Oleh:
M Muhar Omtatok
Great
Man Theory oleh Thomas Carlyle dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841) , menjelaskan
bahwa sifat kepemimpinan adalah bawaan sejak lahir, teori genetis ini
menunjukkan bahwa pemimpin besar itu dilahirkan dengan karakteristik tertentu
yang membuatnya mampu menjadi pemimpin yang unggul.
Ciri-ciri khusus tersebut antara lain kecerdasan, sikap bertanggungjawab, kreativitas dan berbagai kualitas karakter lainnya yang menjadikan seseorang mampu menjadi pemimpin yang baik. Studi yang dipublikasikan di The Leadership Quarterly, memperkirakan bahwa seperempat dari variasi yang diamati dalam perilaku kepemimpinan antar individu dapat ditemukan dari gen yang diturunkan orangtua mereka. Teori ini bersesuaian dengan kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara yang dulu dilingkup dalam kesultanan, kerajaan, serta kedatukkan, pemimpin itu dilahirkan dari turunan pemimpin sebelumnya yang dianggap memiliki kharisma dan kecakapan sejak lahir.
Kepemimpinan dalam tradisi Melayu merupakan gagasan integral yang berakar dari kata dasar ‘pimpin’ yang berarti bimbing atau tuntun. Secara etimologis, kepemimpinan dapat dimaknai sebagai “perihal pemimpin” atau “cara-cara memimpin.” Dalam kerangka budaya Melayu, kepemimpinan bukan hanya fungsi struktural, tetapi juga menyangkut proses moral, spiritual, dan sosial. Kepemimpinan Melayu sebagai proses moral spiritual, dan sosial yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Melayu, menunjukkan pandangan bahwa kepemimpinan Melayu tidak hanya berkaitan dengan manajemen kekuasaan, melainkan sebuah nilai moral yang terjalin erat dengan nilai-nilai dan praktik kehidupan masyarakat di kawasan Orang Melayu.
Kepemimpinan Dalam Tradisi Melayu
Dengan demikian,
seorang pemimpin dalam tradisi Melayu yang ideal adalah pribadi yang utuh,
menggabungkan kebijaksanaan ilmu pengetahuan dengan keindahan dan kearifan
seni, untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Kedudukan pemimpin
mempunya tempat istimewa dalam tadisi Melayu. Terlihat dari petuah lama Melayu
yang menyebut:
“Yang dinamakan pemimpin,
Didahulukan
selangkah,
Dilebihkan
sehari,
Dilebarkan
setapak tangan,
Ditinggikan
seranting,
Dilebihkan
sebenang”.
Petuah ini menggambarkan ideal pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyatnya: "didahulukan selangkah, Dilebihkan sehari", berarti pemimpin berada di depan untuk menunjukkan arah dan memberi contoh, namun jaraknya tidak terlalu jauh. Sedangkan "Ditinggikan seranting, Dilebihkan sebenang ", layaknya ranting pada pohon, ia tidak terpisah dari batang dan dahan. Layaknya benang yang mampu ditenun. Berarti pemimpin dihormati dan diberi kedudukan, tetapi posisinya tidak memisahkan dari rakyat yang dipimpinnya sehingga tetap bisa menyatu dan tidak ada jurang pemisah.
“Dituahkan oleh orang banyak, dikemukakan oleh orang ramai”.
Ungkapan "dituahkan
oleh orang banyak” serta “dikemukakan oleh orang ramai" menggambarkan
pemimpin yang dihormati dan diakui oleh masyarakat luas, bukan karena usianya,
melainkan karena kualitas, kebijaksanaan, dan kepemimpinannya yang bernas,
sehingga ia menjadi teladan yang mampu dan mau, sehingga bersesuaian untuk
memimpin.
Pemimpin Melayu harus
paham hubungan antara adat dan agama dalam budaya Melayu. Dalam tradisi Melayu, adat
harus bersandar dan tumbuh dari syarak dan Kitabullah, hingga adat itu sendiri
dipandang sebagai manifestasi syarak yang benar, yang disebut "adat
sebenar adat". Prinsip ini memastikan bahwa praktik adat
tidak bertentangan dengan ajaran agama, melainkan menjadi bagian integral dari
keislaman masyarakat Melayu.
