Musafir Kelana Berlayar Ke Sumatera

 


Oleh: M. Muhar Omtatok

Dari abad ke-13 sampai abad ke-19, terdapat catatan para musafir kelana berlayar ke Sumatera. Hasil perjalanan mereka yang singgah bahkan menetap di Sumatera, menjadi penambah wawasan tentang negeri ini di masa lampau. Sebut saja musafir awal yang berkelana ke Sumatera, yaitu Marco Polo, Ibn Battuta, lalu ada pula Zheng He, Niccolò de’ Conti, Tomé Pires, Duarte Barbosa, Fernão Mendes Pinto, hingga William Marsden dan John Anderson.

 Jika melihat nisan-nisan kuno abad ke-7 beraksara Arab, tentu sebelum masa itu sudah datang musafir ke Sumatera pula. Nisan kuno di Tapanuli Tengah utamanya terdapat di wilayah Barus, misalnya Makam Mahligai di Desa Aek Dakka dengan ratusan nisan bergaya Islam Arab, berasal dari abad ke-7 Masehi.  Makam Papan Tinggi di Desa Pananggahan yang berisi makam tokoh penting sekitar abad ke-7 hingga ke-17 Masehi, dan Makam Tuan Ambar di Barus Utara. Nisan-nisan ini unik karena bentuknya yang beragam seperti pilar, silinder, dan papak batu, serta adanya hiasan motif teratai dan kaligrafi Arab, kata-kata tauhid, dan bahkan riwayat hidup ulama. 

Marco Polo

Marco Polo melakukan perjalanan dan singgah di Sumatera pada tahun 1292 dalam perjalanannya kembali ke Eropa, di mana ia tinggal selama beberapa bulan dan mencatat berbagai pengamatan tentang pulau itu, yang disebutnya " Mynor Jave ". Dia memang tidak menyebut kata ‘Sumatera’, atau nama itu belum ada masa itu. bahkan dari teks "Le Divisament dou Monde" yang terdapat dalam edisi "Milione: il Milione nelle redazioni toscana e franco-italiana" yang disunting oleh Gabriella Ponchi, ada tajuk "La grant isle de Java", yang berarti Pulau  Jawa Besar adalah sebuah pulau besar yang kontur mirip dengan Australia. 

Ia mengamati keberadaan kerajaan-kerajaan yang telah memeluk agama Islam, Ia singgah di Perlak dan Samudera Pasai dalam perjalanan pulang dari Tiongkok. Ia melihat badak Sumatera dan menggambarkannya sebagai "unicorn" karena ketidaktahuan Eropa saat itu tentang hewan tersebut. Marco Polo mengamati penduduk yang berbeda di dalam dan di luar kota. Di luar kota, ia melihat penduduk yang menyembah berhala, sementara penduduk kota mayoritas beragama Islam setelah diyakinkan oleh para pedagang Muslim. Ia mencatat bahwa masyarakat di sana menanam beras dan membuat tepung dari kulit pohon.  Menceritakan tentang raja-raja lokal, perdagangan emas, lada, dan kanibalisme.

Marco Polo menghabiskan waktu sekitar lima bulan di pulau tersebut, menunggu angin yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Catatan Marco Polo memberikan informasi tentang kondisi Sumatera di akhir abad ke-13 dan menginspirasi para penjelajah Eropa lainnya, seperti Christopher Columbus, yang berangan-angan untuk datang ke wilayah tersebut.

Marco Polo adalah saudagar dan petualang asal Venesia (1254–1324) yang melakukan perjalanan melintasi Asia melalui Jalur Sutra dari tahun 1271 hingga 1295. Marco Polo pulang ke Venesia membawa serta harta kekayaan dalam bentuk batu-batu mulia. Ketika itu Venesia sedang berperang melawan Republik Genova, ia ditawan musuh pada tahun 1296 . Di penjara ia bertemu dengan seorang penulis romansa Italia dalam bahasa Prancis-Italia, Rustichello da Pisa, yang kemudian menuliskan perjalanan itu, atas kisah yang diucapkan Marco Polo.

Judulnya Il Milione, yang diambil dari julukan Marco, Milione. Judul aslinya dalam bahasa Prancis-Italia adalah Livres des Merveilles du Monde.  Uniknya, penulis romansa ini menuliskan catatan musafir  tentang budaya dan masyarakat Asia Timur kepada bangsa Eropa, termasuk kekayaan Kekaisaran Mongol dan Tiongkok era Kublai Khan, serta memberikan informasi tentang Tiongkok, Persia, India, Jepang, serta wilayah yang kini popular disebut Nusantara.



