Oleh: M. Muhar Omtatok
Permainan tradisional anak-anak Melayu merupakan
warisan budaya yang sarat nilai sosial, moral, dan estetik. Namun, perkembangan
teknologi digital menggeser bentuk permainan kolektif menjadi permainan
individual berbasis gawai. Artikel ini mendeskripsikan beberapa bentuk
permainan tradisional Melayu yang diiringi lagu-lagu rakyat seperti Wak Udin,
Panjang Pendek, Hantu Dengut, Tong Along Along, dan Pok Amai-Amai, serta
menganalisis nilai-nilai sosial dan pendidikan yang terkandung di dalamnya.
Penelitian ini juga menyinggung dokumentasi awal
permainan Melayu oleh sarjana kolonial seperti R.O. Winstedt (1917) dalam Malay
Nursery Rhymes. Temuan menunjukkan bahwa permainan anak Melayu tidak hanya
berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sarana pendidikan karakter, pembentukan
solidaritas sosial, serta penguatan identitas budaya.
Pendahuluan
Permainan anak-anak tradisional Melayu merupakan
bagian penting dari warisan budaya takbenda yang mencerminkan nilai-nilai
sosial masyarakatnya. Namun, dalam era digital, permainan-permainan tersebut
semakin terpinggirkan dan tergantikan oleh permainan daring dan berbasis
teknologi (Rosmalina, wawancara pribadi, 2010). Permainan seperti Congkak, Serimbang,
Galah Asin, Lemang Semambu, dan Pok Amai-Amai dahulu menjadi media interaksi
sosial, latihan fisik, serta pengembangan kecerdasan sosial anak-anak Melayu.
Kajian terhadap permainan anak Melayu telah dilakukan oleh beberapa sarjana
asing, terutama pada masa kolonial. R. O. Winstedt (1917) mencatat sejumlah
lagu rakyat dan permainan anak dalam jurnal Malay
Nursery Rhymes, yang memuat pantun dan nyanyian Melayu. Selain Winstedt,
sarjana seperti R. J. Wilkinson (1901), W. E. Maxwell (1882), dan W. Linehan
(1949) juga mendokumentasikan kesusasteraan dan permainan lisan Melayu sebagai
bagian dari usaha memahami struktur sosial dan budaya masyarakat Melayu.
Pembahasan
Hj. Rosmalina, Pemerhati soalan Melayu di
Tebingtinggi, mengatakan bahwa permainan anak-anak tradisional boleh
membangkitkan rasa kerja sama dan penyesuaian diri yang baik karena terbiasa
melakukan sesuatu bersama-sama. Sebagai makhluk sosial, kita pasti membutuhkan
kehadiran orang lain dalam hidup kita. Tak mungkin segalanya dapat dilakukan
sendiri. Sekecil apapun bantuan orang lain sangat berperan dalam hidup kita.
Selanjutnya Hj. Rosmalina berpendapat, “Permainan anak-anak
masa lampau, boleh melatih tubuh lebih sehat dan kreatif. Budak-budak lampau
bermain dengan riangnya, sambil bergerak seimbang. Tak macam budak kini, cuma
terconggok seorang diri, macammana pula kelak mereka sanggup berhadapan dengan
orang banyak, ditambah lagi tubuh tiadalah mungkin terbiasa, bergerak, anak-anak
kini jadi pelesuh”. (Rosmalina, wawancara pribadi, 2010).
Permainan seperti Wak Udin dan Panjang Pendek menunjukkan unsur drama dan
gerak, sedangkan Tong Along Along serta Ram Ram Pisang mengajarkan koordinasi
dan kerja sama. Adapun Lemang Semambu dan Rangkai-Rangkai Periuk mengandung
unsur kompetitif yang disalut humor dan permainan bahasa. Sementara itu,
permainan bayi seperti Cuk-Cuk Melukut dan Pok Amai-Amai berfungsi melatih
motorik, bahasa, dan emosi anak.
Lagu Pok Amai-Amai merupakan salah satu bentuk awal dokumentasi permainan
rakyat yang diabadikan oleh Winstedt (1917). Liriknya, seperti “Pok amai-amai
belalang kupu-kupu, bertepuk kita pandai diupah air susu,” memperlihatkan
kesinambungan antara aktivitas bermain dan pesan moral -yakni kasih sayang ibu,
kerja sama, dan penghargaan terhadap kebersamaan.