Disebutkan dalam tunjuk
ajar Melayu bahwa:
“Adat ialah syarak semata.
Adat
semata Quran dan sunnah.
Adat
sebenar adat ialah Kitabullah dan sunnah Nabi.
Syarak
mengata, adat memakai.
Ya
kata syarak, benar kata adat.
Adat
tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari Kitabullah.
Berdiri adat karena syarak”.
Disebutkan pula dalam petuah Melayu zaman berzaman, bahwa:
“Pemimpin harus banyak tahu-nya,
Pemimpin
harus banyak arif-nya,
Pemimpin
harus banyak bijaknya,
Pemimpin
harus banyak cerdik-nya”.
Dalam petuah ini, "pemimpin
harus banyak tahunya, pemimpin harus banyak arifnya, pemimpin harus banyak
bijaknya, pemimpin harus banyak cerdiknya" menekankan pentingnya pemimpin
memiliki pengetahuan luas, kebijaksanaan, dan kecerdikan untuk mengambil
keputusan yang tepat, mengatasi tantangan, serta membawa kebaikan bagi pengikut
dan perkaumannya.
Pemimpin
harus banyak tahu-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:
“Tahu duduk pada tempatnya,
Tahu
tegak pada layaknya,
Tahu
kata yang berpangkal,
Tahu
kata yang berpokok”.
Disini menggambarkan
kualitas seorang pemimpin atau penguasa ideal. Frasa ini berarti bahwa
seorang pemimpin harus bijaksana dan memiliki pengetahuan yang luas, sehingga
mampu bersikap dan bertindak sesuai posisinya, berbicara dengan tepat, serta
memahami inti dari suatu persoalan atau perkataan. Secara keseluruhan,
ungkapan ini menekankan pentingnya pengetahuan dan kebijaksanaan bagi seorang
pemimpin agar dapat menjalankan tugasnya dengan ‘tahu baik dan buruknya, tahu
turai lagi begagan’.
Pemimpin harus banyak arif-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:
“Di dalam tinggi ia rendah,
Di
dalam rendah ia tinggi,
Pada
jauh ianya dekat,
Pada
yang dekat ianya jauh”.
Seorang pemimpin tidak
hanya melihat dari permukaan, melainkan mampu memahami hakikat sesuatu. Ia
adalah orang yang memiliki prinsip, rendah hati, bijaksana dalam menilai, dan
selalu siap dalam menghadapi keadaan. Disini jelas ditekankan agar tidak
tinggi hati dan tidak pula merendahkan, serta selalu berusaha memahami sesuatu
lebih dalam.
Pemimpin harus banyak bijaknya, disebutkan dalam tunjuk ajar Melayu:
“Bijak menyukat sama pepat,
Bijak
mengukur sama panjang,
Bijak
menimbang sama berat,
Bijak
memberi kata putus”.
Pemimpin yang bijak
bertindak secara patut dan saksama, menimbang semua aspek masalah dengan
setara, tidak memihak, dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan
pertimbangan yang sangat matang. Secara keseluruhan, tunjuk ajar ini
menggarisbawahi pentingnya keadilan, objektivitas, ketelitian, dan
kebijaksanaan dalam setiap tindakan dan keputusan, yang merupakan ciri utama
seorang pemimpin atau orang yang dianggap bijaksana.
Pemimpin
harus banyak cerdik-nya, disebutkan dalam tunjuk ajar
Melayu:
“Cerdiknya mengurung dengan lidah,
Cerdik
mengikat dengan adat,
Cerdik
menyimak dengan syarak,
Cerdik
berunding sama sebanding,
Cerdik
mufakat sama setingkat,
Cerdik
mengalah tidak kalah,
Cerdik
berlapang dalam sempit,
Cerdik
berlayar dalam perahu tembuk,
Cerdik
duduk tidak rungsing,
Cerdik tegak tidak bersundak”.
Seorang pemimpin harus
cerdik dalam berkata, paham meletakan adat, mengaji ihwal agama, cerdik dalam
berunding, bermufakat, mengalah tapi tidak kalah, berlapang dalam sempit, tahu
strategi, dan selalu bersikap tenang.