Ibn Battuta

Ibn Battuta merupakan seorang  penjelajah, dan cendekiawan dari keluarga pakar hukum di wilayah yang kini Maroko. Nama aslinya Shams al-Din Abu 'Abdallah Muhammad ibn 'Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Yusuf Lawati al- Tanji ibn Battuta.

Selama kurun waktu 1325 hingga 1354, ia mengunjungi sebagian besar Afrika , Asia , dan Semenanjung Iberia. Ibn Battuta melakukan perjalanan lebih jauh dibandingkan musafir lain dalam sejarah pra-modern, melampaui Zheng He  dan Marco Polo.

Di usia 21 tahun, ia memulai berkelana pada 14 Juni 1325 M, diawali naik haji terlebih dahulu. Ia menulis:

“Aku berangkat sendirian, tanpa teman seperjalanan yang dapat menghiburku, atau rombongan kafilah yang dapat ku ikuti, melainkan terombang-ambing oleh dorongan yang begitu kuat dalam diriku dan hasrat yang telah lama terpendam dalam hatiku untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang mulia ini. Maka kuberanikan diri untuk meninggalkan orang-orang terkasihku, perempuan dan laki-laki, dan meninggalkan rumahku bagaikan burung meninggalkan sarangnya. Karena orang tuaku masih terikat kehidupan, berat rasanya bagiku untuk berpisah dari mereka, dan baik mereka maupun aku dirundung duka atas perpisahan ini”.

Sekitar tahun 1355 M di Fez (Maroko), berdasarkan catatan Ibnu Battuta yang didiktekan kepada Ibnu Juzayy al-Kalbi, seorang cendikiawan dan penulis Andalus yang diutus Sultan Maroko Abu Inan, terciptalah buku “Tuhfat an-Nuzzar fi Gharaib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar” atau terkenal dengan “Rihlah” – “Perjalanan”.

Buku ini adalah salah satu karya travelogue paling penting dari Abad Pertengahan yang jujur dan tidak mengada-ada, mencatat hampir 120.000 km perjalanan Ibnu Battuta selama 29 tahun. Ia mencatat kondisi sosial, budaya, pemerintahan, perdagangan, dan juga pertemuan dengan para cendikiawan dan penguasa.

Ibnu Battuta singgah di Sumatera sekitar 1345–1346 M, saat ia dalam perjalanan dari India menuju Tiongkok. Kapalnya berhenti di Samudera Pasai, sebuah kesultanan di pesisir timur laut Sumatra. Ia menyebut negeri ini sebagai “Samudera”.

Ia menggambarkan Sultan bernama al-Malik al-Zahir, Sultan digambarkan sebagai raja Muslim yang saleh, cinta ilmu, dan memuliakan cendikiawan. Masyarakatnya berpegang kuat pada Islam. Sultan mengundang para qadhi (hakim syariat) dan fuqaha (ahli fikih) dari luar negeri untuk membimbing masyarakat, saat itu sudah menggunakan hukum Islam dalam pemerintahan. Ibnu Battuta sangat menghormati Sultan dan menilainya sebagai salah satu raja Muslim yang arif.

Dari situ ia naik kapal menuju Malaka yang masih berupa pelabuhan kecil saat itu,  lalu ke Tiongkok yaitu Quanzhou dan Hangzhou.

Menurut Ibn Battuta, Sumatera yang dikunjunginya , digambarkan sebagai negeri hijau yang indah dengan kota pelabuhan besar, sebuah pos Islam terakhir di ujung timur Darul Islam, artinya wilayah itu pos terakhir berpenduduk Islam, di luarnya mungkin pagans. Dan menjadi pusat perdagangan penting untuk berbagai komoditas seperti lada, kamper, dan benzoin. Ia juga mencatat semangat keagamaan yang kuat di kalangan penduduknya yang hidup harmonis dalam nilai-nilai Islam, serta menyambut hangat para ulama dan pejabat setempat. 

Kerajaan ini memiliki kota pelabuhan besar yang berlokasi di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan liar di pedalaman barat laut. Ibn Battuta yang bermazhab maliki, menyaksikan penguasa dan masyarakat saat itu di Samudera menganut mazhab Syafi'i, yang menunjukkan kedalaman pemahaman dan pengamalan. Penduduknya hidup dalam harmoni dan mematuhi nilai-nilai yang kuat, sehingga meninggalkan kesan mendalam bagi Ibn Battuta. 

