Oleh: M. Muhar Omtatok
Makan bersama mempunyai
arti penting, dalam psikologi sosial, makan bersama dalam berbagai bentuk bisa
membangun ikatan sosial. Cara ini memperkuat rasa kebersamaan, kelekatan, dan
identitas kelompok. Dari sudut norma sosial dan adab, baik cara duduk, berbagi
lauk, hingga giliran makan mencerminkan pembelajaran sosial. Kesetaraan juga
akan terbangun dalam banyak budaya, duduk dan makan bersama di satu wadah
mengurangi jarak status dan menciptakan rasa “kita”.
Dari pendekatan psikologi
keluarga dan perkembangan, ada istilah Family
bonding merupakan proses memperkuat hubungan emosional, menciptakan
ikatan batin, dan meningkatkan rasa saling percaya antara anggota keluarga
melalui makan bersama. Tujuan utamanya adalah membangun keluarga yang
sehat, harmonis, dan suportif, serta meningkatkan kesejahteraan fisik dan
mental seluruh anggota keluarga. Momen makan membuka ruang cerita, curhat,
dan diskusi ringan yang meningkatkan emotional
well-being. Bagi anak, mereka belajar adab makan, keteraturan, dan
kebiasaan sehat melalui modeling orang tua.
Dalam pendekatan
psikologi kesehatan, makan bersama memiliki manfaat mindful eating, yaitu makan
bersama mendorong makan lebih pelan, menikmati rasa, dan lebih sadar porsi serta
tentunya menyehatkan fisik. Bermanfaat juga untuk mengurangi stress, karena interaksi
hangat saat makan menurunkan hormon stres - cortisol dan meningkatkan oxytocin.
Dalam budaya makan bersama ini sebagai dukungan sosial, individu yang rutin
makan bersama cenderung memiliki ketahanan mental lebih kuat.
Psikologi budaya
memandang makan bersama sebagai simbol persaudaraan dan syukur, dalam budaya
Melayu baik itu bajambar, berseprah, bedulong merupakan simbol gotong royong
dan kebersamaan. Disini ada internalisasi nilai karena makan bersama menanamkan
nilai empati, berbagi, dan kerendahan hati. Identitas kolektif juga terbangun,
sehingga terjaga tradisi makan bersama memperkuat jatidiri dan rasa memiliki
terhadap komunitas dan puak.
Makan
Bersama Dalam Tradisi Melayu
Dalam tradisi Melayu,
makan bersama bukan sekadar kegiatan memenuhi kebutuhan jasmani, melainkan juga
sarana mempererat silaturahmi, menjaga adab, dan melestarikan nilai
kebersamaan. Jika ada tetamu, maka menjadi ‘sumbang’ jika tidak dijamu makan.
“Apabila
meraut selodang buluh
Siapkan lidi buang miangnya
Apabila menjemput orang jauh
Siapkan nasi dengan hidangnya”.
Dalam tradisi Melayu, walaupun
tidak kaya, tetamu yang datang ke rumah kita mesti dilayani sebaik mungkin,
maka dibuatlah makan bersama, hingga muncul pepatah,
“Biar rumah condong, asal gulai lemak”.
Betapa pentingnya budaya
makan ini, sehingga Melayu memiliki banyak istilah soalan itu.
Ada istilah ‘makan’
yang tentu saja sama dengan makna dalam Bahasa Indonesia. Namun ada kata ‘Santap” yang bermakna makan
tetapi ucapan hormat kepada kaum bangsawan, hingga muncul istilah ‘Jamuan
Santap Diraja’, yaitu tradisi makan bersama untuk kalangan bangsawan. Ada kata ‘Ayap’
yang diperuntukan bagi makan untuk orang kebanyakan, hingga istilah ‘Ayapan’
yaitu makanan pemberian raja untuk orang biasa.
Ada istilah ‘Baham’
yang berarti makan, cuma berbeda peruntukannya. Jika sesama orang kebanyakan
atau orang bukan bangsawan menyebut kata ini, ia bisa mengajak makan dengan
kalimat, “Moh kite baham”, yang maknanya “Ayok kita makan”. Tapi akan jauh
berbeda makna jika diucapkan dengan kaum bangsawan, karena kata ‘Baham’
bermakna ‘makan dengan rakus layaknya harimau’. Tentu bisa berdampak
ketersinggungan.
Ada beberapa kata-kata sumbang
dalam makan menurut adab Melayu, seperti ‘Gelojoh’ yaitu adab makan yang tidak
cermat, seperti rakus dan makan tidak punya aturan. Ada istilah ‘Tungap’ yaitu
cara memasukan makanan ke mulut yang tidak cermat. Serta berbagai istilah lain.
Dahulu sebelum terlalu
terpengaruh kebudayaan barat, Orang Melayu memiliki bentuk dan tata cara makan bersama:
• Duduk bersila
atau berlapik di lantai beralas tikar purun atau mengkuang lalu dialas (bahasa
Melayu: disanggah) kain panjang. Pada jamuan santap, pengaruh eropa sudah
terbawa, yaitu sudah makan di meja makan dan menyuap makanan dengan sudu.