Karena kecerdikan membantu pemimpin mengumpulkan informasi, mendeteksi ancaman dan peluang, serta membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi tantangan. Sifat ini melibatkan kemampuan berpikir tajam, wawasan yang luas, dan keterampilan mengantisipasi perubahan, yang semuanya krusial untuk membawa masyarakat menuju keberhasilan atas apa yang ia pimpin.
Kepemimpinan Dalam Tradisi Melayu di Nusantara
Kepemimpinan tradisi
Melayu di Nusantara secara umum menonjolkan moralitas, egalitarianisme, dan
integritas. Di tengah tantangan global modern, prinsip-prinsip seperti amanah,
musyawarah, dan keseimbangan menjadi relevan dan inspiratif, bukan hanya sebagai
warisan budaya, tetapi juga sebagai alternatif panduan kepemimpinan masa kini.
Dari model kepemimpinan
berbasis kearifan lokal Melayu Bangka, dikenal istilah "Tukang
Ngulon" mengacu pada pemimpin yang mampu mengajak, menggerakkan,
membersamai, memotivasi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang
dipimpinnya, dengan makna filosofis dari "ngulon" yang berarti menuju
arah barat atau kiblat yang bermakna kebaikan. Konsep ini mengajarkan
bahwa pemimpin harus turun tangan, memahami bawahannya, dan membimbing mereka
menuju tujuan yang diinginkan, bukan hanya memberikan perintah dari jauh. .
Dalam teori modern, model ini diakui mirip dengan Engaging leadership. Pemimpin
yang menerapkan engaging leadership menunjukkan rasa hormat, mendengarkan
karyawan, berkomunikasi secara terbuka, memimpin dengan memberi contoh, serta
memberdayakan tim mereka untuk mengambil inisiatif dan berinovasi.
Dalam budaya Bugis,
seorang pemimpin yang lahir dari kalangan rakyat biasa (Maradeka) bisa muncul
jika memiliki kriteria seperti keahlian di bidang agama, bisnis, militer, atau
ilmu pengetahuan. Sosok ini juga harus memiliki sifat-sifat fundamental
seperti kejujuran (lempu'), kecerdasan (amaccang), ketekunan, dan kehormatan
diri (siri') yang menjadi pondasi karakter kepemimpinan yang kuat.
Dalam struktur
masyarakat Melayu seperti di Lampung, terdapat dua pola, yaitu Saibatin dan Pepadun.
Saibatin
adalah salah satu dari dua sistem adat utama di Lampung, yang ditandai
dengan sistem kepemimpinan aristokratis dan tertutup, di mana gelar adat dan
kedudukan hanya diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga
bangsawan. Berbeda dengan sistem Pepadun, status adat dalam Saibatin
bersifat tetap dan tidak bisa diubah melalui upacara tertentu, serta memiliki
ciri khas mahkota siger dengan tujuh lekukan. Adat ini mendiami wilayah
pesisir Lampung dan menganut sistem kekerabatan patrilineal.
Kepemimpinan dalam
masyarakat adat Lampung Pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal,
di mana Penyimbang (anak laki-laki tertua) menjadi pemimpin adat tertinggi yang
posisinya diturunkan dari garis keturunan bapak. Kepemimpinan ini
diperkuat melalui upacara adat seperti Cakak Pepadun, yang merupakan
penanda status sosial dan legitimasi kepemimpinan. Struktur kepemimpinan
juga didukung oleh lembaga Perwatin dan Kepunyimbangan yang mengatur
penyelenggaraan sistem masyarakat dari tingkat bawah hingga tingkat tertinggi,
seperti marga dan buay-an.
Kepemimpinan Melayu di Nusantara
sebagai Proses Moral merujuk pada pandangan bahwa seorang pemimpin harus
memiliki integritas moral yang tinggi, yang diukur dari kesesuaian antara
ucapan, perbuatan, dan pemikirannya sesuai dengan nilai-nilai agama dan
tradisi. Nilai-nilai moral tersebut seperti kejujuran (shidiq), ketabahan,
kesabaran, keikhlasan, serta kemampuan memberi teladan, yang semuanya berakar
pada ajaran Islam dan adat Melayu, bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang
damai, adil, dan makmur.
