Dr.phil. Ichwan Azhari, MS
Kepala Pussis-Unimed
Alkisah kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja
bernama Singa Mahraja memerintah di negeri Bekarah.
…Maka adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa
orang besarnya mau jadikan, karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga,
maka turunlah ia pergi ke hutan mencari ilmu…
Sebelum
tahun 1975, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April.
Penetapan hari ulang tahun itu didasarkan penetapan Kota Medan sebagai
Gemeenteraad tanggal 1 April 1909. Jika hari ulang tahun itu tidak dirubah pada
tahun 1975, maka tanggal 1 April ini merupakan hari ulang tahun Kota
Medan ke-100 (satu abad). Melakukan refleksi melalui peringatan satu abad Kota
Medan sebagai satu kota dengan warisan jejak peradaban Eropa yang tinggi,
tentu beda dengan jika yang dijadikan tonggak adalah hari jadi sebuah kampung,
apalagi tidak ada bukti historis bahwa dari kampung itulah Medan berkembang
menjadi kota moderen.
Ini
semua terjadi hanya gara-gara sekelompok orang kurang kerjaan yang tidak mau
segala sesuatunya berbau kolonial. Lalu di awal tahun 1970-an, orang-orang itu
mencari kesibukan mengarang hari jadi kota yang baru. Yang penting, tidak ada
bau Belandanya. Mereka mencoba mengingkari bahwa Kota Medan adalah ciptaan
Belanda. Singkat cerita, mereka tersesat ke sebuah legenda bernama
Hikayat Hamparan Perak. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian moderen di
dalam hikayat itu jelas tidak ada. Lantas fakta yang tidak ada itu
diada-adakan dan dijungkirbalikkan, lalu…sim salabim…ketemulah tanggal
yang tidak berbau kolonial Belanda. Tanggal boneka itu 1 Juli 1590, yang
sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Kota Medan, satu tanggal yang
manipulatif, jauh dari maksud mencari tanggal pengganti hari jadi sebuah kota
moderen, yang embrio kemunculannya baru ada di abad ke-19.
Berdasarkan
dokumen yang ada di Arsip Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS)
Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota yang berbau Belanda itu dilakukan
melalui seminar tanggal 27-29 Maret 1971. Seminar itu kemudian bergulir ke
tahap dibentuknya Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. Nah, panitia
inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk menelaah teks tradisional yang
anonim, Riwayat Hamparan Perak (RHP), sebagai bahan untuk mencari
hari jadi Kota Medan. Pada waktu itu, memang dalam disiplin ilmu sejarah, belum
berkembang kajian kritis atas sebuah teks tradisional, sehingga tidak
dipertanyakan apakah sebuah teks tradisional bisa dipertanggungjawabkan untuk
mencari data historis. Apakah teks yang menyimpan fakta sejarah atau teks
tradisional sebenarnya sebuah wacana sejarah?
Karena
pertanyaan kritis itu tidak diajukan, maka panitia tidak menyadari di belakang
hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang
satu persatu. Misalnya, panitia berdasar teks ini mengatakan, pendiri Kota
Medan adalah Guru Patimpus, orang Karo bermarga Sembiring. Tapi sekarang di
internet ada bantahan berdasarkan teks yang sama, bahwa Guru Patimpus bukan
marga Sembiring. Dia adalah marga Sinambela, keturunan Singamangaraja. Jadi
pendiri Kota Medan bukan orang Karo, melainkan orang Batak Toba.
Teks ini
memang penuh paradoks dari awalnya. Tertulis dalam teks, Patimpus adalah anak
dari putra Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita. Dengan kata lain,
Patimpus adalah cucu dari keturunan langsung Raja Sisingamangaraja. Patimpus
muda menolak menjadi raja meneruskan tahta ayahnya di Toba dan memutuskan untuk
pergi merantau ke berbagai tempat sambil menimba ilmu.
…Maka
adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa orang besarnya mau jadikan,
karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga, maka turunlah ia pergi ke
hutan mencari ilmu…
Kalimat
awal di teks RHP ini dimulai dengan kalimat:
Alkisah
kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernamaSinga Mahraja
memerintah di negeri Bekarah.
Dilihat
dari kajian teks, naskah HRP ini meragukan sebagai tempat untuk mencari fakta,
tapi justru dimaksudkan untuk mengkonstruksi sebuah realitas rekaan: di bagian
awal cukup menarik, karena ada pertalian garis keturunan ke Singamangaraja. Dan
kabarnya panitia hari jadi Kota Medan waktu itu sudah menghubungi keturunan
Sisingamangaraja. Tapi mereka mendapatkan jawaban, tidak ada keturunan
Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Juga diperlukan metode
analisis wacana untuk memahami bagaimana Patimpus di akhir teks muncul sebagai
ulama besar penyebar Islam di kalangan orang Karo di Sumatera Timur.
Lalu,
ada hal penting lainnya yang rancu, yaitu temuan tentang asal muasal
Datuk Kota Bangun yang menurut tafsir panitia adalah bernama Imam Saddik bin
Abdullah, seorang ulama yang berasal dari Aceh (Dada Meuraxa, 1975:52). Namun
itu terbantahkan sendiri oleh RHP bahwa Datuk Kota Bangun sebenarnya bukanlah
Imam Saddik bin Abdullah yang seorang guru agama Islam dari Aceh, tetapi beliau
(Datuk Kota Bangun) berasal dari Jawa.
Pada
kenyataannya, ulama yang sebenarnya diduga berasal dari Jawa adalah Said Tahir
yang makamnya ditemukan di Gelugur dan nisannya berangka tahun 1570-an, 20
tahun lebih dahulu dibuat dari makam Imam Saddik di Klumpang, daerah Hamparan
Perak yang berangka tahun 23 Sya’ban 998 Hijriyah atau 27 Juni 1590 Masehi.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah Imam Saddik-lah
yang dimaksud ulama dari Jawa (mengingat namanya yang tidak berbau Jawa, dan cukup
meragukan)? Atau, apakah Said Tahir-lah yang sebenarnya bergelar Datuk Kota
Bangun yang berasal dari Jawa? Hal ini diperkuat oleh adanya catatan dalam buku
Begraafplaats Rapport tahun 1938 Kota Medan (Dada Meuraxa, 1975:37),
bahwa nama Keramat Gelugur adalah Said Tahir yang berasal dari Jawa.
Disebutkan, ia kemungkinan adalah keturunan Wali Songo dari Cirebon sebagai
pengembang Agama Islam yang wafat sekitar tahun 1575 (masa di saat Agama Islam
mulai berkembang di Sumatera Timur). Hal ini semakin menarik karena pada buku
yang sama telah ditemukan data yang malah mematahkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan tersebut.
Satu hal
lagi yang semakin memperkuat adanya kesimpangsiuran data pada buku yang ditulis
oleh Dada Meuraxa adalah, adanya catatan resmi yang ditulis oleh Sarjana
Moquette pada tahun 1922 (Dada Meuraxa, 1975:38), di mana dinyatakan bahwa Imam
Saddik adalah ulama yang berasal dari Aceh dan datang ke Deli sebagai Guru
Agama Islam. Hal ini semakin menguatkan bahwa Imam Saddik bukanlah ulama dari
Jawa seperti yang diakui sebagai nama alias Datuk Kota Bangun. Dengan kata
lain, Imam Saddik bin Abdullah yang makamnya ditemukan di Klumpang dan
berangka tahun 1590 bukanlah Datuk Kota Bangun yang bertemu dengan Guru
Patimpus yang berhasil di-Islamkannya.
Hal di
atas semakin mengaburkan keyakinan bahwa tahun 1590 adalah tahun yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai tahun di mana Said Tahir alias Datuk Kota Bangun
bertemu dengan Guru Patimpus. Soalnya figur yang diduga sebagai orang pertama
yang berhasil meng-Islamkan datuk-datuk Hamparan Perak ini sudah meninggal pada
tahun 1575. Kalaupun pertemuan Datuk Kota Bangun dengan Guru Patimpus
digunakan sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan
tahun 1590 juga tidak tepat, karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang.
Kutipan
di dalam teks sendiri membantah bahwa Patimpus yang mendirikan Medan:
…tiada
berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan
dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu
bersama-sama dengan anak bininya…tiada berapa lamanya antaranya hamillah
perempuannya itu, maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan
kampung di Medan…
Mengutip
teks di atas, ”…maka ia pun pindahlah membuat
kampung ke Medan…”, ”…tinggal menebas Medan…”,
dan ”… maka Guru Petimpus
pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan…”, secara jelas tersirat bahwa daerah
Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan.
Jadi
jelas, penggunaan teks RHP sendiri bermasalah untuk mencari jejak historis Kota
Medan. Tapi karena motifnya hanya mencari hari jadi kota yang tidak berbau
kolonial, maka RHP menurut saya telah jadi korban, dan kebesaran Guru Patimpus
sebagai ulama Islam yang penting dan kharismatik menjadi terdistorsi oleh
tafsir panitia Hari Jadi Kota Medan. Ia “diangkat” panitia menjadi pendiri
sebuah kota yang tidak dia lakukan.
Jikapun
kita menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada
tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen
Deli dari Labuhan ke Medan (1879) atau tanggal dipindahkannya Ibukota
Residen Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan (1 Maret 1887) atau pindahnya
Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan (18 Mei 1891). Kampung tidak
mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang
mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi
kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota.
Mengenang
satu abad Kota Medan dari desain besar peradaban moderen Eropa, jelas bisa
membuka mata kita: amburadulnya Kota Medan sekarang ini disebabkan karena salah
urus penanggung jawab kota, yaitu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Medan. Sebab, sejak didesain Belanda akhir abad 19 sebagai sebuah
kota moderen dengan replika peradaban Eropa di dalamnya, Kota Medan
merupakan salah satu ikon penting kota yang unik dan tidak ada duanya di dunia.
Sebuah kota Paris van Sumatra yang dirancang dan puluhan tahun
diurus dengan serius oleh Dewan Kota (Gemeenteeraad) dan Walikotanya
(Burgemeester).
Mengenang
ke satu abad Kota Medan yang kini telah menjadi bagian dari kota dunia yang
mengglobal tapi sekaligus tanpa roh peradaban kota, maka tiap tahun ada
celah untuk membangkitkan pertanyaan: apa yang menyebabkan kota yang
semula luar biasa ini berubah menjadi kota yang salah urus? Apa saja warisan
kota yang telah dijarah? Siapa saja pejabat yang tidak benar-benar mengurus
kota ini seperti selama puluhan tahun sebelumnya diurus dengan baik? Dan siapa
saja mereka yang “berjasa” menghancurkan peradaban kota? Tapi sayang, dalam
memperingati Hari Jadi Kota Medan sejak 1975, kita tiap tahun tidak lagi
mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan
untuk mengenang sebuah kampung yang absurd.