Minggu, 04 Januari 2015

HARU, KERAJAAN BESAR MELAYU YANG DILUPAKAN

Sambutan Dr.phil. Ichwan Azhari, MS
kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan pada peletakan batu pertama Museum Maritim di Siba Island Hamparan Perak

Haru merupakan kerajaan Melayu yang besar yang pernah menguasai dan mengontrol jalur perdagangan internasional di Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah menjadi kerajaan ”superpower” di kawasan Asia Tenggara seperti Cina, Pasai, Aceh, Majapahit dan Malaka tidak bisa mengabaikan kebesaran kerajaan Haru yang penting tapi dilupakan ini. Bahkan Gajah Mada pun tidak tenteram sebelum kerajaan Haru bisa ditaklukkannya. Bukti-bukti sejarah berupa arsip, teks, temuan-temuan arkeologis serta sejarah lisan telah mengukuhkan bahwa kerajaan ini berkecenderungan kuat terletak di pantai timur Sumatra Utara, tepatnya di kawasan Hamparan Perak.

Keberadaan kerajaan ini muncul pertama kali dalam sumber Cina, ketika negeri tersebut berada dibawah pemerintahan Dinasti Yuan. Laporan perjalanan ini dituliskan oleh Ma Huan, asisten Laksamana Cheng Ho ketika melakukan perjalanan ke Nusantara  pada tahun 1416 M atas perintah kaisar Cina. Dalam buku Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (2009), diterangkan bahwa Laksamana Cheng Ho seorang utusan kaisar Cina sempat singgah di Kerajaan Haru melalui negeri Ma-La-Chia (Malaka). Dewasa itu, Kekaisaran Cina menjalin hubungan yang sangat baik dengan Kerajaan Aru. Menurut Ma Huan, di negeri ini terdapat sungai Air Tawar (Fresh Water River), dengan melintasi sungai ini maka kita akan tiba ke sebuah permukiman penduduk. Menurut keterangannya, penduduk Kerajaan Haru, kala itu telah menganut agama Islam.

Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1430, Zheng He kembali menjadi utusan kaisar Renzong untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Sebelumnya pada tahun 1412, sebagaimana di catat dalam Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325, menjelaskan bahwa Zheng He mengunjungi negara ini sebagai utusan kaisar. Tujuan perjalanan ketujuh ini ingin mengembalikan pengaruh Cina, ditandai dengan berkurangnya Negara-negara di selatan yang memberikan upeti ke kerajaannya. Negara yang dikunjunginya tersebut adalah Campa, Jawa, Kamboja, Ku-kang, Siam, Kalkuta, Melaka, Brunei, Sumatra, Aru, Cochin, Coilan Besar, Coilan Kecil, Soli dan Soli Barat, Cail, A-bo-ba-dan, Comari, Sri Langka, Lambri, Pahang, Kelantan, Hormus, Bi–la, Kepulauan Maladewa, Sun-la (Sunda) (Groeneveldt, 2009:63). Kedua laporan perjalanan ini masing-masing adalah Yingya Shenglan (1416) dan Xingcha Shenglan(1436).

Selain dari kedua sumber Cina tersebut, Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)Buku 325 juga mencatat bahwa Aru terletak didekat Melaka. Pada tahun 1411, raja mereka Su-lu-tang Hut-sin mengirim utusan yang membawa upeti bersamaan dengan Kalkuta dan Negara lainnya. Sebagai gantinya, para utusan ini memperoleh hadiah topi, ikat pinggang, sutra, uang dan uang kertas serta hadiah lainnya untuk diberikan kepada Raja (Groeneveldt, 2009: 133).  Secara berturut-turut, Kerajaan ini mengirimkan upetinya kepada Kaisar Cina. Tepatnya pada tahun 1419, putra Raja Tuan A-la-sa mengirimkan utusannya. Diikuti pada tahun 1421 dan 1423. Hingga akhirnya tahun-tahun berikutnya, kerajaan ini mulai membelok dengan tidak mengirimkan upeti ke Kaisar Cina.

Keberadaan kerajaan ini juga dituliskan dalam beberapa sumber Eropa, antara lain:  Tome Pires dari Portugis dan Mendez Pinto. Dalam sumber Eropa diuraikan bahwa Haru merupakan kerajaan besar yang terdapat di pesisir timur pulau Sumatera. Hal ini dijelaskan oleh Pires dalam Cortesao (1967: 146), bahwa Kerajaan Daruu (Haru) adalah kerajaan besar, lebih besar dari kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Perjalanan Tome Pires ini dilakukan pada pertengahan abad ke-16, ketika Malaka takluk dibawah pengaruh Portugis. Dalam kunjungannya tersebut, digambarkan Kerajaan Haru memiliki banyak sungai dan sedikit berawa (Pires dalam Cortesao, 1967:147). Kerajaan ini telah mendapat pengaruh Islam ditandai dengan kepemimpinan seorang Raja muslim yang berdiam di pedalaman.
Selain laporan perjalanan Tome Pires, keberadaan kerajaan ini juga dipaparkan Ferdinand Mendes Pinto yang merupakan utusan Portugis. Untuk mencapai kerajaan ini menurut Pinto dalam Reid (1991:28), membutuhkan waktu  berlayar dari Malaka, kemudian tibalah di sungai Panecitan dimana terletak ibukota Haru. Dengan demikian semakin jelaslah keberadaan Kerajaan ini, kerajaan besar di pesisir Sumatera Utara yang letaknya membentang dari Tamiang hingga ke Rokan. Uraian daerah kekuasaan Kerajaan Aru ini ditemukan juga dalam beberapa sumber local, antara lain:Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, pada pertengahan Abad ke-13 (Sinar, 2006:12).