Untuk membandingkan
bisa ditilik gaya kepemimpinan Jawa dan Sunda. Gaya kepemimpinan
Jawa bersifat multifaset, memadukan nilai-nilai spiritualitas, etika, dan
pragmatisme dengan konsep sentral seperti Asthabrata yang mencontohkan sifat
delapan dewa alam semesta, dan semboyan "Ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang menekankan kepemimpinan yang
memberi teladan, membangkitkan semangat, dan mendorong maju.
Jika ditinjau dari pendekatan
yang Sinkretis, pendekatan yang mengintegrasikan berbagai konsep, terutama dari
agama Islam dan Hindu, untuk membentuk pola pikir dan etika kepemimpinan yang
khas. Konsep ini juga menggabungkan aspek spiritualitas, mistis, dan
nilai-nilai budaya Jawa, seperti kharisma, warisan spiritual (sipat kandel),
dan perlunya ritual, dengan pandangan pragmatis, etis, dan metafisis tentang
peran seorang pemimpin.
Sedangkan gaya
kepemimpinan Sunda menekankan keteladanan, kebijaksanaan, dan pengabdian
untuk kepentingan bersama, dengan pemimpin yang berani, adil, jujur, dan
memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan rakyatnya. Nilai-nilai ini
tercermin dalam konsep seperti Parigeuing (keberanian), Dasa
Pasanta (kesetiaan dan etika memberi perintah), serta Pangimbuhning
Twah (kharisma). Penerapan nilai-nilai ini bertujuan menciptakan
pemimpin yang kuat, berintegritas, dan mampu mendorong kemajuan masyarakat.
Kepemimpinan
Melayu: Integrasi Nilai Tradisi dan Moral
Pola kepemimpinan
Melayu yang bercirikan demokratisasi - egaliter (berkedudukan sama) dan
menghargai kritik yang berorientasi pada keahlian dan keunggulan mental
spiritual dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, serta meletakkan
keluwesan dengan pola ‘Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’, ‘Sekali
air bah sekali tepian berubah’.
Jika Tipologi
kepemimpinan Max Weber merujuk pada tiga jenis dasar otoritas (kekuasaan yang
dianggap sah) yang membentuk gaya kepemimpinan: otoritas tradisional,
otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal. Kepemimpinan tradisional
didasarkan pada kebiasaan dan adat istiadat, kepemimpinan karismatik berasal
dari kualitas kepribadian luar biasa sang pemimpin, dan kepemimpinan
rasional-legal berlandaskan pada aturan, hukum, dan sistem birokrasi. Di masanya,
Melayu (contohnya saja Melayu di Sumatera Utara) yang dahulu dilingkup dalam
kesultanan, kerajaan, serta kedatukkan, pernah sekaligus memakai tiga
tipe kepemimpinan yaitu otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas
rasional-legal itu.
Di masa pengaruh
pemerintah kolonial berkuasa, tipe rasional-legal pun terpakai, selain
ketentuan pemerintah kolonial yang menyusup, juga turut mewarnai dengan
perundangan yang ditulis secara lokal atau adaptasi dari Aceh atau juga Malaka.
Menurut para ahli
seperti Sayyid Quthb dan Ibnu Khaldun, gaya kepemimpinan Islam bercirikan
tanggung jawab ilahi untuk menerapkan syariat, keadilan dan kemaslahatan
rakyat, ketaatan pada hukum Tuhan, serta kepemimpinan yang melayani dan menjaga
umat demi kesejahteraan dunia dan akhirat. Seorang sultan harus memiliki
takwa, keadilan, dan kapabilitas, serta bertanggung jawab kepada Tuhan dan
umatnya, dan dapat diganti jika tidak memenuhi fungsi tersebut.
Sultan atau raja
sebagai pemimpin berdasarkan garis darah di wilayah kesultanan atau kerajaan,
menghunjuk ‘Orang Besar’ sebagai pemimpin di bidangnya dan tunduk kebawah
sultan atau raja.
Di wilayah kesultanan
Melayu di Sumatera Utara bagian timur, dulu ada Kejeruan atau Kewaziran yang ditabalkan
pemimpinnya oleh Sultan, dikarenakan pemimpin itu adalah bergaris darah
pemimpin di kejeruan atau di kewaziran itu. Kejeruan atau Kewaziran itupun
memiliki perangkat ‘Orang Besar’ sebagai pemimpin di bidangnya pula.
Di bidang keagamaan, Sultan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil’ardh), menghunjuk pemimpin agama tertinggi di bawahnya, yaitu Mufti. Mufti pun memiliki bawahan seperti Tuan Kadhi, Malim, serta Lebai/Lobe.
Di bidang peradilan,
ada Mahkamah yang dipimpin Kepala Kerapatan dengan perangkatnya pula. Begitu
seterusnya hingga pola kepemimpinan masuk ke seluruh lini dari lingkup terbesar
hingga kampung dan dusun.
Dalam adat ada
telangkai adat dan pemuka adat. Ada Bomoh untuk urusan super natural dan Dukun
dalam rawatan perobatan tradisi.
Tidak hanya pemimpin di
dunia nyata. Dalam pola kepemimpinan tradisional Melayu juga terdapat pemimpin
di alam tak nampak. Ada jembalang yang menguasai anasir di daratan, seperti
air, api, angin dan tanah. Ada pula pemimpin gaib di lautan yang disebut
Mambang. Mambang sebagai makhluk halus yang menurut kepercayaan sebagian orang
membinasakan manusia, merekalah yang diyakini dalam tradisi kemelayuan sebagai
pemimpin sekalian hantu, dengan bermacam-macam warnanya. Di laut ada delapan
penjuru dengan delapan Mambang, yaitu: Mayang Mengurai, Mambang Laksemana, Mambang Tali
Arus, Mambang Jeruju, Mambang Katimanah, Panglima Merah, Datuk
Panglima Hitam dan Baburrahman di Baburrahim. Dari delapan
pemimpin di delapan penjuru ini, Datuk Panglima Hitamlah pemimpin tertinggi
dari sekalian mambang.
Manuskrip
Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari
Manuskrip Tajus Salatin
karya Bukhari al-Jauhari (1603) adalah salah satu bacaan wajib para
Sultan dan Raja Melayu dalam memimpin negerinya, seakan ia menjadi persyaratan
awal dalam memimpin dan menyejahterakan rakyatnya. Sebagai karya sastra, kitab
ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika,
sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena
itu, ia dikenal sebagai Mahkota Raja-Raja.
Dalam kitabnya, Bukhari
al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang
beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik,
multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem
kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin yang adil dan benar.
Sedikitnya ada lima asas landasan seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin
negeri dan daerahnya.
·
Pertama, Hifz; secara harfiah artinya memelihara, menjaga dan amanah. Negara
makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan
rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki
ingatan yang baik, yaitu cerdas dan pandai. Itu menjadi modal dasar membangun
negeri ini.
·
Kedua, Faham, artinya mengerti dan tanggap, yaitu tanggap dan mengerti
kebutuhan rakyat. Pemimpin memiliki pemahaman dan konsep yang benar terhadap
berbagai kebutuhan rakyatnya, bukan mendahulukan keinginan pribadi dan
kelompoknya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda di setiap daerah dan wilayah,
dan mampu mengakomodasinya.
·
Ketiga, Fikir; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya. Seorang
pemimpin tidak terbuai dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia
mencurahkan segala upaya dan usaha memikirkan rakyatnya. Khalifah Umar
menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam
kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri.
·
Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi
pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya,
menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan
masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi-misi yang dimiliki bukan
hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan
mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis pada aqidah yang
lurus, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama
maupun adat budaya.
·
Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur,
dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan
kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan
dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas,
tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi dan
sejenisnya.
Meneladani
prinsip-prinsip di dalam naskah Taj al-Salatin atau dibaca juga Tajus Salatin
yang terdiri atas 24 bab, di Melayu Sumatera Utara bagian timur misalnya,
Sultan – Sultan mesti memegang teguh konsep kepemimpinan tersebut karena
“Raja Alim Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah”.
Raja alim raja disembah, raja lalim raja
disanggah, berarti pemimpin yang adil dan bijaksana akan dihormati
serta ditaati oleh rakyatnya, sementara pemimpin yang kejam atau semena-mena
(lalim) akan ditentang dan dilawan oleh rakyat, bahkan diganti jika
perlu. Makna ini mengajarkan bahwa pemerintahan yang baik akan
mendatangkan kesejahteraan dan ketaatan, sedangkan pemerintahan yang buruk akan
menimbulkan perlawanan dari rakyat yang berhak atas kepemimpinan yang jujur dan
amanah.
