Sambutan Dr.phil. Ichwan Azhari, MS
kepala Pusat
Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan pada peletakan batu
pertama Museum Maritim di Siba Island Hamparan Perak
Haru
merupakan kerajaan Melayu yang besar yang pernah menguasai dan mengontrol jalur
perdagangan internasional di Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah
menjadi kerajaan ”superpower” di kawasan Asia Tenggara seperti Cina, Pasai,
Aceh, Majapahit dan Malaka tidak bisa mengabaikan kebesaran kerajaan Haru yang
penting tapi dilupakan ini. Bahkan Gajah Mada pun tidak tenteram sebelum
kerajaan Haru bisa ditaklukkannya. Bukti-bukti sejarah berupa arsip, teks,
temuan-temuan arkeologis serta sejarah lisan telah mengukuhkan bahwa kerajaan
ini berkecenderungan kuat terletak di pantai timur Sumatra Utara, tepatnya di
kawasan Hamparan Perak.
Keberadaan
kerajaan ini muncul pertama kali dalam sumber Cina, ketika negeri tersebut
berada dibawah pemerintahan Dinasti Yuan. Laporan perjalanan ini dituliskan
oleh Ma Huan, asisten Laksamana Cheng Ho ketika melakukan perjalanan ke
Nusantara pada tahun 1416 M atas perintah kaisar Cina. Dalam buku Nusantara
Dalam Catatan Tionghoa (2009),
diterangkan bahwa Laksamana Cheng Ho seorang utusan kaisar Cina sempat singgah
di Kerajaan Haru melalui negeri Ma-La-Chia (Malaka). Dewasa itu, Kekaisaran
Cina menjalin hubungan yang sangat baik dengan Kerajaan Aru. Menurut Ma Huan,
di negeri ini terdapat sungai Air Tawar (Fresh Water River), dengan melintasi
sungai ini maka kita akan tiba ke sebuah permukiman penduduk. Menurut
keterangannya, penduduk Kerajaan Haru, kala itu telah menganut agama Islam.
Berselang
beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1430, Zheng He kembali menjadi
utusan kaisar Renzong untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Sebelumnya
pada tahun 1412, sebagaimana di catat dalam Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325, menjelaskan bahwa Zheng He
mengunjungi negara ini sebagai utusan kaisar. Tujuan perjalanan ketujuh ini
ingin mengembalikan pengaruh Cina, ditandai dengan berkurangnya Negara-negara
di selatan yang memberikan upeti ke kerajaannya. Negara yang dikunjunginya
tersebut adalah Campa, Jawa, Kamboja, Ku-kang, Siam, Kalkuta, Melaka, Brunei,
Sumatra, Aru, Cochin, Coilan Besar, Coilan
Kecil, Soli dan Soli Barat, Cail, A-bo-ba-dan, Comari, Sri Langka, Lambri,
Pahang, Kelantan, Hormus, Bi–la, Kepulauan Maladewa, Sun-la (Sunda)
(Groeneveldt, 2009:63). Kedua laporan perjalanan ini masing-masing adalah Yingya
Shenglan (1416)
dan Xingcha Shenglan(1436).
Selain
dari kedua sumber Cina tersebut, Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)Buku 325 juga mencatat bahwa Aru
terletak didekat Melaka. Pada tahun 1411, raja mereka Su-lu-tang Hut-sin
mengirim utusan yang membawa upeti bersamaan dengan Kalkuta dan Negara lainnya.
Sebagai gantinya, para utusan ini memperoleh hadiah topi, ikat pinggang, sutra,
uang dan uang kertas serta hadiah lainnya untuk diberikan kepada Raja
(Groeneveldt, 2009: 133). Secara berturut-turut, Kerajaan ini mengirimkan
upetinya kepada Kaisar Cina. Tepatnya pada tahun 1419, putra Raja Tuan A-la-sa
mengirimkan utusannya. Diikuti pada tahun 1421 dan 1423. Hingga akhirnya
tahun-tahun berikutnya, kerajaan ini mulai membelok dengan tidak mengirimkan
upeti ke Kaisar Cina.
Keberadaan
kerajaan ini juga dituliskan dalam beberapa sumber Eropa, antara lain:
Tome Pires dari Portugis dan Mendez Pinto. Dalam sumber Eropa diuraikan bahwa
Haru merupakan kerajaan besar yang terdapat di pesisir timur pulau Sumatera.
Hal ini dijelaskan oleh Pires dalam Cortesao (1967: 146), bahwa Kerajaan Daruu
(Haru) adalah kerajaan besar, lebih besar dari kerajaan-kerajaan lain di
Sumatera. Perjalanan Tome Pires ini dilakukan pada pertengahan abad ke-16,
ketika Malaka takluk dibawah pengaruh Portugis. Dalam kunjungannya tersebut,
digambarkan Kerajaan Haru memiliki banyak sungai dan sedikit berawa (Pires
dalam Cortesao, 1967:147). Kerajaan ini telah mendapat pengaruh Islam ditandai
dengan kepemimpinan seorang Raja muslim yang berdiam di pedalaman.
Selain
laporan perjalanan Tome Pires, keberadaan kerajaan ini juga dipaparkan
Ferdinand Mendes Pinto yang merupakan utusan Portugis. Untuk mencapai kerajaan ini
menurut Pinto dalam Reid (1991:28), membutuhkan waktu berlayar dari
Malaka, kemudian tibalah di sungai Panecitan dimana terletak ibukota Haru.
Dengan demikian semakin jelaslah keberadaan Kerajaan ini, kerajaan besar di
pesisir Sumatera Utara yang letaknya membentang dari Tamiang hingga ke Rokan.
Uraian daerah kekuasaan Kerajaan Aru ini ditemukan juga dalam beberapa sumber
local, antara lain:Hikayat
Raja-raja Pasai dan Sejarah
Melayu, pada
pertengahan Abad ke-13 (Sinar, 2006:12).
Sumber-sumber
local yang dimaksud tersebut ialah sumber Melayu, Aceh dan Jawa. Dalam sumber
Jawa, Kerajaan Aru berulang kali disebutkan terutama di dalam kitab
Negara Kertagama karya
Prapanca dan Kitab Pararaton. Pada pupuh ke-13 bait ke-1,
diuraikan bahwa di Sumatera daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai Majapahit
pada abad ke-14, antara lain: Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas,
Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Tamiang, Parlak, Samudra,
Lamuri, Barus, Batan dan Lampung (Muljana, 2006:161). Kitab Negara Kertagama
dikarang pada tahun 1365 Masehi yang menyimpulkan kepemimpinan Rajasanagara
atau Hayam Wuruk sebagai Raja Kerajaan Majapahit.
Penaklukkan
ini berkaitan dengan upaya perluasan hegemoni Majapahit di seberang lautan
diawali dari pengucapan Amukti Palapa oleh Gajah Mada. Dalam buku Gajah
Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (2005),
dijelaskan bahwa saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa jikalau seluruh
Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan Negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung
Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik sudah dikalahkan.” Amukti
Palapa yang diucapkan Gajah Mada ini menyebutkan bahwa Haru merupakan salah
satu kerajaan yang nantinya akan ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit. Selain
itu, penaklukkan Kerajaan Haru yang dituangkan dalam Amukti
Palapa ini
dituliskan dalam Kitab Pararaton. Dalam istilah bahasa Jawi, Kitab
Pararaton berarti
kitab Raja-raja dan dikenal pula dengan nama Pustaka Raja.
Sedangkan
di dalam sumber-sumber Aceh dan Melayu, terutama padaSejarah Melayu dan Hikayat
Raja-raja Pasai disebutkan
bahwa rombongan Nahkoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan
Fansuri (Barus), kemudian Lamiri (Lamuri) lalu ke Haru dan dari sana barulah
Raja Samudra Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian Sultan
Malikulussaleh diislamkan (Sinar, 2006:12).
Pada
abad ke-15, kebesaran Kerajaan Aru semakin berkembang dengan pesatnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah Melayu bab ke-13 bahwa Kerajaan Aru
telah menjadi kerajaan besar setaraf dengan Malaka dan Pasai. Periode tersebut,
kerajaan ini menjadi kerajaan besar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang
dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka Sebelum kedatangan
Portugis, Kerajaan Aru sudah berdiri kokoh dan memiliki pengaruh besar di Selat
Malaka. Oleh karena itu, berkali-kali dalamSejarah
Melayu karya
Tun Sri Lanang dijelaskan bahwa Haru sempat berkali-kali menduduki Pasai dan
menyerang Malaka.
Untuk
meredam pertempuran dengan Malaka, Kerajaan Harupun tetap berusaha menjalin hubungan
yang harmonis dengan Melayu Malaka. Sultan Haru sempat membantu Kerajaan Malaka
dari penyerbuan Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun
1511. Persahabatan tersebut semakin dipererat dengan pernikahan anak perempuan
sultan yang bernama Raja Putih dengan Sultan Haru yang bernama Sultan Husin
(Sinar, 2006:19). Setelah penyerangan Malaka tersebut, Sultan Malaka
menyelamatkan diri di Bintan. Hubungan yang erat inilah yang nantinya menjadi
pangkal permasalahan dengan Kerajaan Aceh, sebagai kerajaan yang menggantikan
peran penting kerajaan Pasai setelah Pasai surut. Menurut Muhammad Said dalam Aceh
Sepanjang Abad (1981),
sengketa antara Portugis dan Aru pada suatu pihak terhadap Aceh pada lain
pihak, sebetulnya bermulaan sejak tahun 1524 (Masa Ali Mughayat Syah).
Ketika
orang Portugis lari ke Aru sehingga armada Aceh memburu sisa-sisa angkatan
perang Portugis yang sebelumnya dihancurkan di Pasai lantas berlindung ke Aru
serta meminta bantuan disana. Portugis meminta bantuan Kerajaan Haru dari
penyerangan Ali Mughayat Syah. Hingga kemudian sejarah menjelaskan bahwa akhir
pertempuran tersebut adalah kemenangan di pihak Aceh. Sejumlah legenda dan
cerita rakyat berkaitan dengan konflik Aceh – Haru ini seperti cerita tentang Benteng
Putri Hijau di Deli
Tua sebenarnya berkaitan atau merupakan interpretasi tradisional atas
fakta-fakta historis yang ada.
Penyerangan
yang terjadi pada tahun 1612 ini menyebabkan Kerajaan Haru berada di bawah
kekuasaan Aceh. Di daerah taklukkan ini ditempatkanlah Wali Negara Aceh, yaitu
Gotjah Pahlawan. Ratu Aru yang selamat dalam pertempuran tersebut lantas
meminta bantuan kepada Sultan Johor dengan syarat ratu bersedia menikah dengan
Sultan Johor yaitu Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah. Pada tahun 1640, Sultan Johor
dan Ratu Aru berhasil mengadakan serangan balasan ke Haru dan memulihkan
kembali kekuasaan Ratu di negerinya tersebut (Said, 1981:189). Dua puluh empat
tahun kemudian tepatnya pada tahun 1664, Kerajaan Aru dapat diambil alih
kembali oleh pihak Aceh.
Majapahit,
Pasai, Aceh dan Malaka sering disebut-sebut dalam historiografi nasional
Indonesia. Bahkan dalam sejarah resmi Indonesia (6 Jilid Sejarah Nasional
Indonesia) kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai kerajaan penting di
Asia Tenggara. Tapi Haru tidak disebut, Haru belum mendapat tempat dalam
sejarah nasional Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu upaya agar
kerajaan besar ini dapat intensif diperkenalkan, artefak dan teks yang sudah
ada dapat di himpun dalam suatu museum serta penelitian lanjutan berupa
eskavasi tentang kerajaan ini perlu segera dilakukan.*
Hamparan
Perak, 18 Mei 2010