Dalam konteks ini, permainan anak Melayu dapat dipandang sebagai bentuk
pendidikan informal yang menanamkan nilai budi, yakni keselarasan antara akal,
jasmani, dan hati (Wan Abdul Kadir, 1992). Permainan tidak hanya melatih
keterampilan fisik, tetapi juga membentuk karakter sosial anak.
Permainan
Anak Melayu Dengan Berlagu
a.
Wak
Udin
Dalam permainan ini, satu anak bersujud, anak-anak yang lain meletakkan sebuah
telapaknya pada tubuh belakang anak yang bersujud tadi. Seorang anak
menggenggam sesuatu dan memindahkan sesuatu itu pada telapak tangan tiap-tiap
anak secara berurutan. Saat memindahkan sesuatu yang digenggam tersebut,
dinyanyikanlah lagu ‘Wak Udin’ hingga selesai. Lalu disuruhlah anak yang
bersujud menebak, di tangan siapa jatuhnya sesuatu benda tersebut, setelah
semua anak menggenggam tangannya.
Ini lagunya:
“Wak wak Udin, Wak Udin mau kawin. Potong
kerbau pendek, potong kerbau panjang. Cak guncil lewe lewe… cak guncil lewe
lewe…”
b.
Panjang
Pendek
Permainan ini menggunakan dua belah telapak tangan yang disatukan. Seolah
bermain wayang, jari-jari menjadi anak wayang. Jari tengah menjadi Si Panjang,
jari manis berperan menjadi Anak, jari telunjuk menjadi Emak.
Disini terjadi dialog antara Anak
dan Emak. Saat anak bertanya kepada Emak, maka jari manis kedua tangan menari
bersilang-silang, begitu juga jika Emak berbicara, maka jari telunjuk menari
bersilang – silang, Jari tengah juga demikian jika Si Panjang merasa senang.
Dua ibu jari diletakkan di ujung dagu saat permainan dilakukan.
Jika tarian jari yang bersilang-silang terjadi kesalahan atau tidak cepat
menari bersilang-silang, maka permainan digantikan anak yang lain.
Ini lagunya:
Jari Manis: “Emak…Emak, Potong si Panjang
ni…”
Jari Telunjuk: “Mengapa dia dipotong”
Jari Manis: “Takut aku sama dia”
Jari Telunjuk : “Banyak orang di dunia
ni, panjang pendek serupa saja”
Jari Tengah: “Pak pong…Pak Pong…Pak pong
pak pong pak pong…”
c. Hantu Dengut
Hantu Dengut: “Mana emakmu?...”
Budak:”Pegi ke pasar”
Hantu Dengut:”Menjual apa?”
Budak:”Menjual bubu”
Hantu Dengut:”Mana bubunya?”
Budak:”Di atas atap”
Hantu Dengut:”Boleh kumakan?”
Budak:”Makanlah”
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu
dengut ..
Ngut ngut hantu dengut…ngut ngut hantu dengut ..
d. Tong Along Along
“Tong Along along, kericing riang-riang,
Ketapang kuda palong, arak arak minyak arab, pecahkan telur sebijik…taaarrr…”
Saat melagukan, anak-anak yang terdiri dari 3 atau 4 orang duduk melingkar
sambil mengepalkan tangan dan disusun bertingkat. Tangan bergoyang goyang,
hingga bait terakhir pada lagu, yaitu ‘taaarrr’
maka kepalan paling bawah terbuka.
Sambil semua kepalan terbuka, bersama-sama mengangkat dan menurunkan tangan
yang bersatu itu.