• Hidangan bisa
pula disusun dalam talam besar (nampan) dan dimakan bersama-sama 4–5 orang.
• Menggunakan
tangan kanan untuk menyuap nasi dan lauk, dengan adab tidak mencampuradukkan
makanan seenaknya. Mengambil makanan dari yang lebih dekat, tidak sungsang.
• Air minum
biasanya disediakan dalam kundika (kendi) atau cawan (gelas) yang dibagi
bergantian. Mingisi air minum tidak boleh sampai penuh bubung, sisakan untuk
tempat bibir.
Disini ada nilai adab
dan etika, yaitu:
• Dahulukan doa
sebelum dan sesudah makan.
• Mendahulukan
orang tua atau tetamu mengambil makanan. Tuan rumah belum berhenti makan
sebelum tetamu mengakhiri.
• Tidak rakus,
ambil secukupnya dan sisakan untuk orang lain. Saat ingin tambah, di pinggan
harus masih ada tersisa, jika di pinggan sudah tidak ada lagi – berarti menandakan
tidak lagi menambah.
• Tidak berbicara kotor saat makan.
Tradisi makan bersama
dalam masyarakat Melayu biasanya dilakukan setiap hari. Namun berkembangnya
waktu, beragam kesibukan membuat waktu khusus sebagai membertahankan tradisi
ini. Seperti saat:
• Kenduri
astakona atau makan nasi hadap-hadapan (salah satu tradisi pada perkawinan
Melayu di Sumatera Utara)
• Hari besar
keagamaan dan tradisi seperti Megang Puasa, Jamu Laut, Jamu Sungai, Jamu
Bendang, dan banyak lainnya.
• Gotong
royong, kenduri dan tradisi kampung seperti Hari Rayo Mamoncak di Silou Laut,
dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, makan
bersama dalam tradisi Melayu adalah cerminan budaya kolektif, adab, dan
kehangatan silaturahmi.
Makan
Bejambar
Makan bejambar merata
ada di wilayah Melayu. Di Sumatera ada di seluruh Melayu dan Minangkabau. Makanan
dihidangkan di dalam talam besar (nampan bulat lebar), biasanya satu talam dimakan
4–5 orang bersama-sama. Ada aturan tertentu dalam makan bejambar, seperti cara
duduk ada yang bersila untuk pria dan bersimpuh untuk wanita, ada pula pria
menekankan salah satu kakinya ke perut, cara mengambil makanandan cara
menghormati yang lebih tua. Meskipun tradisi ini masih lestari, ada
beberapa daerah yang mulai jarang melaksanakan Makan Bejambar dalam kehidupan
sehari-hari karena pengaruh modernisasi. Namun, di banyak tempat, terutama
di daerah pedesaan dan pada acara-acara khusus, tradisi ini masih dijaga dan
dilestarikan.
Makan Bejambar adalah tradisi yang kaya akan makna dan nilai-nilai budaya. Tradisi ini menjadi simbol kebersamaan, persatuan, dan gotong royong yang patut dilestarikan.
Makan
Berseperah
Seperah dalam bahasa
Melayu berarti kain untuk mengalas makanan. Jadi Makan berseperah merupakan hidangan
yang disusun berjejer panjang di atas tikar yang pada hidangannya dialasi kain
panjang yang biasanya berwarna putih atau kuning, hidangan pada Makan Berseperah
jauh lebih lengkap dari ada Makan Bejambar.
Setiap orang duduk bersila berhadapan sepanjang hamparan makanan, tubuh tidak menunduk terlalu dekat dengan hidangan, dan mengambil yang tak jauh dari tempat bersila. Pinggan tidak boleh diangkat, dan makan tidak berdecak. Kebudayaan ini ada di seluruh wilayah Melayu di Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Brunei, Thailand Selatan serta lainnya.
Makan
Bedulang (Makan Bedulong)
Makan bedulang sama
dengan Makan bejambar. Dalam tradisi Melayu Bangka Belitung disebut Makan
Bedulong, yang dilakukan secara bersama-sama dalam satu nampan besar (dulang)
yang berisi nasi dan berbagai lauk-pauk, dan biasanya dinikmati oleh empat hingga
enam orang yang duduk bersila mengelilingi dulang tersebut. Tradisi ini
mencerminkan filosofi kebersamaan, kekeluargaan, rasa syukur, dan saling
menghargai, serta sering dilakukan pada acara adat, hari besar, atau untuk
menyambut tamu khusus.
Ada aturan adat yaitu makanan
dimakan secara tertib, dimulai dengan doa, tidak boleh rakus, dan harus saling
menghormati. Melambangkan gotong royong, persatuan, dan rasa syukur. Bedulong
sering dilaksanakan saat Maulid Nabi, hajatan, atau syukuran.*


Komentar