
Dinasti Tang ini melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India dan singgah di
Mo-Lo-Yu (Melayu) sekitar tahun 688-695 M. Catatan perjalanan I-Tsing
menggambarkan Melayu sebagai kerajaan merdeka, berjarak 15 hari pelayaran dari
Sriwijaya, dan akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya. Catatan ini
menjadi salah satu sumber informasi awal tentang keberadaan bahasa dan
budaya Melayu pada masa itu.
Catatan-catatan ini
mengidentifikasi keberadaan kerajaan bernama Mo-Lo-Yu (Melayu) di Sumatra pada
abad ke-7 Masehi. Catatan utusan pada tahun 644-645 M mengindikasikan
adanya hubungan diplomatik awal antara Melayu dan Tiongkok. Catatan
I-Tsing menunjukkan bahwa Melayu merupakan tempat singgah yang penting dan
sibuk dalam rute perjalanan antara Tiongkok dan India. Catatan I-Tsing
juga menyebutkan bahwa Kerajaan Melayu akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya
sekitar tahun 685 M, yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan
Sriwijaya.
Ada juga beberapa pendapat
beberapa penulis mengenai Melayu, misalnya:
1.
Artikel
Anthony Reid (2001), “Understanding
Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities”, Journal of Southeast Asian Studies,
32(3): 295–313 adalah salah satu tulisan penting tentang Melayu dari perspektif
sejarah panjang Asia Tenggara.
Anthony Reid berpendapat
bahwa Melayu adalah identitas terbuka, historis, dan lintas batas. Pada masa
lalu, Melayu lebih inklusif (bahasa + Islam + pesisir). Pada masa modern,
Melayu menjadi lebih terkotak karena politik kolonial dan nasional. Karena itu,
“Melayu” bisa menjadi sumber identitas modern yang beragam tergantung negara
dan konteks
2.
Buku
Timothy P. Barnard (ed.), Contesting Malayness: Malay
Identity Across Boundaries (2004) adalah salah satu kajian penting yang
mengkritisi konsep “Melayu” dengan perspektif sejarah, politik, dan budaya
lintas kawasan.
Pokok-pokok yang
dibahas Barnard (2004):
a. Melayu bukan
identitas tunggal
Barnard dan para
penulis menegaskan bahwa “Melayu” selalu berubah, tidak statis. Identitas
Melayu dibentuk dan diperdebatkan sepanjang sejarah, tergantung konteks
politik, agama, dan wilayah.
Misalnya, “Melayu” di
Riau tidak persis sama dengan “Melayu” di Semenanjung Malaya, apalagi di
Kalimantan atau Sumatera.
b. Peran sejarah
kolonial & negara modern
Pada masa kolonial,
Belanda dan Inggris sering memakai istilah “Melayu” untuk kategori
administratif.
Setelah kemerdekaan,
negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia mendefinisikan
“Melayu” sesuai kebutuhan politik nasional.
c. Agama &
adat sebagai penanda
Dalam banyak diskusi,
Islam sering menjadi ciri utama Melayu, tapi Barnard menunjukkan bahwa ini pun
diperdebatkan.
Adat (budaya, bahasa,
kesenian) juga digunakan untuk menegaskan “kemelayuan”, namun tidak seragam
antarwilayah.
d. Melayu lintas
batas (across boundaries)
Buku ini menyoroti
bahwa “Melayu” melintasi batas negara, batas budaya.
Identitas Melayu bisa
melekat pada orang yang berbahasa Melayu, beragama Islam, atau tinggal di
wilayah budaya Melayu, meskipun asal etnisnya beragam (contoh: Bugis,
Minangkabau, Arab).
e. Kontestasi
identitas
Karena tidak seragam,
identitas Melayu selalu menjadi arena kontestasi: siapa yang boleh mengklaim
Melayu, siapa yang diakui, dan bagaimana negara/elite memanfaatkannya.