Kemudian anak anak bernyanyi lagu berikut;
e. Ram Ram Pisang
“Ram ram pisang, pisang masak sebiji,
bawa gonggong bawa lari. Bak…bak buuur…”
Kedua belah tangan masing-masing diangkat keatas, tetap dalam kesatuan,
seolah-olah melarikan sesuatu. Permainanpun berakhir sambil bersorak sorai.
f. Lemang Semambu
Empat atau 5 anak duduk melingkar. Kedua tangan diletakkan ke lantai. Seorang
anak menjadi pemimpin dan menekankan hanya tangan kirinya ke lantai. Tangan
kanannya difungsikan sebagai penjamah. Tiap-tiap tangan kawan-kawannya, sambil
berlagu:
“Mang semambu, kuala sambau. Hujan nunut,
mandi katong. Sirih rabit, pinang jawi. Sintak peluk Tuan Putri Enam Dewa”.
Setiap suku kata dari lagu diatas, tangannya menjamah bergiliran. Tangan yang
terjamah pada akhir lagu, menjadi bebas dan diangkat pada dada yang bermain.
Jika tangan yang sebelah lagi terjamah pada akhir lagu, maka diletakkan di atas
kepala.
Lagu berulang-ulang sampai seluruh anak meletakkan
tangan di dada dan kepala. Kemudian bergiliran, anak yang menjadi pemimpin
bertanya:
Pemimpin: “Apa dijunjung?”
Jawab: “Bakul”
Pemimpin: “Apa dijurus?”
Jawab: “Rotan”
Pemimpin: “Apa kilik?”
Jawab: “Sumpit”
Pemimpin: “Apa tungkat?”
Jawab: “Lemang”
Ketika si anak ditanya, tangan yang di kepala di letakkan di dada dan dipeluk
erat. Lalu pemimpin berbuat seolah-olah mencincang tangan kawannya, sambil
berlagu:
“Pak…pak…si pungguk, si pungguk mati
akar, Tuan Haji ke padang, bersunting daun, sehari tak dipandang serasa setahun”.
Kemudian dia bertanya pula kepada kawannya:
“Peti besi atau peti kayu?”
Jawab: Peti besi (jika dijawab “peti
kayu” berarti menyerah kalah)
Pimpinan: “Mana kuncinya?”
Jawab: “Jatuh ke lubuk”
Pimpinan: “Kalau diselam?”
Jawab: “Merah mata”
Pimpinan: “Kalau disuduk?”
Jawab: “Patah suduk”
Pimpinan: “Kalau dijala?”
Jawab: “Koyak jala”
Mendengar jawaban tersebut, pimpinan berkata, “Kalau begitu, lebih baik diselam saja…ngup!”, dengan sekuat tenaga
pemimpin menarik tangan, dan yang ditarik mempertahankan pelukannya.
Jika terbuka, ia menunjukkan telunjuknya sambil berujar, “ini kuncinya”, maka dia menjadi pemenang dan mendapat Tuan Putri
Enam Dewa. Permainan ini bisa sampai berguling guling dan menjadi tertawaan
kawan yang lain.
g. Rangkai Rangkai Periuk
Seluruh tangan berkaitan sesama kelingking bergerak turun naik, sambil berlagu:
“Rangkai, rangkai periuk, Periuk dari
jawa, Sumbing sedikit terantung tiang para, wak wak wit…siapa ketawa kena cubit”
Lingkaran yang terkait tadipun diputuskan, lalu masing-masing menutup mulut
menahan tawa. Jika ada yg tersenyum nyaris tertawa, maka yg disampingnya
mencupit seperti menggelitiki.
Yang kena cubit bertanya, : “Kenapa saya
dicubit?”
Jawab: “Curi lada saya”
Tanya: “Mana budak kata?”
Lalu ditunjuk oleh yang mencubit, salah seorang anak yang ikut bermain. Lalu
yang kena cubit mencubit anak yang ditunjuk. Lalu muncul pertanyaan dan jawaban
seperti diatas, begitu seterusnya hingga saling menunjuk. Sampai semua saling
mencubit setengah menggelitik.
h. Tam
Tam Buku
“Tam tam buku,
seleret tiang bahu,
Patah lembing, patah paku,
Anak belakang tangkap satu
Bunyi lonceng pukul satu”.
