Mengenal Tengkoe
Mansoer Adil Mansoer sama dengan mengenal data sejarah. Bukan cuma karena ia
menetap di Negeri Belanda, tapi Tengkoe Mansoer Adil Mansoer mempunyai
kepedulian besar terhadap upaya pengumpulan data tertulis sejarah Indonesia
yang banyak tercatat dan tersimpan di Belanda.
Bangsawan Melayu
Sumatera Timur yang bermukim di Negeri Belanda ini, yang di masa mudanya
gemar bermain sepak bola, volly serta catur, banyak mengkoleksi surat kabar
lampau yang pernah diterbitkan di zaman Hindia Belanda serta buku-buku budaya
dan sejarah, terutama soalan khazanah Melayu.
Musisi yang pernah
tergabung dalam kumpulan band yang genre musik hawai, country, jazz,
keroncong ini pula, tetap mengikuti perkembangan Puak Melayu di Sumatera
meski ia jauh dari kampung halaman. Ia bahkan sedang berupaya menulis sebuah
buku tentang Kesultanan Asahan.
Tengkoe Mansoer Adil
Mansoer lahir di Medan, 28 Mei 1948. Putera ketiga dari Tengku Aswani bin
Tengku Hafas dan Tengku Sariah binti Dr. T. Mansoer - Asahan. Kedua Atoknya
merupakan tokoh penting di Sumatera Timur, Dr. T. Mansoer adalah Wali
Negara Sumatera Timur, penggagas lahirnya Universitas Sumatera Utara yang saat
itu adalah Perguruan Tinggi Kedokteran; sedangkan Tengku Hafas bin Tengku
Ismail adalah Kepala Departemen Dalam Negeri – Negara Sumatera Timur pada
1948. Ia menikah dengan Jolanda pada 10 September 1976, dikaruniai satu
putera dan empat puteri, dan saat ini ia telah memiliki dua orang cucu.
Tengkoe Mansoer Adil
Mansoer menempuh pendidikan dasar berawal di Sekolah Belanda Oranjeschool
Medan. Namun saat naik kelas III, suasana politik antara Indonesia dan Negeri
Belanda tampak tidak harmonis, sehingga sekolah Oranjeschool ditutup. Segala
sesuatu yang berbau Belanda, baik bahasa atau juga buku-buku pelajaran
berbahasa Belanda dilarang.
“Buku-buku
pendidikan bahasa Belanda terpaksa dibakar dan banyak guru-guru kami
diharuskan berangkat meninggalkan Indonesia dalam 24 jam, hanya satu koper boleh
dibawa; uang tak boleh diambil dari bank. Bahkan tak dapat mengucapkan selamat
tinggal pada mereka yang dikenal dan dekat di hati mereka”, ujar Tengkoe
Mansoer Adil Mansoer.
Setelah peristiwa penutupan sekolah tersebut, Tengkoe Mansoer Adil Mansoer kecil, dimasukkan ke Sekolah St. Joseph di kota Medan. Tengkoe kemudian pindah ke kelas IV di Perguruan Kristen Immanuel jalan Djokja - Medan, yang tak jauh dari rumah orangtuanya.
“Tetapi politik
Soekarno belum membawa suasana damai juga. Revolusi kembali diteruskan.
Indonesia lebih mencari hubungan dengan negara-negara komunis, seperti Uni
Soviet - Rusia, China, Hungaria dan lain-lain”.
“Semua orang-orang
Belanda yang masih bekerja di Indonesia harus pergi, akhirnya orang-orang putih
berangkat kecuali orang-orang komunis. Perebutan Irian Barat, Pemberontakan
Kolonel Simbolon, PRRI/Permesta, RMS, serta zaman permusuhan suku terhadap
suku”, jelas Tengkoe Mansoer Adil Mansoer.
“Kita dihina dengan
sebutan Belanda Tempe atau juga sebutan Feodal. Kelaparan terjadi di banyak
pulau-pulau kecil dan besar. Gula hampir tak ada, beras sulit didapatkan”,
jelas Tengkoe Mansoer Adil Mansoer lagi.
“Saya lalu masuk SMP,
tahun 1960, Indoktrinasi di sekolah dilancarkan ala komunis. Saat upacara
bendera pada hari senin, semua murid berbaju putih, berbaris di depan sekolah
sambil mendengar pidato-pidato tentang kaum imperialis dan kolonialis,
tentang Irian Barat milik Indonesia. Hari sabtu berbaju putih lagi. Upacara
penurunan bendera dan lagi-lagi pidato seperti tersebut”.
“Kalau sirene
diperdengarkan, mobil-mobil wajib berhenti di bawah pohon. Rumah-rumah
harus gelap karena militer memerintahkan agar listrik dipadamkan. Halaman harus
ditanami ubi, jagung dan sejenisnya. Suasana sangat tertekan seperti atmosfir
zaman perang”, kenang Tengkoe Mansoer Adil Mansoer.
“Setiap hari jumahat
kami berziarah ke makam Atok Mansoer di halaman samping Mesjid Raya. Karena
Bunda masih terbayang suasana kekejaman Revolusi Sosial 1946. Bunda
teramat takut akan terulang lagi. Akhirnya, dimintalah petuah
kehadapan Sultan Asahan - Tuanku Saibun. Serta diminta nasihat dan pertolongan
kawan-kawan, seperti Hamzah – seorang hakim, Pak Suwarno – orang imigrasi, dan
lain-lainnya”.