Barnard menekankan
bahwa di wilayah seperti Riau, Sumatera Timur, dan Kepulauan Melayu, “Melayu” sebagai
etnis, tapi sekaligus identitas politik-budaya yang terus dinegosiasikan. Jadi,
pembahasan tentang keris, adat, dan seni tradisional Melayu di Sumatera
(seperti Serampang Dua Belas atau Tengkulok) juga bisa dibaca dalam kerangka “contesting Malayness” ini — apakah ia
dilihat sebagai tradisi asli, simbol istana, atau konstruksi kolonial/nasional.
3.
Buku
Anthony Milner (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific),
Wiley-Blackwell adalah salah satu kajian paling komprehensif tentang
sejarah dan konstruksi identitas Melayu.
a. Melayu sebagai konsep politik dan budaya,
bukan sekadar etnis
Milner menolak melihat “ras”
atau “suku bangsa” Melayu dilihat secara biologis. Sebaliknya, ia menegaskan
bahwa Suku Bangsa Melayu adalah identitas politik-budaya yang terus dinegosiasikan,
terbentuk oleh sejarah kerajaan, agama, bahasa, dan kolonialisme.
b.
Asal-usul konsep Melayu
Kata “Melayu” pertama
kali muncul dalam sumber-sumber kuno seperti Sejarah Melayu (Malay Annals),
dihubungkan dengan kerajaan Melayu-Srivijaya di Sumatera. Namun, maknanya
berubah seiring waktu: dari identitas kerajaan, menjadi identitas pesisir
Islam, lalu menjadi kategori kolonial dan nasional.
c.
Peran kerajaan dan politik istana
Milner menekankan bahwa
identitas Melayu erat kaitannya dengan kerajaan dan istana. Raja dianggap
sebagai pusat kemelayuan, dan rakyat yang mengakui daulat raja otomatis
dianggap bagian dari “Melayu”. Identitas ini bersifat politik-hierarkis, walau
sebagai etnis – Melayu bukan etnis statis.
d.
Bahasa dan Islam
Seperti Reid, Milner
melihat bahasa Melayu sebagai perekat utama kemelayuan. Islam memperkuat posisi
Melayu, tetapi ia bukan satu-satunya syarat awal, baru kemudian (terutama abad
ke-19–20), Melayu dipersempit menjadi “Muslim berbahasa Melayu”.
e.
Kolonialisme dan redefinisi Melayu
Pemerintah kolonial
Belanda dan Inggris memperkuat definisi “Melayu” sebagai kategori etnis. Di
Malaya, Inggris mempromosikan Melayu sebagai “kaum pribumi” dengan hak khusus. Di
Sumatra Timur, Belanda menggunakan label “Melayu” untuk penduduk pesisir Islam,
membedakannya dari Batak atau kelompok lain.
f.
Melayu dalam negara modern
Malaysia menjadikan
Melayu diikat secara legal: Muslim, bahasa Melayu, adat. Identitas ini dijadikan
dasar “bangsa Melayu” dalam politik nasional. Di Indonesia, Melayu salah satu
“suku bangsa” (di Sumatera Timur, Riau, Jambi, Palembang). Statusnya lebih
sempit dibanding di Malaysia. Sedangkan di Singapura & Thailand Selatan
(Patani), Melayu sebagai identitas minoritas, sering terkait agama (Islam) dan
bahasa.
Perbandingan
pendapat Reid, Barnard dan Milner
• Reid (2001):
Melayu awalnya inklusif (bahasa dagang, Islam, pesisir), lalu dipersempit
kolonial.
• Barnard
(2004): Melayu = identitas kontestatif, selalu diperdebatkan di berbagai
wilayah.
• Milner
(2010): Melayu terutama dipahami sebagai kategori politik-budaya yang tumbuh
dari sistem kerajaan dan kemudian diredefinisi oleh kolonialisme & negara
modern.
Perkembangan Bahasa Melayu
Dalam kajian linguistik dan sejarah, perkembangan bahasa Melayu umumnya dibahagikan
kepada tiga tahap utama:
·
Bahasa Melayu Kuno,
·
Bahasa Melayu Klasik, dan
·
Bahasa Melayu Moden.
Bahasa Melayu Kuno (abad ke-7 – abad
ke-13)
Kegemilangannya dari
abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca
dan bahasa pentadbiran. Penuturnya terutama di Semenanjung, Kepulauan Riau dan
Sumatera.
·
Ia menjadi lingua franca dan sebagai
bahasa administrasi karena bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar,
tidak terikat kepada perbedaan susun lapis masyarakat, serta mempunyai sistem
yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.
Banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit. Bahasa Sanskrit kemudian
dikenal pasti menyumbang kepada pengkayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan Bahasa
Melayu.
Bahasa Melayu mudah dipengaruhi Sansekerta karena bahasa Sansekerta terletak
dalam kelas bangsawan, dan dikatakan mempunyai hierarki yang tinggi, serta sifat
bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
Bahasa Melayu kuno pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf
Pallawa:
* Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
* Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
* Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
* Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)
Bahasa Melayu kuno pada batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis
dalam huruf Nagiri.
Ciri-ciri bahasa Melayu kuno:
* Penuh dengan kata-kata pinjaman Sansekerta
* Susunan ayat bersifat Melayu
* Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
* bunyi e pepet tidak wujud (Contoh dengan - dngan atau dangan)
* Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
* Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
* Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh:
sukhatshitta)
* Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)
Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa
Melayu Klasik
Peralihan ini dikaitkan
dengan pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad
ke-13. Kemudian bahasa Melayu mengalami banyak perubahan dari segi
kosa kata, struktur ayat dan tulisan.
Terdapat tiga batu bersurat yang penting:
a. Batu bersurat di Pagaruyung (1356)
Batu Bersurat di Pagaruyung tahun 1356 M adalah sebuah prasasti yang
berisi campuran bahasa Sanskerta dan Melayu menggunakan aksara
Kawi. Meskipun beberapa baris sulit dibaca, prasasti ini penting karena
memberikan informasi tentang keberadaan dan pengaruh raja Adityawarman dan
sebagai bukti penggunaan bahasa Melayu pada abad ke-14. Bahasanya berbeda
sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.
b. Batu bersurat di Meunye Tujoh, Aceh (1380)
Batu bersurat di Meunye Tujoh, Aceh, yang dikenal sebagai Prasasti Minye
Tujuh, adalah dua batu nisan dari abad ke-14 yang penting karena
memuat syair berbahasa Melayu Klasik dan Arab, ditulis dalam aksara Jawi dan
Sumatra Kuno. Prasasti ini dianggap sebagai contoh tertua dari syair
Melayu dan terdapat informasi mengenai wafatnya seorang putri raja dari Pasai.
c. Batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)
Batu Bersurat Terengganu yang dianggarkan telah berusia lebih kurang 700
tahun ini merupakan batu bersurat yang mempunyai ukiran yang paling
tua dan tulisan Jawi (aksara Arab Melayu) pertama ditemui di Malaysia.
Ia membuktikan Islam telah sampai ke Terengganu sebelum 1326.
Prasasti itu, bertarikh mungkin pada 702 H bersamaan dengan 1303 Masihi,
merupakan bukti terawal penulisan aksara Arab Melayu di dunia Melayu Asia
Tenggara.
Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan
bahasa Melayu karena selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam
bentuk tulisan.
Bahasa Melayu Klasik
Dalam kajian sejarah bahasa dan kesusasteraan, Bahasa Melayu Klasik mencapai
kegemilangannya melalui tiga zaman penting yang menjadi tonggak perkembangan:
1. Zaman Kerajaan
Melaka (abad ke-15 – awal abad ke-16)
Kesultanan Melaka
(1400–1511) menjadi pusat perdagangan antarabangsa dan penyebaran Islam.
Bahasa Melayu digunakan
sebagai bahasa resmi pentadbiran, undang-undang, diplomasi, dan perdagangan.
Ciri-ciri bahasa &
karya:
• Tulisan Jawi
(Aksara Arab Melayu) berkembang pesat.
• Banyak
pengaruh Arab & Parsi masuk (agama, hukum, tasawuf).
• Lahir karya
agung seperti:
Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin)
Hikayat Hang Tuah
Undang-Undang Melaka.