Masih banyak lagi jenis lagu dibuat untuk permainan anak-anak Melayu. Misalnya
saja ada sebuah permainan yang diberikan orangtua atau anggota ,keluarga kepada
bayi yang baru bisa duduk, yaitu dengan mengajarkannya membuka jari jemari dan
menutup kembali jari jemarinya, sambil bernyanyi berulang ulang:
“Kur gam gamit, Minta cekur udang gemit. Kur
gam gamit, Minta cekur bagi kunyit”
Untuk melatih anak agar tidak celat dan bias menyebut huruf “r”, maka dibuat
mainan lagu yang diucapkan berulang-ulang hingga fasih:
“Ular menjalar di pagar wak umar”
Ada pula permainan untuk bayi, dengan menyentuh nyentuhkan telapak si bayi
dengan telunjuk, terus ke lengan, sambil berlagu dan tersenyum:
“Cuk…cuk melukut, berambang gentang,
dimana tikus nyuruk, di bawah batang”
Ketika kata di bawah batang maka telunjuk diarahkan ke ketiak si bayi sambil
setengah menggelitik, hingga bayi tertawa-tawa.
Ada pula saat bayi sedang terduduk atau mulai pandai berdiri, maka si ibu atau
anggota keluarga mengajaknya bermain dengan menepuk-nepuk dua tangan, sambil
berlagu:
“Pok amai amai belalang kupu kupu,
bertepuk kita pandai diupah air susu. Susu lemak manis santan kelambir muda,
anak usah nangis diupah tanduk kuda. O, kuda…O, kuda…orang betanduk, engkau
tidak, alih bertanduk bercabang tiga”.
Ada pula bayi diajak bermain dengan menimangnya, sambil melagukan, diantara
baitnya antara lain:
“Timanglah tinggi tinggi, timang keatas
atap. Belumlah tumbuh gigi, sudah pandai membaca kitab.
Timanglah tinggi tinggi,naik duri nipah.
Belum tumbuh gigi, sudah tahu minta cepah.
Mang sigalimang, timang kepala labu. Asik
kita bertimang, tak tentu kain baju”.
Masih banyak jenis permainan anak Melayu yang dilakukan dengan berlagu, inilah
khazanah moyang yang tiada boleh lesap tertelan permainan yang tak berfaedah.
"Cak cak uncang anak elang bidadari,
habis
kau uncang larikan ke tepi,
injik
injik batang terinjik rumpun padi,
pabila
Atok datang membawa parang panjang,
buat
apa parang panjang,
penebas
buluh telang,
buat
apa buluh telang,
pembuat
tali leher,
buat
apa tali leher,
penjerat
kuda belang,
buat
apa kuda belang,
buat
mainan anakku,
siapalah
namanya,
Budak
Melayulah namanya….”.
Penutup
Permainan anak-anak Melayu dengan lagu-lagu
tradisional bukan sekadar warisan nostalgia, melainkan media pendidikan
karakter dan sosial yang sangat relevan untuk ditumbuhkan kembali di era
modern. Melalui gerak, lagu, dan interaksi kelompok, anak-anak belajar
nilai-nilai kebersamaan, kesetaraan, kreativitas, dan hormat terhadap budaya.
Pelestarian permainan anak tradisional Melayu perlu
diintegrasikan ke dalam pendidikan budaya dan kegiatan komunitas, agar generasi
muda tidak tercerabut dari akar budayanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Winstedt
(1917), permainan rakyat Melayu merupakan 'a
window into the soul of the Malay child' - cermin jiwa anak Melayu yang
riang, kreatif, dan bersahaja.
Daftar
Pustaka
· Maxwell,
W. E. (1882). The Malay Pantun. Journal of the Straits Branch of the Royal
Asiatic Society, 9, 71–87.
· Rosmalina,
H. (2010). Wawancara pribadi tentang permainan anak Melayu di Tebing Tinggi
[Catatan lapangan pribadi].
· Wan
Abdul Kadir, W. M. (1992). Budi sebagai Asas Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
· Wilkinson,
R. J. (1901). Malay Beliefs. Singapore: Kelly and Walsh.
· Winstedt,
R. O. (1917). Malay Nursery Rhymes. Journal of the Straits Branch of the Royal
Asiatic Society, 76, 103–112.
· Linehan,
W. (1949). Studies in the Social and Political Development of the Malay States.
Kuala Lumpur: Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society.
.jpg)



Komentar