“Kami disarankan
berlibur ke Malaysia. Namun saat di lapangan terbang, kami tak boleh berangkat.
Untunglah tetangga kami, Letkol Zain Hamid, pada waktu itu ia pembesar militer
di Medan dan berada di Ambon untuk menyiapkan perang Irian Barat. Untunglah ia
memberitahukan wakilnya agar kami diusahakan untuk berangkat”.
“Setelah wakil dari
Letkol Zain Hamid mengupayakan, kami langsung masuk ke kapal terbang tujuan
Singapura. Disana kami dihalangi lagi, alasannya berpaspor Indonesia tak
mendapat izin meneruskan perjalanan ke Malaysia, sebab Soekarno hendak
mengganyang Malaya”.
“Bunda begitu bingung,
takut disuruh pulang kembali. Bunda membuka tasnya, difikir bapak-bapak yang
menghalangi tersebut Bunda ingin memberinya uang, biasalah di Indonesia.
Tapi Bunda mengambil passport yang lain di dalam tas, Bunda punya juga
passport Belanda. Maka kami pun dengan penuh susah payah akhirnya dapat
berangkat”, demikian Tengkoe Mansoer Adil Mansoer mengenang masa-masa pahit
itu.
Dari Malaysia akhirnya
mereka menuju Belanda. Disana Tengkoe melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
setingkat SMP, kemudian HBS (Hogere
Burger School atau Hoogere Burgerschool) setingkat SMA. Karena sudah
berumur 22 tahun saat menyelesaikan sekolah, ia masuk wajib militer, karena
sudah mendapat kewarganegaraan Belanda.
Ia ditawarkan untuk
menjadi Opsir cadangan, Namun ia menolak, dengan pertimbangan karena 24 bulan
dalam dinas, lalu menjadi Opsir rendah ditambah 18 bulan, telah menyita
usianya, ditambah lagi ia lebih memilih bidang lain dalam meniti karier.
Sesudah 37 tahun bekerja pada perusahan industri, sejak tahun 2013 ia pensiun. Saat ini selain aktif dalam pengumpulan data sejarah dan budaya Melayu, Lelaki hitam manis yang fasih berbahasa Melayu nan santun bertutur ini, bergabung di dalam perkumpulan Indonesia di Kota Alkmaar, di Provinsi Noord Holland.
Tentang perhatian
beliau terhadap keberadaaan etnis Melayu di Sumatera Timur (Provinsi Sumatera
Utara), Tengkoe Mansoer Adil Mansoer menuliskan pendapat dan masukannya sebagai
berikut:
“Yang terpenting adalah
persatuan dan kesatuan gerakan-gerakan Melayu di Medan dan sekitarnya. Walaupun
berbeda pandangan atau urusan, tetapi semangat dan hasrat mesti sama. Tak perlu
yang satu merasa lebih baik dari pada yang lain”.
Kalau kaum Melayu
hendak membangkit, mulailah dengan kembali menghidupkan upacara-upacara adat
Melayu, misalnya Adat Turun Tanah, Turun Ke Sungai atau Pesta Mupus, Ayun-ayun
(untuk upacara ini dahulu ditenun kain songket untuk mengayun anak bayi itu),
Mandi-mandi, Tepung Tawar dan lainnya".
“Publikasi dan
dokumentasi tentang khazanah adat budaya Melayu menjadi penting untuk
mengekalkan resam Melayu. Karenanya diperlukan publikasi televisi baik dalam
dan luar negeri, atau membuat film sendiri (indie) yang boleh menjadi publikasi
dan dokumentasi hingga ke luar negeri, supaya dunia tahu adat dan
upacara-upacara Melayu sekaligus memperkenalkan kain songket yang dipakai, baju
panjang dan teluk belanga”.
“Pada waktu kejayaan
Sumatera Timur, sering ada kontes memakai Baju Panjang Melayu yang terindah.
Hal ini perlu diulang, agar generasi muda Melayu memahami dan diajarkan adat
budayanya, seperti melipat tengkuluk atau memakai bengkung dan kain samping
dalam bentuk workshop. Juga dikenalkan tokoh-tokoh Melayu yang memimpin dahulu
seperti Sultan-Sultan pejuang, Dr Tengku Mansoer, Tengku Hafas, Tengku
Dzulkarnain, Tengku Bahrioen,seniman dan budayawan Melayu, serta yang lainnya”.
“Guna menghidupkan
keparawisataan, adat budaya Melayu sangat layak disajikan untuk wisatawan, agar
mereka menceritakan tentang upacara-upacara itu kepada yang lain. Warisan
songket dapat menjadi objek wisata saat menenun, serta songket dijadikan
cendera mata bagi wisatawan, bahkan boleh dibuat shawl atau selendang berbahan
songket. Budaya pencak silat dan tarian Melayu ditampilkan menyambut tetamu di
lapangan terbang dan hotel. Permainan Layang layang wau bulan atau gasing
menjadi objek wisata dan dibuat pula latihan membuat layang-layang berbagai
jenis pula. Organisasi Melayu harus berperan nyata untuk memperkenalkan
khazanah Melayu, segaligus sebagai penyelenggaranya”.
“Jika mau memajukan
Melayu, banyak yang dapat dilakukan untuk mengangkat batang terendam. Tiada
yang tak mungkin jika mau berbuat”. *(M Muhar Omtatok)





Komentar