Sumber-sumber local yang dimaksud tersebut ialah sumber Melayu, Aceh dan Jawa. Dalam sumber Jawa, Kerajaan Aru berulang kali disebutkan terutama di dalam kitab Negara Kertagama karya Prapanca dan Kitab Pararaton. Pada pupuh ke-13 bait ke-1, diuraikan bahwa di Sumatera daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai Majapahit pada abad ke-14, antara lain: Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Tamiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung (Muljana, 2006:161). Kitab Negara Kertagama dikarang pada tahun 1365 Masehi yang menyimpulkan kepemimpinan Rajasanagara atau Hayam Wuruk sebagai Raja Kerajaan Majapahit.

Penaklukkan ini berkaitan dengan upaya perluasan hegemoni Majapahit di seberang lautan diawali dari pengucapan Amukti Palapa oleh Gajah Mada. Dalam buku Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (2005), dijelaskan bahwa saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa jikalau seluruh Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan Negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik sudah dikalahkan.”  Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada ini menyebutkan bahwa Haru merupakan salah satu kerajaan yang nantinya akan ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit. Selain itu, penaklukkan Kerajaan Haru yang dituangkan dalam Amukti Palapa ini  dituliskan dalam Kitab Pararaton. Dalam istilah bahasa Jawi, Kitab Pararaton berarti kitab Raja-raja dan dikenal pula dengan nama Pustaka Raja.

Sedangkan di dalam sumber-sumber Aceh dan Melayu, terutama padaSejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan bahwa rombongan Nahkoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus), kemudian Lamiri (Lamuri) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudra Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian Sultan Malikulussaleh diislamkan (Sinar, 2006:12).

Pada abad ke-15, kebesaran Kerajaan Aru semakin berkembang dengan pesatnya.  Sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah Melayu bab ke-13 bahwa Kerajaan Aru telah menjadi kerajaan besar setaraf dengan Malaka dan Pasai. Periode tersebut, kerajaan ini menjadi kerajaan besar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka Sebelum kedatangan Portugis, Kerajaan Aru sudah berdiri kokoh dan memiliki pengaruh besar di Selat Malaka. Oleh karena itu, berkali-kali dalamSejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dijelaskan bahwa Haru sempat berkali-kali menduduki Pasai dan menyerang Malaka.

Untuk meredam pertempuran dengan Malaka, Kerajaan Harupun tetap berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan Melayu Malaka. Sultan Haru sempat membantu Kerajaan Malaka dari penyerbuan Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Persahabatan tersebut semakin dipererat dengan pernikahan anak perempuan sultan yang bernama Raja Putih dengan Sultan Haru yang bernama Sultan Husin (Sinar, 2006:19).  Setelah penyerangan Malaka tersebut, Sultan Malaka menyelamatkan diri di Bintan. Hubungan yang erat inilah yang nantinya menjadi pangkal permasalahan dengan Kerajaan Aceh, sebagai kerajaan yang menggantikan peran penting kerajaan Pasai setelah Pasai surut. Menurut Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1981), sengketa antara Portugis dan Aru pada suatu pihak terhadap Aceh pada lain pihak, sebetulnya bermulaan sejak tahun 1524 (Masa Ali Mughayat Syah).

Ketika orang Portugis lari ke Aru sehingga armada Aceh memburu sisa-sisa angkatan perang Portugis yang sebelumnya dihancurkan di Pasai lantas berlindung ke Aru serta meminta bantuan disana. Portugis meminta bantuan Kerajaan Haru dari penyerangan Ali Mughayat Syah. Hingga kemudian sejarah menjelaskan bahwa akhir pertempuran tersebut adalah kemenangan di pihak Aceh. Sejumlah legenda dan cerita rakyat berkaitan dengan konflik Aceh – Haru ini seperti cerita tentang Benteng Putri Hijau di Deli Tua sebenarnya berkaitan atau merupakan interpretasi tradisional atas  fakta-fakta historis yang ada.

Penyerangan yang terjadi pada tahun 1612 ini menyebabkan Kerajaan Haru berada di bawah kekuasaan Aceh. Di daerah taklukkan ini ditempatkanlah Wali Negara Aceh, yaitu Gotjah Pahlawan. Ratu Aru yang selamat dalam pertempuran tersebut lantas meminta bantuan kepada Sultan Johor dengan syarat ratu bersedia menikah dengan Sultan Johor yaitu Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah. Pada tahun 1640, Sultan Johor dan Ratu Aru berhasil mengadakan serangan balasan ke Haru dan memulihkan kembali kekuasaan Ratu di negerinya tersebut (Said, 1981:189). Dua puluh empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1664, Kerajaan Aru dapat diambil alih kembali oleh pihak Aceh.

Majapahit, Pasai, Aceh dan Malaka sering disebut-sebut dalam historiografi nasional Indonesia. Bahkan dalam sejarah resmi Indonesia (6 Jilid Sejarah Nasional Indonesia) kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai kerajaan penting di Asia Tenggara. Tapi Haru tidak disebut, Haru belum mendapat tempat dalam sejarah nasional Indonesia.  Untuk itu diperlukan suatu upaya agar kerajaan besar ini dapat intensif diperkenalkan, artefak dan teks yang sudah ada dapat di himpun dalam suatu museum serta penelitian lanjutan berupa eskavasi tentang kerajaan ini perlu segera dilakukan.*
Hamparan Perak, 18 Mei 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar