oleh: M Muhar
- Omtatok
Stratifikasi sosial adalah penggolongan
orang-orang yang termasuk suatu sistem sosial tertentu
ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi
kekuasaan, previlese, dan prestise. Menurut Soerjono Soekanto, stratifikasi
sosial merupakan pembedaan posisi seseorang ataupun kelompok yang pembedaaan
kedudukannya secara vertikal.
Sedangkan Bruce J. Cohen, menyebut stratifikasi
sosial merupakan suatu sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas
yang dimiliki, kemudian menempatkan seseorang tersebut ke dalam suatu kelas
sosial yang sesuai dengan kualitasnya.
Gelar ningrat atau kebangsawanan di masa lampau
merupakan penanda stratifikasi sosial, yang menunjukkan posisi seseorang
dalam hierarki masyarakat. Gelar ini seringkali diwariskan dan menandakan
garis keturunan bangsawan, serta menentukan hak dan kewajiban dalam
masyarakat. Gelar ini bukan hanya sekadar nama panggilan, tetapi juga
penanda status sosial yang menunjukkan posisi seseorang dalam struktur
sosial. Di masanya, implikasi gelar kebangsawanan mempengaruhi akses
terhadap pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak lainnya.
Di masyarakat Melayu kuno, ditemukan berbagai stratifikasi
sosial atau struktur sosial hierarkis, dengan penyebutan kata sandang
penghormatan; seperti Sang, Seri, Hang, Dang, Demang, Tun, Raden / Radin, Raja, Datuk, Megat serta lainnya.
Pada Masyarakat Melayu
di pesisir timur Sumatera Utara atau masa itu disebut Sumatera Timur, juga memiliki Gelar Kebangsawanan dan Gelar
Penyebutan dalam pranata Kemelayuan masa dulu, diantaranya:
A.
Tuanku
Tuanku merupakan gelar sebutan yang mulia digunakan
apabila bercakap dengan Sultan atau setaranya. Tuanku dipakai sebagai kata
ganti nama diri kedua bagi Sultan.
"Asah
kapak tajam beliung,
Tebang
mari kayu berduri;
Tuanku
umpama kemuncak payung,
Patik
di bawah berteduh diri".
B.
TENGKU
Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang
otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari
Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal
nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam
masyarakat adat Melayu.
Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya
juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya tetapi
ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak mereka.
Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah
keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung
Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau,
Malaysia, Pattani, Singapura; dan lainnya. Turunan Merah atau Raja di Sumatera
Timur juga bisa disebut Tengku.
Sebagian zuriat Tengku, tidak meletakkan kata Tengku
di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya disebut orang lain kepada
dirinya, misalnya Pujangga asal Langkat - Tengku Amir Hamzah, beliau menulis
namanya dengan Amir Hamzah saja, namun orang memanggilnya dengan sebutan Tengku
Amir Hamzah atau Ku Busu. Dr Tengku Mansoer menulis namanya juga dengan Dr
Mansoer, tapi orang lain menyebutnya dengan Dr Tengku Mansoer.
B1.
MERAH
Gelar ‘Marah’, Merah atau 'Morah' adalah gelar
kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam. Prof. Dr.
Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan
perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di
wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.
Sebut saja contoh, Marah Silu yang merupakan pendiri
kerajaan di Samudera yang disebut Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan
Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di kota
Padang – Sumatera Barat, pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga
memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat
Minangkabau.
Di Tebingtinggi sebelum popular penyebutan kata Raja
dan selanjutnya Tengku, gelar yang dipakai adalah Marah (baca: Morah).
Selanjutnya kini gelar itu tidak terpakai lagi, tetapi berubah menjadi Raja
atau Tengku.
B2.
RAJA
Gelar ‘Raja’ juga popular di banyak tempat di
Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini,
bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota
Pinang, Tebingtinggi dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan
Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan
fungsi yang beragam lagi.
Di luar Sumatera Timur, ada juga Melayu yang
menggunakan gelar Raden dan lainnya, namun gelar Raden ini belum pernah
tersandang bagi kaum bangsawan di Sumatera Timur.
C.
DATUK
“Datuk” jika disamakan dengan bahasa Sansekerta
yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya
orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan.
Gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar
sebagai kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku.
Di wilayah Batubara, rajanya justru bergelar Datuk, karena Batubara adalah
Datuk di bawah Kesultanan Siak. Di Sunggal, Raja dan kaum bangsawan zuriat Raja
menyandang gelar Datuk.