Masih dalam kitab Taj
al-Salatin yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari sekitar abad ke-17 itu, disebutkan
pula, ada empat waktu yang harus diperhatikan, yakni:
·
Waktu untuk menjalankan kewajiban perintah agama,
·
Waktu untuk melakukan kewajiban pemerintahan,
·
Waktu untuk makan dan tidur,
·
Waktu untuk beristirahat, bersenang-senang dengan istri dan keluarga.
Merujuk pada akhlak dan
perilaku mulia, Tajus Salim mengingatkan, para nabi memegang kekuasaan adalah
untuk tujuan spiritual, ibadah kepada Sang Ilahi, bukan tujuan material atau
memperkaya diri. Demikian hendaknya diikuti para raja atau pemimpin. Tajus
Salatin mengungkapkan 10 syarat untuk menjadi raja atau pemimpin yang baik,
yakni:
·
Akil
baligh, yaitu dewasa dan berpendidikan, agar dapat
membedakan mana yang baik dan buruk.
·
Ilmu
pengetahuan, hingga berwawasan luas.
·
Pandai
memilih orang kepercayaan, yakni orang yang berilmu,
sehingga mampu menjalankan tugas sesuai bidangnya.
·
Baik
rupa (paras), kalau kurang baik yang penting baik
budinya.
·
Dermawan.
Kedermawanan merupakan sifat bangsawan atau orang berbudi.
·
Ingat
kebaikan orang yang pernah membantunya.
·
Berani
menegur anak buah.
·
Jangan
teralu banyak makan dan tidur.
·
Tidak
gemar berzinah, sebab itu bukan tanda orang
berbudi.
·
Laki-laki.
Perempuan boleh menjadi raja atau pemimpin jika memang tidak ada laki-laki yang
layak untuk diangkat.
Tunjuk
Ajar
Dalam masyarakat
Melayu, mengenal Tunjuk Ajar, sebagai petuah nasihat turun temurun yang
dianggap tidak patut bila dilanggar. Dalam Kepemimpinan Tradisional Melayu, ada
sebuah Tunjuk Ajar Melayu sebagai berikut:
“Kalau
hendak tahu pemimpin sejati,
tengoklah
ia memimpin negeri,
Memerintahnya
di jalan Allah,
Memerintahnya
dengan petuah amanah,
Memerintah
tidak semena-mena,
Memerintah
tidak mengada-ada,
Memerintah
dengan berlapang dada,
Memerintah
dengan akal budinya,
Memerintah
dengan bermanis muka,
Memerintah
dengan berlembut lidah,
Memerintah
dengan adilnya,
Berkuasa
tidak membinasakan,
Kuat
tidak mematahkan,
Besar
tidak mengecilkan,
Tinggi
tidak merendahkan,
Kaya
tidak menistakan”.
Tradisi Melayu mengenal
ungkapan ‘Menjeput tuah menjunjung marwah’.
Ungkapan ini berlaku pada pola kepemimpinan tradisional yang tetap mengutamakan
tuah (keberuntungan) dan marwah (harkat martabat). Seorang pemimpin mesti
memiliki tuah dan martabat itu. Dalam tunjuk ajarnya, Tuah dan Marwah pemimpin
Melayu ada dalam ungkapan:
“Didahulukan
selangkah,
Dilebihkan
sehari,
Dilebarkan
setapak tangan,
Ditinggikan
seranting,
Dilebihkan
sebenang”.
Mereka tetap didahulukan, dilebihkan, ditinggikan dan dilebarkan; namun tetap tidak berlebihan melampaui watas tuah dan marwah.
Ada hal unik dan bertutur antara kawula dengan sultan atau rajanya. Kawula rakyat memakai kata ganti diri ‘Patik’ menyebut aku pada dirinya, dan menyebut ‘Duli Tuanku’ terhadap sultan atau raja.
Patik secara makna asli adalah berarti anak binatang asu yang baru lahir dan masih comel serta belum pandai apapun baik menyerang, menjaga, bahkan makanpun belum pandai. Kawula begitu merendahkan dirinya dihadapan rajanya.