Samudera merupakan pusat penting untuk ekspor lada, kamper, dan benzoin yang bersumber dari wilayah pedalaman. Kerajaan ini juga berfungsi sebagai pasar strategis untuk pertukaran berbagai barang dari Timur dan Barat.



Niccolò de’ Conti

Niccolò de’ Conti (1395–1469) adalah seorang pedagang & penjelajah dari Venesia (Italia). Ia mengembara selama hampir 25 tahun (1419–1444) ke Persia, India, Asia Tenggara, dan sebagian Tiongkok. Setelah pulang ke Venesia, ia diminta oleh Paus Eugenius IV untuk menceritakan pengalamannya. Kisahnya dicatat oleh Poggio Bracciolini yaitu sekretaris paus, dalam bahasa Latin dengan judul Itinerario (kadang disebut India Recognita). Karya ini menjadi sumber penting pengetahuan Eropa tentang Asia sebelum era penjelajahan Portugis.

Sekitar 1420-an, De’ Conti berlayar dari India menuju Kepulauan Melayu (kini Nusantara). Ia singgah di Sumatera yang ia sebut Taprobana atau Java Minor,  sebagai pulau besar dengan banyak kerajaan dan hasil alam melimpah. Sumatera memiliki banyak kerajaan kecil.

Pulau ini menghasilkan emas, lada, kayu harum, dan kapur barus. Ia juga mencatat keberadaan binatang buas seperti gajah dan harimau serta penduduk dengan beragam adat. Agama penduduknya campuran, ada yang masih beragama nenek moyang, ada juga yang Muslim, terutama di pesisir utara.

De’ Conti melihat Sumatera sebagai titik transit penting dalam rute India – Tiongkok. Ia menyebut banyak kapal asing berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sumatera, terutama pedagang Arab, India, dan Tiongkok. Dari Sumatera, ia melanjutkan perjalanan ke Jawa, lalu ke Kepulauan Maluku, dan sebagian kawasan Asia Tenggara lain.

Informasi musafir terdahulu termasuk Niccolò de’ Conti,  kelak dipakai oleh penjelajah Portugis abad ke-16, seperti Tomé Pires dan Duarte Barbosa.


Zheng He

Zheng He, nama aslinya adalah Ma He (1371–1433), seorang Muslim Hui dari Yunnan. Gelarnya Sanbao Taijian (三寶太監), artinya Eunuch Sanbao. Laksamana armada laut Dinasti Ming yang dikirim oleh Kaisar Yongle (1405–1433). Memimpin tujuh ekspedisi besar maritim (1405–1433) ke Asia Tenggara, India, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Kita popular menyebutnya Laksamana Cheng Ho.

Zheng He beberapa kali singgah di Sumatera dalam perjalanan armadanya. Sumatera adalah wilayah kunci karena letaknya di Selat Malaka, jalur pelayaran vital dunia.

Pada  ekspedisi pertama (1405–1407),  armada pertama berangkat dengan lebih kurang 200 kapal dan 27.000 pasukan. Ekspedisi ini singgah di pelabuhan Palembang, Sumatera. Disebutkan, disini terjadi penumpasan  bajak laut terkenal Chen Zuyi yang menguasai Selat Malaka. Setelah Chen Zuyi ditangkap dan dieksekusi di Nanjing (1407), Palembang dijadikan pangkalan resmi Tiongkok di Sumatera.

Pada ekspedisi kedua (1407–1409), Zheng He kembali ke Palembang untuk mengawasi keamanan jalur. Berhubungan dengan kerajaan-kerajaan Melayu di sekitar Selat Malaka.  Di ekspedisi ketiga (1409–1411), ia dan rombongan singgah di Samudera Pasai (Aceh Utara). Pasai adalah pusat Islam penting, banyak dicatat sebagai “Shumoli” dalam catatan Ming. Raja Pasai mengirim utusan ke Tiongkok sebagai tanda persahabatan.

Saat ekspedisi keempat (1413–1415), persinggahan kembali ke Palembang dan Pasai, untuk menguatkan hubungan dagang rempah, emas, kapur barus, dan lada. Di ekspedisi kelima (1417–1419), kembali di Pasai dan Palembang. Disini muncul sejarah baru, beberapa kerajaan Sumatera mengirim utusan ke Tiongkok, hal ini tercatat di Ming Shilu.

