Kepemimpinan Dalam Tradisi Melayu: Integrasi Nilai Tradisi Dan Moral

Oleh: M Muhar Omtatok

Great Man Theory oleh Thomas Carlyle dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841) , menjelaskan bahwa sifat kepemimpinan adalah bawaan sejak lahir, teori genetis ini menunjukkan bahwa pemimpin besar itu dilahirkan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya mampu menjadi pemimpin yang unggul.

Ciri-ciri khusus tersebut antara lain kecerdasan, sikap bertanggungjawab, kreativitas dan berbagai kualitas karakter lainnya yang menjadikan seseorang mampu menjadi pemimpin yang baik. Studi yang dipublikasikan di The Leadership Quarterly, memperkirakan bahwa seperempat dari variasi yang diamati dalam perilaku kepemimpinan antar individu dapat ditemukan dari gen yang diturunkan orangtua mereka. Teori ini bersesuaian dengan kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara yang dulu dilingkup dalam kesultanan, kerajaan, serta kedatukkan, pemimpin itu dilahirkan dari turunan pemimpin sebelumnya yang dianggap memiliki kharisma dan kecakapan sejak lahir.

Kepemimpinan dalam tradisi Melayu merupakan gagasan integral yang berakar dari kata dasar ‘pimpin’ yang berarti bimbing atau tuntun. Secara etimologis, kepemimpinan dapat dimaknai sebagai “perihal pemimpin” atau “cara-cara memimpin.” Dalam kerangka budaya Melayu, kepemimpinan bukan hanya fungsi struktural, tetapi juga menyangkut proses moral, spiritual, dan sosial. Kepemimpinan Melayu sebagai proses moral spiritual, dan sosial yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Melayu, menunjukkan pandangan bahwa kepemimpinan Melayu tidak hanya berkaitan dengan manajemen kekuasaan, melainkan sebuah nilai moral yang terjalin erat dengan nilai-nilai dan praktik kehidupan masyarakat di kawasan Orang Melayu.


Tulisan ini berupaya menafsirkan kembali konsep kepemimpinan Melayu dengan mengintegrasikan nilai tradisi dan moral Melayu.

Kepemimpinan Dalam Tradisi Melayu 

Dalam perspektif psikologi sosial, kepemimpinan diartikan sebagai proses memengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan yang sama. Hal ini mencakup upaya pemimpin untuk memotivasi anggota kelompok, memberikan arahan, mendorong kolaborasi, serta mengkoordinasikan upaya untuk mencapai sasaran bersama. 

Dalam tradisi Melayu, ilmu dan seni memang menjadi dasar penting bagi kepemimpinan, dimana pemimpin yang ideal adalah berilmu yaitu memiliki pengetahuan luas dan kedalaman ilmu agama, dan berkesenian yaitu memahami dan menggunakan seni sebagai alat untuk menyebarkan pesan, menumbuhkan harmoni, serta menciptakan keindahan dalam masyarakat. 

Dengan demikian, seorang pemimpin dalam tradisi Melayu yang ideal adalah pribadi yang utuh, menggabungkan kebijaksanaan ilmu pengetahuan dengan keindahan dan kearifan seni, untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan lahir dan batin. 


Selain itu, aspek moral dan etika menjadi sentral dalam kepemimpinan Melayu, bahwa pemimpin ideal harus menjunjung adab, amanah, dan kasih sayang sebagai landasan kepercayaan masyarakat.

Kedudukan pemimpin mempunya tempat istimewa dalam tadisi Melayu. Terlihat dari petuah lama Melayu yang menyebut:

Yang dinamakan pemimpin,

Didahulukan selangkah,

Dilebihkan sehari,

Dilebarkan setapak tangan,

Ditinggikan seranting,

Dilebihkan sebenang”.

Petuah ini menggambarkan ideal pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyatnya: "didahulukan selangkah, Dilebihkan sehari", berarti pemimpin berada di depan untuk menunjukkan arah dan memberi contoh, namun jaraknya tidak terlalu jauh. Sedangkan "Ditinggikan seranting, Dilebihkan sebenang ", layaknya ranting pada pohon, ia tidak terpisah dari batang dan dahan. Layaknya benang yang mampu ditenun. Berarti pemimpin dihormati dan diberi kedudukan, tetapi posisinya tidak memisahkan dari rakyat yang dipimpinnya sehingga tetap bisa menyatu dan tidak ada jurang pemisah. 

Dituahkan oleh orang banyak, dikemukakan oleh orang ramai”. 

Ungkapan "dituahkan oleh orang banyak” serta “dikemukakan oleh orang ramai" menggambarkan pemimpin yang dihormati dan diakui oleh masyarakat luas, bukan karena usianya, melainkan karena kualitas, kebijaksanaan, dan kepemimpinannya yang bernas, sehingga ia menjadi teladan yang mampu dan mau, sehingga bersesuaian untuk memimpin. 

Pemimpin Melayu harus paham hubungan antara adat dan agama dalam budaya Melayu. Dalam tradisi Melayu, adat harus bersandar dan tumbuh dari syarak dan Kitabullah, hingga adat itu sendiri dipandang sebagai manifestasi syarak yang benar, yang disebut "adat sebenar adat". Prinsip ini memastikan bahwa praktik adat tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan menjadi bagian integral dari keislaman masyarakat Melayu.

Disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu bahwa:

Adat ialah syarak semata.

Adat semata Quran dan sunnah.

Adat sebenar adat ialah Kitabullah dan sunnah Nabi.

Syarak mengata, adat memakai.

Ya kata syarak, benar kata adat.

Adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari Kitabullah.

Berdiri adat karena syarak”. 

Disebutkan pula dalam petuah Melayu zaman berzaman, bahwa:

Pemimpin harus banyak tahu-nya,

Pemimpin harus banyak arif-nya,

Pemimpin harus banyak bijaknya,

Pemimpin harus banyak cerdik-nya”.

Dalam petuah ini, "pemimpin harus banyak tahunya, pemimpin harus banyak arifnya, pemimpin harus banyak bijaknya, pemimpin harus banyak cerdiknya" menekankan pentingnya pemimpin memiliki pengetahuan luas, kebijaksanaan, dan kecerdikan untuk mengambil keputusan yang tepat, mengatasi tantangan, serta membawa kebaikan bagi pengikut dan perkaumannya. 

Pemimpin harus banyak tahu-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:

Tahu duduk pada tempatnya,

Tahu tegak pada layaknya,

Tahu kata yang berpangkal,

Tahu kata yang berpokok”.

Disini menggambarkan kualitas seorang pemimpin atau penguasa ideal. Frasa ini berarti bahwa seorang pemimpin harus bijaksana dan memiliki pengetahuan yang luas, sehingga mampu bersikap dan bertindak sesuai posisinya, berbicara dengan tepat, serta memahami inti dari suatu persoalan atau perkataan. Secara keseluruhan, ungkapan ini menekankan pentingnya pengetahuan dan kebijaksanaan bagi seorang pemimpin agar dapat menjalankan tugasnya dengan ‘tahu baik dan buruknya, tahu turai lagi begagan’.

Pemimpin harus banyak arif-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:

Di dalam tinggi ia rendah,

Di dalam rendah ia tinggi,

Pada jauh ianya dekat,

Pada yang dekat ianya jauh”.

Seorang pemimpin tidak hanya melihat dari permukaan, melainkan mampu memahami hakikat sesuatu. Ia adalah orang yang memiliki prinsip, rendah hati, bijaksana dalam menilai, dan selalu siap dalam menghadapi keadaan. Disini jelas ditekankan agar tidak tinggi hati dan tidak pula merendahkan, serta selalu berusaha memahami sesuatu lebih dalam.

Pemimpin harus banyak bijaknya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu: 

Bijak menyukat sama pepat,

Bijak mengukur sama panjang,

Bijak menimbang sama berat,

Bijak memberi kata putus”.

Pemimpin yang bijak bertindak secara patut dan saksama, menimbang semua aspek masalah dengan setara, tidak memihak, dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan pertimbangan yang sangat matang. Secara keseluruhan, tunjuk ajar ini menggarisbawahi pentingnya keadilan, objektivitas, ketelitian, dan kebijaksanaan dalam setiap tindakan dan keputusan, yang merupakan ciri utama seorang pemimpin atau orang yang dianggap bijaksana.

Pemimpin harus banyak cerdik-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:

Cerdiknya mengurung dengan lidah,

Cerdik mengikat dengan adat,

Cerdik menyimak dengan syarak,

Cerdik berunding sama sebanding,

Cerdik mufakat sama setingkat,

Cerdik mengalah tidak kalah,

Cerdik berlapang dalam sempit,

Cerdik berlayar dalam perahu tembuk,

Cerdik duduk tidak rungsing,

Cerdik tegak tidak bersundak”. 

Seorang pemimpin harus cerdik dalam berkata, paham meletakan adat, mengaji ihwal agama, cerdik dalam berunding, bermufakat, mengalah tapi tidak kalah, berlapang dalam sempit, tahu strategi, dan selalu bersikap tenang.

Karena kecerdikan membantu pemimpin mengumpulkan informasi, mendeteksi ancaman dan peluang, serta membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi tantangan. Sifat ini melibatkan kemampuan berpikir tajam, wawasan yang luas, dan keterampilan mengantisipasi perubahan, yang semuanya krusial untuk membawa masyarakat menuju keberhasilan atas apa yang ia pimpin. 

Kepemimpinan Dalam Tradisi Melayu di Nusantara

Kepemimpinan tradisi Melayu di Nusantara secara umum menonjolkan moralitas, egalitarianisme, dan integritas. Di tengah tantangan global modern, prinsip-prinsip seperti amanah, musyawarah, dan keseimbangan menjadi relevan dan inspiratif, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai alternatif panduan kepemimpinan masa kini.

Dari model kepemimpinan berbasis kearifan lokal Melayu Bangka, dikenal istilah "Tukang Ngulon" mengacu pada pemimpin yang mampu mengajak, menggerakkan, membersamai, memotivasi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang dipimpinnya, dengan makna filosofis dari "ngulon" yang berarti menuju arah barat atau kiblat yang bermakna kebaikan. Konsep ini mengajarkan bahwa pemimpin harus turun tangan, memahami bawahannya, dan membimbing mereka menuju tujuan yang diinginkan, bukan hanya memberikan perintah dari jauh. . Dalam teori modern, model ini diakui mirip dengan Engaging leadership. Pemimpin yang menerapkan engaging leadership menunjukkan rasa hormat, mendengarkan karyawan, berkomunikasi secara terbuka, memimpin dengan memberi contoh, serta memberdayakan tim mereka untuk mengambil inisiatif dan berinovasi. 

Dalam budaya Bugis, seorang pemimpin yang lahir dari kalangan rakyat biasa (Maradeka) bisa muncul jika memiliki kriteria seperti keahlian di bidang agama, bisnis, militer, atau ilmu pengetahuan. Sosok ini juga harus memiliki sifat-sifat fundamental seperti kejujuran (lempu'), kecerdasan (amaccang), ketekunan, dan kehormatan diri (siri') yang menjadi pondasi karakter kepemimpinan yang kuat. 

Dalam struktur masyarakat Melayu seperti di Lampung, terdapat dua pola, yaitu Saibatin dan Pepadun.  

Saibatin adalah salah satu dari dua sistem adat utama di Lampung, yang ditandai dengan sistem kepemimpinan aristokratis dan tertutup, di mana gelar adat dan kedudukan hanya diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga bangsawan. Berbeda dengan sistem Pepadun, status adat dalam Saibatin bersifat tetap dan tidak bisa diubah melalui upacara tertentu, serta memiliki ciri khas mahkota siger dengan tujuh lekukan. Adat ini mendiami wilayah pesisir Lampung dan menganut sistem kekerabatan patrilineal. 

Kepemimpinan dalam masyarakat adat Lampung Pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal, di mana Penyimbang (anak laki-laki tertua) menjadi pemimpin adat tertinggi yang posisinya diturunkan dari garis keturunan bapak. Kepemimpinan ini diperkuat melalui upacara adat seperti Cakak Pepadun, yang merupakan penanda status sosial dan legitimasi kepemimpinan. Struktur kepemimpinan juga didukung oleh lembaga Perwatin dan Kepunyimbangan yang mengatur penyelenggaraan sistem masyarakat dari tingkat bawah hingga tingkat tertinggi, seperti marga dan buay-an. 

Kepemimpinan Melayu di Nusantara sebagai Proses Moral merujuk pada pandangan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas moral yang tinggi, yang diukur dari kesesuaian antara ucapan, perbuatan, dan pemikirannya sesuai dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Nilai-nilai moral tersebut seperti kejujuran (shidiq), ketabahan, kesabaran, keikhlasan, serta kemampuan memberi teladan, yang semuanya berakar pada ajaran Islam dan adat Melayu, bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan makmur. 

Untuk membandingkan bisa ditilik gaya kepemimpinan Jawa dan Sunda. Gaya kepemimpinan Jawa  bersifat multifaset, memadukan nilai-nilai spiritualitas, etika, dan pragmatisme dengan konsep sentral seperti Asthabrata yang mencontohkan sifat delapan dewa alam semesta, dan semboyan "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang menekankan kepemimpinan yang memberi teladan, membangkitkan semangat, dan mendorong maju. 

Jika ditinjau dari pendekatan yang Sinkretis, pendekatan yang mengintegrasikan berbagai konsep, terutama dari agama Islam dan Hindu, untuk membentuk pola pikir dan etika kepemimpinan yang khas. Konsep ini juga menggabungkan aspek spiritualitas, mistis, dan nilai-nilai budaya Jawa, seperti kharisma, warisan spiritual (sipat kandel), dan perlunya ritual, dengan pandangan pragmatis, etis, dan metafisis tentang peran seorang pemimpin. 

Sedangkan gaya kepemimpinan Sunda menekankan keteladanan, kebijaksanaan, dan pengabdian untuk kepentingan bersama, dengan pemimpin yang berani, adil, jujur, dan memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan rakyatnya. Nilai-nilai ini tercermin dalam konsep seperti Parigeuing (keberanian), Dasa Pasanta (kesetiaan dan etika memberi perintah), serta Pangimbuhning Twah (kharisma). Penerapan nilai-nilai ini bertujuan menciptakan pemimpin yang kuat, berintegritas, dan mampu mendorong kemajuan masyarakat. 

Kepemimpinan Melayu: Integrasi Nilai Tradisi dan Moral

Pola kepemimpinan Melayu yang bercirikan demokratisasi - egaliter (berkedudukan sama) dan menghargai kritik yang berorientasi pada keahlian dan keunggulan mental spiritual dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, serta meletakkan keluwesan dengan pola ‘Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’, ‘Sekali air bah sekali tepian berubah’.

Jika Tipologi kepemimpinan Max Weber merujuk pada tiga jenis dasar otoritas (kekuasaan yang dianggap sah) yang membentuk gaya kepemimpinan: otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal. Kepemimpinan tradisional didasarkan pada kebiasaan dan adat istiadat, kepemimpinan karismatik berasal dari kualitas kepribadian luar biasa sang pemimpin, dan kepemimpinan rasional-legal berlandaskan pada aturan, hukum, dan sistem birokrasi. Di masanya, Melayu (contohnya saja Melayu di Sumatera Utara) yang dahulu dilingkup dalam kesultanan, kerajaan, serta kedatukkan, pernah sekaligus memakai  tiga tipe kepemimpinan yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal itu.

Di masa pengaruh pemerintah kolonial berkuasa, tipe rasional-legal pun terpakai, selain ketentuan pemerintah kolonial yang menyusup, juga turut mewarnai dengan perundangan yang ditulis secara lokal atau adaptasi dari Aceh atau juga Malaka.

Jika gelar sultan pertama muncul sezaman Dinasti Abbasiyah, yaitu dinasti penguasa Kekhalifahan Abbasiyah yang memerintah Islam dari tahun 750 M hingga 1258 M. Dinasti ini mendirikan pusat kekuasaan di Baghdad dan mengantarkan dunia Islam pada masa kejayaan besar dalam peradaban dan ilmu pengetahuan, namun akhirnya runtuh akibat invasi Mongol pada tahun 1258 M. Maka di wilayah yang kini disebut Nusantara, gelar sultan pertama kali dalam catatan, terlihat digunakan oleh Sultan Malik al-Saleh di Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M. Gelar Sultan pada Kesultanan tidak terlepas dari gaya kepemimpinan
Islam pula.

Menurut para ahli seperti Sayyid Quthb dan Ibnu Khaldun, gaya kepemimpinan Islam bercirikan tanggung jawab ilahi untuk menerapkan syariat, keadilan dan kemaslahatan rakyat, ketaatan pada hukum Tuhan, serta kepemimpinan yang melayani dan menjaga umat demi kesejahteraan dunia dan akhirat. Seorang sultan harus memiliki takwa, keadilan, dan kapabilitas, serta bertanggung jawab kepada Tuhan dan umatnya, dan dapat diganti jika tidak memenuhi fungsi tersebut. 

Sultan atau raja sebagai pemimpin berdasarkan garis darah di wilayah kesultanan atau kerajaan, menghunjuk ‘Orang Besar’ sebagai pemimpin di bidangnya dan tunduk kebawah sultan atau raja.

Di wilayah kesultanan Melayu di Sumatera Utara bagian timur, dulu ada  Kejeruan atau Kewaziran yang ditabalkan pemimpinnya oleh Sultan, dikarenakan pemimpin itu adalah bergaris darah pemimpin di kejeruan atau di kewaziran itu. Kejeruan atau Kewaziran itupun memiliki perangkat ‘Orang Besar’ sebagai pemimpin di bidangnya pula.

Di bidang keagamaan, Sultan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil’ardh), menghunjuk pemimpin agama tertinggi di bawahnya, yaitu Mufti. Mufti pun memiliki bawahan seperti Tuan Kadhi, Malim, serta Lebai/Lobe.

Di bidang peradilan, ada Mahkamah yang dipimpin Kepala Kerapatan dengan perangkatnya pula. Begitu seterusnya hingga pola kepemimpinan masuk ke seluruh lini dari lingkup terbesar hingga kampung dan dusun.

Dalam adat ada telangkai adat dan pemuka adat. Ada Bomoh untuk urusan super natural dan Dukun dalam rawatan perobatan tradisi.

Tidak hanya pemimpin di dunia nyata. Dalam pola kepemimpinan tradisional Melayu juga terdapat pemimpin di alam tak nampak. Ada jembalang yang menguasai anasir di daratan, seperti air, api, angin dan tanah. Ada pula pemimpin gaib di lautan yang disebut Mambang. Mambang sebagai makhluk halus yang menurut kepercayaan sebagian orang membinasakan manusia, merekalah yang diyakini dalam tradisi kemelayuan sebagai  pemimpin sekalian hantu, dengan bermacam-macam warnanya. Di laut ada delapan penjuru dengan delapan Mambang, yaitu: Mayang Mengurai, Mambang Laksemana, Mambang Tali Arus, Mambang Jeruju, Mambang Katimanah, Panglima Merah,  Datuk Panglima Hitam dan Baburrahman di Baburrahim.  Dari delapan pemimpin di delapan penjuru ini, Datuk Panglima Hitamlah pemimpin tertinggi dari sekalian mambang.

Manuskrip Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari

Manuskrip Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari (1603) adalah salah satu  bacaan wajib para Sultan dan Raja Melayu dalam memimpin negerinya, seakan ia menjadi persyaratan awal dalam memimpin dan menyejahterakan rakyatnya. Sebagai karya sastra, kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai Mahkota Raja-Raja.

Dalam kitabnya, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin yang adil dan benar. Sedikitnya ada lima asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya.

·       Pertama, Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai. Itu menjadi modal dasar membangun negeri ini.

·       Kedua, Faham, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti kebutuhan rakyat. Pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda di setiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya.

·       Ketiga, Fikir; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya. Seorang pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Khalifah  Umar menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri.

·       Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi-misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis pada aqidah yang lurus, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya. 

·       Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur, dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi dan sejenisnya.

Meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Taj al-Salatin atau dibaca juga Tajus Salatin yang terdiri atas 24 bab, di Melayu Sumatera Utara bagian timur misalnya, Sultan – Sultan mesti memegang teguh konsep kepemimpinan tersebut  karena “Raja Alim Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah”.

 Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah, berarti pemimpin yang adil dan bijaksana akan dihormati serta ditaati oleh rakyatnya, sementara pemimpin yang kejam atau semena-mena (lalim) akan ditentang dan dilawan oleh rakyat, bahkan diganti jika perlu. Makna ini mengajarkan bahwa pemerintahan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan dan ketaatan, sedangkan pemerintahan yang buruk akan menimbulkan perlawanan dari rakyat yang berhak atas kepemimpinan yang jujur dan amanah.

Masih dalam kitab Taj al-Salatin yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari sekitar abad ke-17 itu, disebutkan pula, ada empat waktu yang harus diperhatikan, yakni: 

·       Waktu untuk menjalankan kewajiban perintah agama

·       Waktu untuk melakukan kewajiban pemerintahan, 

·       Waktu untuk makan dan tidur

·       Waktu untuk beristirahat, bersenang-senang dengan istri dan keluarga. 

 

Merujuk pada akhlak dan perilaku mulia, Tajus Salim mengingatkan, para nabi memegang kekuasaan adalah untuk tujuan spiritual, ibadah kepada Sang Ilahi, bukan tujuan material atau memperkaya diri. Demikian hendaknya diikuti para raja atau pemimpin.  Tajus Salatin mengungkapkan 10 syarat untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik, yakni:

·       Akil baligh, yaitu dewasa dan berpendidikan, agar dapat membedakan mana yang baik dan buruk.

·       Ilmu pengetahuan,  hingga berwawasan luas. 

·       Pandai memilih orang kepercayaan, yakni orang yang berilmu, sehingga mampu menjalankan tugas sesuai bidangnya. 

·       Baik rupa (paras), kalau kurang baik yang penting baik budinya. 

·       Dermawan. Kedermawanan merupakan sifat bangsawan atau orang berbudi. 

·       Ingat kebaikan orang yang pernah membantunya.

·       Berani menegur anak buah

·       Jangan teralu banyak makan dan tidur

·       Tidak gemar berzinah, sebab itu bukan tanda orang berbudi. 

·       Laki-laki. Perempuan boleh menjadi raja atau pemimpin jika memang tidak ada laki-laki yang layak untuk diangkat. 

Tunjuk Ajar

Dalam masyarakat Melayu, mengenal Tunjuk Ajar, sebagai petuah nasihat turun temurun yang  dianggap tidak patut bila dilanggar. Dalam Kepemimpinan Tradisional Melayu, ada sebuah Tunjuk Ajar Melayu sebagai berikut:

“Kalau hendak tahu pemimpin sejati, 

tengoklah ia memimpin negeri,

Memerintahnya di jalan Allah,

Memerintahnya dengan petuah amanah, 

Memerintah tidak semena-mena, 

Memerintah tidak mengada-ada, 

Memerintah dengan berlapang dada, 

Memerintah dengan akal budinya,

Memerintah dengan bermanis muka, 

Memerintah dengan berlembut lidah, 

Memerintah dengan adilnya, 

Berkuasa tidak membinasakan, 

Kuat tidak mematahkan, 

Besar tidak mengecilkan, 

Tinggi tidak merendahkan, 

Kaya tidak menistakan”.

Tradisi Melayu mengenal ungkapan ‘Menjeput tuah menjunjung marwah’. Ungkapan ini berlaku pada pola kepemimpinan tradisional yang tetap mengutamakan tuah (keberuntungan) dan marwah (harkat martabat). Seorang pemimpin mesti memiliki tuah dan martabat itu. Dalam tunjuk ajarnya, Tuah dan Marwah pemimpin Melayu ada dalam ungkapan:

 

“Didahulukan selangkah,

Dilebihkan sehari,

Dilebarkan setapak tangan,

Ditinggikan seranting,

Dilebihkan sebenang”.

 

Mereka tetap didahulukan, dilebihkan, ditinggikan dan dilebarkan; namun tetap tidak berlebihan melampaui watas tuah dan marwah. 

Ada hal unik dan bertutur antara kawula dengan sultan atau rajanya. Kawula rakyat memakai kata ganti diri ‘Patik’ menyebut aku pada dirinya, dan menyebut ‘Duli Tuanku’ terhadap sultan atau raja. 

Patik secara makna asli adalah berarti anak binatang asu yang baru lahir dan masih comel serta belum pandai apapun baik menyerang, menjaga, bahkan makanpun belum pandai. Kawula begitu merendahkan dirinya dihadapan rajanya. 

Duli secara makna asli adalah debu telapak kaki. Sehingga kalimat ini: “Berampun Patik kehadapan Duli Yang Maha Mulia Tuanku, sembah patik harap diampun”, memiliki makna ambiguitas.

Kawula begitu merendahkan diri namun ia merendah karena ia belum pandai tetapi akan pandai. Ia begitu menyembah ke hadapan pemimpinnya bahkan hingga me-maha-kan, namun ke-maha-an itu ia turunkan pula hingga ke debu telapak kaki, agar kemahaan itu tiada setingkat Tuhan.

Sikap  tradisional kawula terhadap raja, tampak dari ungkapan: Raja Alim Raja Disembah; Raja Lalim Raja Disanggah.

Konsep kepemimpinan yang diluahkan dalam ungkapan Melayu itu sangat sederhana dan tegas. Dengan konsep itu, pemimpin dan masyarakat dapatlah mengatur sikap yang jelas.

Jika ditelaah, kalimat pertama, dalam ungkapan tersebut, terdapat dua frasa, yaitu Raja Alim dan Raja disembah. Frasa “Raja Alim”, terdiri dari dua kata, yaitu Raja dan Alim. Raja adalah sebutan untuk seseorang yang memimpin kerajaan. Raja, Sedangkan “alim”, berarti memahami, piawai, mempunyai pengetahuan yang mendalam di samping memiliki sifat warak (menjauhi dosa), zuhud (tidak gemar pada sesuatu yang melalaikan) dan takwa (menyerahkan hidup pada kuasa Ilahi). Sehingga raja yang alim, mengandung maksud raja yang baik dalam akhlak dan sifatnya. “Sembah” berarti penghormatan dan bertabik dengan menangkupkan kedua-dua tapak tangan serta menyusun jari dan mengangkat ke atas hingga ke paras dagu hingga ke dahi), disembah berarti diberi penghormatan penuh. Jika digabungkan, maka makna dari gabungan dua frasa itu adaalah jika seorang pemimpin yang baik akhlak dan sifatnya dihormati, dituruti, dan atau diikuti. 

Kalimat kedua, juga terdiri dari dua frasa, “Raja Lalim” dan “Raja Disanggah”. Secara singkat, makna dari gabungan dua frasa ini adalah kebalikan dari kalimat yang pertama. Dalam kalimat ini, dapat diartikan, jika raja dzalim atau tidak baik akhlak dan sifatnya tidak perlu dihormati, dan atau, jika raja tidak baik maka harus ditentang. Bahkan, jika raja tidak baik maka sebaiknya diturunkan.

Hang Jebat, menyanggah raja dikarenakan telah berbuat lalim atau semena-mena dengan saudara seperguruannya, Hang Tuah. Awalnya, Hang Tuah difitnah telah “mengusik” kepunyaan Sultan. Tanpa usut panjang, sultan memerintahkan untuk membunuh Hang Tuah. Merasa raja “kurang cerap” – tidak teliti, Hang Jebat menyanggah Raja, hingga mampu menduduki istana, dan bahkan mengusir sultan dari singgasananya. 

Megat Seri Rama, Anak Bintan, menyanggah raja lebih ekstrim lagi. Dikarenakan raja membunuh isterinya, Megat pun membalas dengan membunuh Sultan yang sedang didulang.

Soalan ini, dalam sajak saya tulis begini:

“Duhai Tuanku Sultan”

Duhai Tuanku Sultan

kapalmu sikayu jati, sedangkan bidukku kayu meranti

pengayuhku sudah retak mencari belah

di buritan bidukku tertitip perut anakku

sedang di kapalmu sesak sahaya mendukung uncang upeti.


Duhai Tuanku Sultan

engkaulah kumbang, sedangkan aku pianggang

sungutku tak cecah menghisap madu

disungutku tergantung keranjang dapur biniku

sedang di sayapmu madupun kau kepakkan

 

Duhai Tuanku Sultan

engkaulah kembang, sedangkan aku kiambang

uratku tergantung tak sentuh bumi

pada uratku nafas mampu bertahan

sedang hasratku menggantang asap

 

Duhai Tuanku Sultan

gobekmu lentang lentung menumbuk sirih, sedang antanku tumbuk melukut

derai melukutpun hanya segenggam

di derai melukut terharap bubur bayiku

sedang gobekmu bertahta mutumanikam

 

Duhai Tuanku Sultan

gantangmu intan baiduri, sedang cupakku buluh berduri

pada cupakku tersukat taruna anakku

sebab anakku akan mencupak gantang sultanmu

sampai tahtamu bersandar punggung puteraku.

(M Muhar Omtatok, Medan 05 Agustus 2002)

 

Walaupun demikian, Orang Melayu baik ia pemimpin maupun rakyat, tetaplah harus “Sedar Diri’ – tahu diri dalam meletakkan sikap yang mesti senonoh, agar jangan sampai “Membuang Tuah”.

Karena diajarkan bahwa:

“Meninggikan orang lain, bukan berarti kita rendah. 

Tahu bertutur, berarti tahu tunjuk ajar. 

Terlajak perahu boleh diundur, 

Terlajak kata buruk padahnya”.

Baik pemimpin maupun yang dipimpin mestilah tahu akan patut. Adat hidup yang patut akan membentuk harmoni bagi pemimpin maupun yang dipimpin.

 

Adat Hidup Orang Melayu

Bergantung Pada Nan Satu

Berpegang Pada Nan Esa

 

Adat Hidup Orang Melayu

Malang Hidup Celaka Hidup

Bila Tak Tahu Halal Haram

 

Adat Hidup Orang Melayu

Tuah Hidup Sempurna Hidup

Hidup Berakal Mati Beriman

 

Adat Hidup Orang Melayu

Berbuat Baik Di Pada Pada

Berbuat Jahat Jangan sekali

 

Adat Hidup Orang Melayu

Biar Pecah Di Perut

Usah Pecah Di Mulut

 

Adat Hidup Orang Melayu

Tak Cukup Telapak Tangan

Nyiru Di Tadahkan

 

Adat Hidup Orang Melayu

Salah Makan dimuntahkan

Salah Patut dikeletaikan

 

Adat Hidup Orang Melayu

Salah Jalan Berbalik Kepangkal

Sumbing Dititik Patah Ditupang

 

Adat Hidup Orang Melayu

Adil Arif Bijak Bersusun

Pandai Meniti Zaman Beralun.

 

Penutup

Nan bertuah dengan marwahnya,

Nan berhormat dengan berkahnya,

Nan alim dengan amanahnya,

Yang Tua dengan petuahnya,

Yang muda dengan takahnya,

Nan Raja dengan kuasanya,

Nan Datuk dengan adat pusakanya,

Yang bijak dengan ariefnya,

Yang cerdik dengan pandainya,

Yang datang dari hulu ke hilir,

Yang jauh tundan bertundan,

Yang dekat sogo bergesa,

Nan terlingkup alam nan empat,

Nan tersungkup oleh adat,

Nan ternaung oleh lembaga,

Yang terlindung oleh resam, turai nan bergagan.

 

Sepuluh jari diaturkan,

Jika tiada cukup nyiru ditadahkan,

Jika nyiru tiada cukup laman dibentangkan.

 

(Makalah disampaikan oleh M Muhar Omtatok, pada Seminar Kepemimpinan Tradisional,   Medan, 11 Mei 2015)

 ____________

Daftar Pustaka:

Al-Jauhari, Bukhari.1603.Kitab Taj al-Salatin.

Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Pekanbaru: UNRI Press.

Kartono, Kartini. 2008. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?. Jakarta: Rajawali Press.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Omtatok, M Muhar. 2002. Puak Melayu.

Peursen, Van C.A,1976. Strategi Kebudayaan, BPK Gunung Mulia Jakarta dan Yayasan Kanisius,Yogyakarta.

Shafritz, Jay M dan J. Steven Ott.1987. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove, California.

Syahputra, Matdin. 1990. Catatan Adat Resam Melayu di Sumatera Timur.

Weber, Max. 1946. Bureaucracy, dalam Shafritz, Jay M dan J. Steven Ott. 1987. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove, California

 

 

Komentar