Duli secara makna asli adalah debu telapak kaki. Sehingga kalimat ini: “Berampun Patik kehadapan Duli Yang Maha Mulia Tuanku, sembah patik harap diampun”, memiliki makna ambiguitas.
Kawula begitu merendahkan diri namun ia merendah karena ia belum pandai tetapi akan pandai. Ia begitu menyembah ke hadapan pemimpinnya bahkan hingga me-maha-kan, namun ke-maha-an itu ia turunkan pula hingga ke debu telapak kaki, agar kemahaan itu tiada setingkat Tuhan.
Sikap tradisional
kawula terhadap raja, tampak dari ungkapan: Raja Alim Raja Disembah; Raja
Lalim Raja Disanggah.
Konsep kepemimpinan yang diluahkan dalam ungkapan Melayu itu sangat sederhana dan tegas. Dengan konsep itu, pemimpin dan masyarakat dapatlah mengatur sikap yang jelas.
Jika ditelaah, kalimat pertama, dalam ungkapan tersebut, terdapat dua frasa, yaitu Raja Alim dan Raja disembah. Frasa “Raja Alim”, terdiri dari dua kata, yaitu Raja dan Alim. Raja adalah sebutan untuk seseorang yang memimpin kerajaan. Raja, Sedangkan “alim”, berarti memahami, piawai, mempunyai pengetahuan yang mendalam di samping memiliki sifat warak (menjauhi dosa), zuhud (tidak gemar pada sesuatu yang melalaikan) dan takwa (menyerahkan hidup pada kuasa Ilahi). Sehingga raja yang alim, mengandung maksud raja yang baik dalam akhlak dan sifatnya. “Sembah” berarti penghormatan dan bertabik dengan menangkupkan kedua-dua tapak tangan serta menyusun jari dan mengangkat ke atas hingga ke paras dagu hingga ke dahi), disembah berarti diberi penghormatan penuh. Jika digabungkan, maka makna dari gabungan dua frasa itu adaalah jika seorang pemimpin yang baik akhlak dan sifatnya dihormati, dituruti, dan atau diikuti.
Kalimat kedua, juga terdiri dari dua frasa, “Raja Lalim” dan “Raja Disanggah”. Secara singkat, makna dari gabungan dua frasa ini adalah kebalikan dari kalimat yang pertama. Dalam kalimat ini, dapat diartikan, jika raja dzalim atau tidak baik akhlak dan sifatnya tidak perlu dihormati, dan atau, jika raja tidak baik maka harus ditentang. Bahkan, jika raja tidak baik maka sebaiknya diturunkan.
Hang Jebat, menyanggah raja dikarenakan telah berbuat lalim atau semena-mena dengan saudara seperguruannya, Hang Tuah. Awalnya, Hang Tuah difitnah telah “mengusik” kepunyaan Sultan. Tanpa usut panjang, sultan memerintahkan untuk membunuh Hang Tuah. Merasa raja “kurang cerap” – tidak teliti, Hang Jebat menyanggah Raja, hingga mampu menduduki istana, dan bahkan mengusir sultan dari singgasananya.
Megat Seri Rama, Anak
Bintan, menyanggah raja lebih ekstrim lagi. Dikarenakan raja membunuh
isterinya, Megat pun membalas dengan membunuh Sultan yang sedang didulang.
Soalan ini, dalam sajak
saya tulis begini:
“Duhai Tuanku Sultan”
Duhai Tuanku Sultan
kapalmu sikayu jati,
sedangkan bidukku kayu meranti
pengayuhku sudah retak
mencari belah
di buritan bidukku
tertitip perut anakku
sedang di kapalmu sesak sahaya mendukung uncang upeti.
Duhai Tuanku Sultan
engkaulah kumbang,
sedangkan aku pianggang
sungutku tak cecah
menghisap madu
disungutku tergantung
keranjang dapur biniku
sedang di sayapmu
madupun kau kepakkan
Duhai Tuanku Sultan
engkaulah kembang,
sedangkan aku kiambang
uratku tergantung tak
sentuh bumi
pada uratku nafas mampu
bertahan
sedang hasratku
menggantang asap
Duhai Tuanku Sultan
gobekmu lentang lentung
menumbuk sirih, sedang antanku tumbuk melukut
derai melukutpun hanya
segenggam
di derai melukut
terharap bubur bayiku
sedang gobekmu bertahta
mutumanikam
Duhai Tuanku Sultan
gantangmu intan
baiduri, sedang cupakku buluh berduri
pada cupakku tersukat
taruna anakku
sebab anakku akan
mencupak gantang sultanmu
sampai tahtamu
bersandar punggung puteraku.