Saat  ekspedisi keenam (1421–1422), armada singgah di Palembang dan melanjutkan ke India & Timur Tengah. Hingga ekspedisi ketujuh (1431–1433), singgah terakhir di Pasai, Palembang, dan Malaka, guna mengukuhkan posisi Tiongkok sebagai pelindung jalur dagang Selat Malaka.

Dalam Ming Shilu (Catatan Sejarah Dinasti Ming), disebut beberapa hal penting, yaitu pada 1407: Penaklukan bajak laut Chen Zuyi di Palembang. 1411: Raja Pasai mengirim utusan ke Kaisar Yongle. 1415: Raja Palembang, Pasai, dan kerajaan Melayu lain tercatat mengirim upeti. 1419: Utusan dari Sumatera kembali hadir di istana Tiongkok. Serta 1424–1433: Utusan dari Pasai rutin datang, menunjukkan hubungan diplomatik kuat.

Adalah Lonceng Cakra Donya,  lonceng raksasa bersejarah di Museum Aceh kini, yang terbuat dari besi berbentuk stupa buatan Tiongkok tahun 1409 M. Diberikan oleh Zheng He sebagai hadiah persahabatan dari Kaisar Dinasti Ming kepada Sultan Samudera Pasai, lonceng ini merupakan koleksi tertua dan terbesar di Indonesia. Nama "Cakra Donya" berasal dari nama kapal perang Sultan Iskandar Muda yang pernah menggunakannya, dan kini berfungsi sebagai penanda sejarah dan budaya di Aceh. 

Zheng He meninggal karena sebab yang tidak diketahui pada tahun 1433 di Calicut, India, selama atau segera setelah ekspedisi ketujuh, meskipun beberapa teori lain menyebutkan tanggal kematian yang berbeda. Jenazahnya dikirim pulang ke Tiongkok, dan sebuah makam dibangun untuknya di Nanjing, yang diyakini berisi pakaian dan penutup kepala. 

Ini adalah peta jalur ekspedisi Zheng He (1405–1433).   Garis merah putus-putus menunjukkan rute besar armada dari Nanjing, Quanzhou, Palembang, Pasai, Malaka, India, Hormuz, Mombasa. Titik biru di Palembang dan Samudera Pasai menandai dua lokasi utama singgahnya di Sumatera.

Tomé Pires

Tomé Pires (1468 – sekitar 1524) adalah seorang administrator kolonial dan diplomat Portugis. Ia yang pernah menjadi pembantu pelaut Portugis, menjadikannya lihai menangkap peluang di negeri yang ia kunjungi, seperti pernah jadi pemasok obat-obat farmasi skala besar sehingga ia dijuluki apoteker, ia juga pemasok resmi arak ke India.         

Atas kelihaiannya ini, antara 1512–1515, Ia diutus oleh Raja Manuel I ke Asia yaitu India, Malaka, dan Tiongkok. Dalam masa tinggalnya di Asia Tenggara, ia menyusun laporan berjudul: “Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins” kira-kira berarti Ikhtisar Timur yang membicarakan Laut Merah hingga Cina.

Suma Oriental adalah salah satu sumber Eropa yang memberikan deskripsi rinci tentang Kepulauan Melayu (Nusantara), termasuk Sumatera. Tomé Pires tidak keliling langsung ke seluruh Sumatra, tetapi memperoleh informasi dari pelayaran Portugis, pedagang lokal, dan agen intelijen dagang di Malaka. Namun catatannya sangat detail.

Ia menyebut pulau itu dengan nama “Samatra” atau “Taprobana” (nama Yunani-Romawi kuno). Menurutnya, pulau ini besar sekali, terdiri atas banyak kerajaan kecil. Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menyebutkan sekitar 19 kerajaan di Sumatra, di antaranya Aceh sebagai kerajaan Islam yang baru mulai berkembang pesat, Pasai masih dianggapnya penting sebagai pusat Islam awal tetapi mulai merosot, Pedir di pedalaman Aceh yang kaya lada.

Kemudian ia menyebut Arcat, Daya (Gayo ?), Manangkabau yang digambarkan besar dan berpengaruh di pedalaman. Juga wilayah Jambi, Palembang, Indragiri, Siak, Bengkulu, dan lainnya.