Namun ada juga beberapa wilayah yang memakai gelar
Tengku bagi turunan Rajanya yang dimasukkan Belanda dulu ke Batubara, semisal
wilayah Tanjung Kasau, Inderapura, dan sekitar itu.
Di Deli ada Datuk Empat Suku. Sejak era Sultan Azmy
Perkasa Alam, untuk membedakan dengan Datuk-Datuk di luar Datuk Empat Suku,
diberi penanda yang penulisannya menjadi Datuq.
Ada pula Datuk sebagai Orang Besar yang diangkat
menurut kehendak Sultan atau Raja, berdasarkan titah pengangkatan resmi untuk
zuriat tertentu.
Di Sumatera Timur, orang-orang Cina pendatang yang
menyembah arwah, akan menyiapkan bangunan kecil yang disebut Rumah Datuk untuk
menghormati arwah Datuk Datuk Melayu tempatan.
D.
ORANG KAYA (OK)
“Orang Kaya" dibaca Orangkaye atau Orangkayo
sering disingkat OK, merupakan sebutan bagi anak lelaki turunan Datuk yang
tidak menjabat Datuk. Sebutan ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang
berpengaruh, baik secara materi maupun marwah dalam lingkungan istana.
Di beberapa catatan sejarah, gelar kebangsawanan “Orang
Kaya" dahulu terpakai luas, termasuk pernah ada di Aceh.
E.
WAN
“Wan” adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda
penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun
ber-ayah-kan bergelar di bawah itu namun tetap berresam Melayu, juga boleh
menyandang gelaran ini. Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali
disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang
Pahang). Di Kerajaan Padang di Tebingtinggi, gelar Wan ditemukan pula untuk
zuriat bangsawan asal Negeri Pahang.
Anak perempuan dari beberapa Datuk Empat Suku di
Deli ada juga bergelar ini.
Datuk di wilayah Sinembah (baik di Deli maupun di
Serdang) menggunakan gelar Wan di depan nama.
F.
AJA
“Aja” adalah gelar kebangsawanan terbatas
dipergunakan, semisal di wilayah Sunggal. Ia diperuntukkan untuk turunan Datuk
dan boleh disandang bagi pria dan wanita.
Sebutan Aja juga dipergunakan sebagian kecil zuriat
Negeri Padang Tebingtinggi sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’
(Ayahanda) atau Ende’ (Ibunda/Bonda).
G.
DATUK MUDO (DTM)
Ini adalah sebutan terbatas di Tanjungbalai
Kesultanan Asahan, untuk gelaran ‘bahu’ atau pembesar rendah pendamping Sultan
di istana.
H.
MEGAT
Adalah gelar bagi anak turunan dari wanita tergolong
bangsawan yang menikah dengan orang di luar itu.
Megat juga ditemukan di Sumatera Timur untuk
penyebutan pada golongan berjasa pada kerajaan, misalnya sosok Megat Jiwa yang
kuburnya ada di Binjai.
I.
INCIK
“Incik” atau disingkat “Cik” adalah sebutan hormat
bagi orang bukan bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di
lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan kebanyakan
yang menikah dengan golongan bangsawan, serta berbagai peruntukan lainnya.
Sebutan ini adalah tanda hormat dan membesarkan
kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan. Bisa digunakan untuk laki
laki atau pun perempuan.
Walau kata Incik adalah tanda hormat, namun seorang
bangsawan semisal Tengku, tidak boleh disapa dengan sebutan Incik atau Cik,
karena ini menjadi makna teramat sangat merendahkan lawan bicara.
Incik ada juga dipakai sebagai tutur
kekerabatan, berlaku di beberapa wilayah seperti Labuhanbatu.
J.
TUAN
"Tuan" adalah sebutan bukan gelar
bangsawan, kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan, namun ahli dan
khusuk di bidangnya. Misalnya Tuan Guru, Tuan Haji dan lainnya. Di Simalungun,
gelar Tuan justru dipakai untuk bangsawan tinggi turunan Raja.
Seorang bangsawan Melayu bergelar semisal Tengku,
Datuk dan lain lain, walaupun ia ahli di bidangnya dan khusuk, tetap tidak
boleh disapa dengan Tuan dalam kaidah adat, tetap disebut Tengku, Datuk, dan
sebagainya, karena masing-masing telah didudukkan pada tempatnya menurut adat
resam zaman berzaman.*(M Muhar – Omtatok)
.jpg)
Komentar