Di masa ini Bahasa
Melayu menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Kepulauan Melayu (Nusantara).
2. Zaman Kerajaan Aceh
(abad ke-16 – abad ke-17)
Kesultanan Aceh
Darussalam (1514–1641) menggantikan peranan Melaka selepas jatuh ke Portugis.
Acheh menjadi pusat
agama, ilmu, dan kesusasteraan Islam.
Ciri-ciri bahasa &
karya:
• Bahasa Melayu
menjadi bahasa ilmu, dakwah, dan tasawuf.
• Dikenali
sebagai zaman keemasan kesusasteraan Islam Melayu.
• Ulama dan
penulis terkenal:
• Hamzah
Fansuri (puisi sufi, syair-syair tasawuf).
• Syamsuddin
al-Sumatrani.
• Nuruddin
ar-Raniri (Bustanus Salatin).
Di fase ini terkukuh
bahasa Melayu sebagai bahasa keilmuan Islam di Asia Tenggara.
3. Zaman Kerajaan Johor-Riau (abad ke-17 –
abad ke-19)
Setelah Aceh merosot,
Kesultanan Johor-Riau muncul sebagai pusat budaya dan politik Melayu.Terletak
di Lingga, Riau, dan Johor.
Ciri-ciri bahasa &
karya:
• Bahasa Melayu
diangkat sebagai bahasa kesusasteraan tinggi.
• Lahir karya
besar:
Tuhfat al-Nafis (oleh Raja Ali Haji).
Syair-syair sejarah & agama.
Kamus Bustan al-Katibin (karya Raja Ali Haji) yang
memperkukuh peraturan bahasa Melayu.
Di fase ini terbangun
asas pembakuan bahasa Melayu modern dan memperkaya tradisi sastera.
Ciri-ciri bahasa
klasik:
Kalimat: panjang, berulang, berbelit-belit,
Banyak kalimat pasif,
Menggunakan bahasa
istana,
Kosa kata klasik: ratna
mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih),
Banyak menggunakan
perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun,
Kalimat sungsang, yaitu
susunan predikatnya mendahului subjek atau sebagian predikatnya dipindahkan ke depan
subjek,
Banyak menggunakan partikel ``pun'' dan `'lah''.
Bahasa
Melayu Moden (abad ke-19 – kini)
Ciri-ciri utama:
• Bermula pada
zaman penjajahan Barat (Belanda, Inggeris).
• Tulisan Rumi
mula diperkenalkan, di samping Jawi (Aksara Arab Melayu).
• Terjadi
standarisasi ejaan:
• Ejaan
Wilkinson (1904),
• Ejaan Za’ba
(1933),
• Ejaan
Soewandi (1947, Indonesia),
• Ejaan Rumi
Kongres (1956, Malaysia),
• Ejaan Bersama
Malaysia–Indonesia (1972).
• Lebih banyak
dipengaruhi oleh bahasa Barat (Belanda, Inggeris, Portugis).
• Dipakai
sebagai bahasa resmi:
Bahasa Malaysia (Malaysia),
Bahasa Indonesia (Indonesia),
Bahasa Melayu (Singapura & Brunei).
Fungsi:
Bahasa pentadbiran negara modern, pendidikan, media, ilmu pengetahuan, dan komunikasi global.
Saat ini di Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi Negara, ada pula Bahasa Melayu sebagai Bahasa Suku atau Etnis, seperti Bahasa Melayu Tamiang, Bahasa Melayu Langkat, Bahasa Melayu Deli, Bahasa Melayu Padang Bedagai, Bahasa Melayu Batubara, Bahasa Melayu Asahan, Bahasa Melayu Panai, Bahasa Melayu Siak, Bahasa Melayu Ocu, Bahasa Melayu Natal, Bahasa Melayu Kuantan, Bahasa Melayu Minangkabau, Bahasa Melayu, Palembang, Bahasa Melayu Bangka, Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Melayu Bengkulu, Bahasa Melayu Borneo Barat, Bahasa Melayu Kelantan, Bahasa Melayu Johor, Bahasa Melayu Patani, dan masih banyak lagi.


Komentar