Tentu yang terpenting komoditas perdagangan, dicatat Lada sebagai komoditas utama, terutama dari Aceh, Pedir, dan Pasai. Kapur barus terutama dari daerah Barus, Emas yang banyak dari Minangkabau dan Jambi, serta Kayu manis, kemenyan, dan gading juga disebutkan.

Tentang  agama dan budaya disebutkan bahwa di bagian utara Sumatera sudah sangat kuat Islam. Di bagian pedalaman, masih ada pengaruh agama nenek moyang. Pires menegaskan bahwa ulama dan pedagang Muslim berperan besar dalam jaringan perdagangan.

Ia menekankan bahwa siapa pun yang menguasai Sumatera, terutama Selat Malaka, akan menguasai perdagangan rempah. Hal ini sesuai dengan kepentingan Portugis setelah menaklukkan Malaka (1511).

Kelihaian Tomé Pires yang diamati jeli oleh Tiongkok, mengakibatkan dia dipenjarakan di Jiangsu. Pada tahun 1540, ia mati di Tiongkok dalam tahanan.


Duarte Barbosa

Duarte Barbosa (1480–1521) seorang penjelajah dan penulis asal Portugis, yang bekerja sebagai juru tulis di Goa (India) pada masa awal ekspedisi Portugis di Asia. Sekitar 1516, ia menyusun buku berjudul Livro de Duarte Barbosa (The Book of Duarte Barbosa), sebuah laporan etnografi, ekonomi, dan geografi tentang negeri-negeri di Asia dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara.

Naskahnya termasuk salah satu sumber Eropa paling awal yang mendeskripsikan kehidupan masyarakat Asia, termasuk Sumatera, Malaka, dan Malay Archipelago – Kepulauan Melayu (Nusantara). Barbosa wafat pada tahun 1521 dalam ekspedisi Ferdinand Magellan di Filipina, sebuah opsesi ekspedisi keliling dunia pertama.

Dalam Livro de Duarte Barbosa, ia menggambarkan Sumatera, yang ia sebut  ‘Samotra, Samotra grande, atau Taprobana’, sebagai sebuah pulau besar yang kaya.  Sumatera digambarkan sebagai pulau yang sangat luas dan kaya hasil bumi. Menghasilkan emas, lada, kayu wangi agaknya gaharu dan cendana maksudnya, kemenyan, dan rempah lain yang sangat dicari peniaga asing.

Aceh dan Barus disebut sebagai penghasil kemenyan dan kapur barus berkualitas tinggi. Sumatera menjadi pusat perdagangan dunia abad ke-15–16, pedagang dari Arab, Gujarat, Cina, Siam, Malaka, dan Jawa datang untuk berdagang. Barbosa menekankan bahwa pelabuhan di Sumatera ramai dengan kapal asing.

Penduduk pesisir Sumatera banyak yang sudah memeluk Islam, terutama di kerajaan Aceh dan kawasan barat. Ada juga komunitas yang masih mempraktikkan kepercayaan lokal. Barbosa menyebut masyarakatnya pandai berniaga, tangguh berlayar, dan sebagian besar berinteraksi dengan pedagang Muslim dari Gujarat dan Arab.

Barbosa menyinggung beberapa kerajaan di Sumatera, seperti Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Ia menggambarkan raja-raja di sana berkuasa atas perdagangan rempah, emas, dan hasil bumi, serta bersaing satu sama lain untuk menguasai pelabuhan penting. Barbosa menekankan posisi Sumatera yang sangat strategis, karena terletak di jalur perdagangan menuju Selat Malaka, yang merupakan kunci lalu lintas perdagangan Asia.

Dari Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century, terjemahan Henry Stanley, dituliskan:

Leaving Pegu … we arrive at the island Samatra … at a port which is very large and called Pedir. … The harbour of Pedir is very large and the city very populous … we gathered … that this island is Traprobana … The wives of the natives … burn themselves when their husbands are dead …

The people are white; they have wide foreheads, the eyes greyish and round, the hair long, the nose flat; they are small in stature. Much silk is produced in this island … many trees of storax and benjuy … many various kinds of lignum aloes grow in the mountains.