(M Muhar Omtatok, Medan
05 Agustus 2002)
Walaupun demikian,
Orang Melayu baik ia pemimpin maupun rakyat, tetaplah harus “Sedar Diri’ – tahu
diri dalam meletakkan sikap yang mesti senonoh, agar jangan sampai “Membuang
Tuah”.
Karena diajarkan bahwa:
“Meninggikan
orang lain, bukan berarti kita rendah.
Tahu
bertutur, berarti tahu tunjuk ajar.
Terlajak
perahu boleh diundur,
Terlajak
kata buruk padahnya”.
Baik pemimpin maupun
yang dipimpin mestilah tahu akan patut. Adat hidup yang patut akan membentuk
harmoni bagi pemimpin maupun yang dipimpin.
“Adat Hidup Orang Melayu
Bergantung
Pada Nan Satu
Berpegang
Pada Nan Esa
Adat
Hidup Orang Melayu
Malang
Hidup Celaka Hidup
Bila
Tak Tahu Halal Haram
Adat
Hidup Orang Melayu
Tuah
Hidup Sempurna Hidup
Hidup
Berakal Mati Beriman
Adat
Hidup Orang Melayu
Berbuat
Baik Di Pada Pada
Berbuat
Jahat Jangan sekali
Adat
Hidup Orang Melayu
Biar
Pecah Di Perut
Usah
Pecah Di Mulut
Adat
Hidup Orang Melayu
Tak
Cukup Telapak Tangan
Nyiru
Di Tadahkan
Adat
Hidup Orang Melayu
Salah
Makan dimuntahkan
Salah
Patut dikeletaikan
Adat
Hidup Orang Melayu
Salah
Jalan Berbalik Kepangkal
Sumbing
Dititik Patah Ditupang
Adat
Hidup Orang Melayu
Adil
Arif Bijak Bersusun
Pandai
Meniti Zaman Beralun.
Penutup
Nan
bertuah dengan marwahnya,
Nan
berhormat dengan berkahnya,
Nan
alim dengan amanahnya,
Yang
Tua dengan petuahnya,
Yang
muda dengan takahnya,
Nan
Raja dengan kuasanya,
Nan
Datuk dengan adat pusakanya,
Yang
bijak dengan ariefnya,
Yang
cerdik dengan pandainya,
Yang
datang dari hulu ke hilir,
Yang
jauh tundan bertundan,
Yang
dekat sogo bergesa,
Nan
terlingkup alam nan empat,
Nan
tersungkup oleh adat,
Nan
ternaung oleh lembaga,
Yang
terlindung oleh resam, turai nan bergagan.
Sepuluh
jari diaturkan,
Jika
tiada cukup nyiru ditadahkan,
Jika
nyiru tiada cukup laman dibentangkan.
(Makalah disampaikan
oleh M Muhar Omtatok, pada Seminar Kepemimpinan Tradisional, Medan,
11 Mei 2015)
____________
Daftar Pustaka:
Al-Jauhari, Bukhari.1603.Kitab
Taj al-Salatin.
Effendy, Tenas. 2006.
Tunjuk Ajar Melayu. Pekanbaru: UNRI Press.
Kartono, Kartini. 2008.
Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?. Jakarta: Rajawali
Press.
Naim, Mochtar. 1984.
Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Omtatok, M Muhar. 2002.
Puak Melayu.
Peursen, Van C.A,1976. Strategi
Kebudayaan, BPK Gunung Mulia Jakarta dan Yayasan Kanisius,Yogyakarta.
Shafritz, Jay M dan J.
Steven Ott.1987. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing
Company Pacific Grove, California.
Syahputra, Matdin. 1990.
Catatan Adat Resam Melayu di Sumatera Timur.
Weber, Max. 1946.
Bureaucracy, dalam Shafritz, Jay M dan J. Steven Ott. 1987. Classics of
Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove, California





Komentar