Having left Pedir … reached to another country and city which is called Samatra, in which we saw many merchants; and in a single quarter we counted five hundred changers … There are innumerable silk workshops. The people are all dressed in cotton. They navigate with vessels … called juncos … they carry three masts … when they pass any stiff gulf … they hoist other sails … raised on the second mast …” 

Dari kutipan itu,  Barbosa menyebut kota Pedir di Sumatera sebagai pelabuhan besar dan sangat padat. Pulau itu ia identifikasi sebagai “Traprobana”, istilah geografi yang umum digunakan di masa itu. Ia memberi deskripsi fisik, warna kulit “white”, rambut panjang, mata abu-abu, hidung pesek, tubuh kecil. Menyebut produksi sutera, storax, benjuy, dan berbagai lignum aloes yang tumbuh di pegunungan. Menemui banyak pedagang, 500 penukar dalam satu area, dan banyak bengkel sutera. Dijelaskan juga tentang kapal jung dengan tiga tiang dan teknik berlayar khusus.

Kutipan lain yang ditulis langsung oleh Duarte Barbosa dalam bahasa Portugis (1516):

“A ilha de Çamatra tem, a leste, a ilha de Jaoa e apartam-se ambas per um canal de 10 ou 12 leguas … entre as quaes está Çunda que tem muita pimenta … e muitos escravos. Tem rei sobre si o qual deseja amizade dos portugueses.” 

Terjemahan kira-kira seperti ini:

“Pulau Sumatera (Çamatra) di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Jawa (Jaoa), dan keduanya dipisahkan oleh selat sepanjang 10–12 liga (sekitar 45–54 km). Di antara pulau-pulau tersebut terdapat kerajaan Sunda (Çunda) yang menghasilkan banyak lada untuk diangkut oleh kapal-kapal dan jung-jung dari Malaka serta tempat-tempat lain, dan juga terdapat banyak budak. Mereka diperintah oleh seorang raja yang ingin bersahabat dengan orang Portugis”.


Fernão Mendes Pinto

Fernão Mendes Pinto (1509–1583) adalah seorang penjelajah, tentara bayaran, misionaris, sekaligus penulis asal Portugis. Ia terkenal dengan bukunya Peregrinação (The Travels of Mendes Pinto), terbit 1614, setelah wafatnya.

Pinto mengaku pernah berlayar luas di Asia antara tahun 1537–1558, meliputi India, Burma, Siam, Sumatera, Jawa, Malaka, Jepang, dan Tiongkok. Kisahnya penuh dengan pengalaman ditawan, dijual sebagai budak, ikut perang, berdagang, dan berhubungan dengan istana-istana Asia.

Dalam Peregrinação, Pinto menyinggung beberapa kali tentang Sumatera, yang ia sebut ‘Çamatra’. Setelah Portugis menguasai Malaka, 1511, Sumatera menjadi wilayah penting dalam jalur dagang Portugis. Pinto menulis bahwa ia beberapa kali berlayar dari Malaka ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera, baik untuk misi dagang maupun militer. Ia menggambarkan Sumatera sebagai pulau besar, kaya dengan lada, emas, kemenyan, gaharu, kapur barus, serta budak. Pinto menyebut daerah Barus sebagai pusat perdagangan kapur barus yang sangat terkenal di Asia.

Pinto menyinggung beberapa kerajaan di Sumatera, seperti Aceh, Pasai, dan Palembang. Ia mencatat bahwa penduduk pesisir Sumatera sebagian besar sudah memeluk Islam dan berdagang erat dengan pedagang Gujarat, Arab, Turki, dan Cina. Namun di pedalaman masih terdapat komunitas dengan kepercayaan lokal.

Pinto juga menulis bahwa perairan sekitar Sumatera rawan bajak laut. Dalam Peregrinação, ia mengaku beberapa kali ditawan oleh bajak laut Sumatera, bahkan pernah dijual sebagai budak.

Ia menyinggung tentang Aceh sebagai kekuatan besar di Sumatera bagian utara yang ambisius untuk menguasai jalur perdagangan Selat Malaka. Portugis sering berkonflik dengan Aceh, dan Pinto menyebut pertempuran di laut antara armada Portugis dan orang Aceh.

Pinto mencatat bahwa ia singgah di Pedir, salah satu pelabuhan penting di pesisir timur laut Sumatra, yang digambarkan ramai sebagai pusat perdagangan lada. Menurut kisahnya, banyak pedagang Muslim dari Gujarat, Arab, dan Turki yang aktif di sana. Tentang Pasai yang pada masa itu sudah mulai melemah akibat konflik internal dan serangan Portugis. Ia menyebut adanya benteng Portugis kecil di sana, yang sering diserang oleh orang-orang Aceh.

Aceh (Achém) sedang bangkit di bawah Sultan Ali Mughayat Syah, dengan ambisi menaklukkan Pasai dan menantang Portugis. Suasana ketegangan militer di wilayah tersebut. Ia juga menyebutkan hubungan erat orang Sumatera dengan pedagang Muslim internasional. Catatannya memberi gambaran bahwa Sumatra pada masa itu adalah simpul perdagangan global.

Dalam versi terjemahan bahasa Inggris The Travels of Mendes Pinto yang diedit oleh Rebecca D. Catz, terdapat bab berjudul “Chapter 14 – “Through the Jungles of Sumatra” (Menerobos Hutan Sumatera), yang memuat deskripsi Mendes Pinto tentang Sumatera dan pengalamannya melewati hutan-hutan di sana. Selain itu, konten buku mencakup beberapa bab terkait Sumatra, termasuk: Chapter 23 – Shipwrecked off the Island of Sumatra (Karam di lepas pantai Sumatra), Chapter 24 – Captive in Siak (Ditawan di Siak), Chapter 26 – The Achinese Threat to Portuguese Power (Ancaman Aceh terhadap kekuasaan Portugis) .

Contoh kutipan pendek dari terjemahan Inggris:

The next morning the King of Batas marched … towards the Kingdom of Achem ….” (Batas : Orang Pedalaman, Batak;  Achem: Aceh)

Being departed from this river … we went ashore at a place named Ciaca, in the Kingdom of Iambes.” (Ciaca : Siak; Iambes: Jambi ?). 

We … were cast away … in our return from Aaru ….” (Aaru, Aru saat itu adalah sebuah kerajaan Melayu di pantai timur Sumatera). 

Menurut Encyclopaedia Britannica, karya Peregrinação karya Fernão Mendes Pinto sering dipertanyakan validitasnya—ia mendapat julukan “Fernão Mentes? Minto!” ( “Fernão, kamu berbohong? Aku berbohong!”) karena banyak ceritanya terkesan dilebih-lebihkan, meski bagian tertentu tetap dianggap realistis dan berharga dari sudut pandang etnografi zaman itu. Kisah Pinto sering dianggap berlebihan atau bahkan sebagian fiksi, karena ia menceritakan hal-hal luar biasa, misalnya pernah 13 kali ditawan, 16 kali dijual sebagai budak, lolos dari 10 kali hukuman mati.

Ini dia peta sederhana jalur persinggahan Fernão Mendes Pinto di Sumatera (sekitar 1540-an): terlihat Aru (Medan), Aceh, Pasai, Pedir (Pidie), Siak, dan Iambes: Jambi ?.  sebagai titik-titik utama perjalanan serta singgahannya.

 

William Marsden

William Marsden (1754–1836) adalah orientalis, sejarawan, dan pegawai kolonial Inggris. Ia bekerja di Bengkulu (Bencoolen), koloni Inggris di pantai barat Sumatera, antara 1771–1779 sebagai pejabat East India Company. Dari pengalamannya tinggal dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Sumatera, ia menyusun buku The History of Sumatra (edisi pertama 1783, revisi 1784 & 1811).

Buku ini adalah karya klasik Eropa pertama yang mendeskripsikan secara sistematis tentang geografi, masyarakat, bahasa, hukum, adat, agama, flora-fauna, dan ekonomi Sumatera.

Sesungguhnya Marsden tidak berkeliling seluruh Sumatera, melainkan terutama tinggal di wilayah pantai barat, yaitu Bengkulu, Lais, Manna, dan pedalaman Rejang. Dari situ ia mengumpulkan data lewat pengamatan langsung kehidupan sehari-hari penduduk, interaksi dengan pemimpin lokal yaitu raja, kepala adat, dan ulama; catatan dagang East India Company. Untuk Bahasa  Melayu, Marsden bahkan menyusun A Grammar and Dictionary of the Malay Language tahun 1812. Ia juga menguasai Bahasa Rejang.

The History of Sumatra (Edisi 1811) membahas kondisi alam dan lingkungan,  baik keadaan tanah, iklim, musim, dan pengaruhnya. Flora, tanaman pangan, rempah, dan tumbuhan liar, hasil tambang yaitu emas, besi, timah, garam, dan sebagainya. Ada pula fauna seperti gajah, harimau, badak, burung, ikan. Selanju8tnya ada pula fokus ke manusia, budaya, dan masyarakat, baik suku utama yaitu Melayu, disebut juga nama yang kita kenal sekarang seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Rejang, Lampung. Diterangkan ciri fisik orang Sumatera, adat, upacara, perkawinan, pemakaman, sistem politik, kerajaan, kepala adat, hukum adat terutama hukum Rejang, karena Marsden teliti langsung.

Secara keagaamaan disebut  Islam sebagai agama besar, juga masih ada kepercayaan lokal. Dalam bahasa Melayu, Marsden pelopor kajian filologi Melayu.

Ia bicara  metode bertani, tanaman pokok, hasil bumi, kerajinan, tenun, peralatan logam, perahu, perdagangan lada, emas, kemenyan, jaringan dagang internasional, sampan, kapal jung, dan teknik pelayaran tradisional.

Untuk wilayah yang tidak dikunjungi, William Marsden memakai rujukan berdasarkan laporan lisan, catatan dagang, dan sumber-sumber terdahulu, baik Belanda, Portugis, dan Melayu.




John Anderson

John Anderson (1795–1845) adalah pejabat East India Company di Penang (Prince of Wales Island). Tahun 1823, ia dikirim dalam misi diplomatik dan dagang ke pantai timur Sumatera oleh pemerintah kolonial Inggris. Tujuannya adalah membuka hubungan dagang langsung antara Inggris (Penang/Singapura) dengan pelabuhan-pelabuhan di timur Sumatera.

Isi laporannya sangat akurat, seperti membaca agenda perhari. Apa saja yang ia lalui dan ia lihat serta rasakan; tidak hanya dagang, tapi juga politik lokal, etnografi, dan adat Melayu. Isi laporannya tertuang dalam buku ‘Mission to the East Coast of Sumatra, in 1823’.

Dampak sejarah bisa dirasakan, catatan Anderson menjadi dokumen kunci Inggris menjelang Traktat 1824, perjanjian Inggris–Belanda yang membagi wilayah pengaruh di Asia Tenggara. Memastikan stabilitas politik dan pengaruh Inggris di wilayah Selat Malaka, pasca Perjanjian Inggris-Belanda (Anglo-Dutch Treaty 1824) yang akan membagi pengaruh kolonial.

Dalam laporannya, Anderson mencatat kunjungan ke sejumlah kerajaan dan pelabuhan penting di pantai timur Sumatera: Deli (Medan sekarang). Mencatat tentang hasil bumi (lada, beras, kayu, damar) dan perdagangan dengan pedagang Melayu, Batak Karau, serta Tionghoa. Di Serdang, mempelajari sistem politik dan ekonomi kerajaan Serdang. Langkat, menulis tentang hasil hutan, perdagangan, dan hubungan kerajaan dengan Aceh. Di Asahan, mencatat pelabuhan dagang aktif di wilayah Asahan. Banyak hasil pertanian dan perkebunan diperdagangkan di sini. Di Siak Sri Indrapura (Riau daratan), pusat kekuasaan besar di pantai timur Sumatera ini, Anderson menegosiasikan perjanjian dagang dengan Sultan Siak. Ia mencatat juga daerah Batubara, Rokan, Indragiri, dan Kampar berdasarkan informasi lokal, meski tidak selalu singgah langsung.

Laporan perjalanan berupa catatan harian perjalanan diplomatik dan kunjungan ke kerajaan-kerajaan, secara deskripsi, baik peta sungai, jalur dagang, kondisi pelabuhan, struktur pemerintahan kerajaan Melayu di timur Sumatera, hubungan dengan Aceh, Minangkabau, dan Johor. Hasil  bumi, baik itu lada, beras, damar, kapur barus, rotan, emas, serta jaringan dagang dengan Tionghoa, Arab, dan India.

Pengamatan terhadap adat Melayu, hukum Islam, dan interaksi etnis Melayu dengan orang pedalaman yaitu Batak dan orang gunung yaitu Karaw, serta Tionghoa dan Bugis. Ada pula perjanjian dagang, daftar komoditas, statistik perdagangan, serta kosakata Melayu tempatan.

Ini adalah peta visual sederhana jalur kunjungan John Anderson (1823) di pantai timur Sumatera. Titik biru menandai lokasi kerajaan/pelabuhan, sedangkan garis merah putus-putus menggambarkan jalur perkiraan perjalanan diplomatik dan dagang yang ia catat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatra.*



Komentar