Warisan
Rasa yang Melintasi Zaman
Siapa yang tak kenal
rendang? Masakan daging dengan santan dan rempah ini bukan sekadar kuliner; ia
adalah narasi panjang tentang perjalanan budaya Melayu, tentunya termasuk
Minangkabau di Sumatera hingga Semenanjung Melayu. Rendang tak hanya bertahan,
tapi menjelma simbol identitas, kebanggaan, bahkan diplomasi kuliner.
Namun, pertanyaan
klasik masih menggema: Apakah rendang lahir khusus dari Minangkabau, atau ia
bagian dari warisan lebih luas, yaitu Alam Melayu?
Jejak
Tertua Rendang dalam Teks
1. Hikayat Amir Hamzah
(sekitar abad ke-16)
“… maka segala makanan
yang diperbuatnya seperti merendang daging…”
(Hikayat Amir Hamzah,
naskah klasik Melayu)
Kata “merendang” di
sini menunjukkan bahwa teknik memasak daging hingga kering dengan santan dan
rempah sudah dikenal di dunia Melayu sejak masa kesultanan.
2. Kamus Melayu Belanda
(Wiltens & Danckaerts, 1623)
“Rendangh: fricassee.”
Rendang didefinisikan
sebagai cara memasak daging (seperti tumis-rebus hingga kering). Menandakan
rendang awalnya lebih dikenal sebagai teknik memasak daripada nama hidangan.
3. William Marsden, The
History of Sumatra (1783)
“The beef is cut into small pieces, and simmered in coconut milk with a
variety of spices until the oil separates and the meat becomes dry, which
preserves it for many months.”
Deskripsi Marsden ini
sangat mirip dengan rendang masa kini , yang disebutnya: Daging lembu dipotong
kecil, lalu direbus dalam santan dengan berbagai macam bumbu hingga minyaknya
terpisah dan dagingnya menjadi kering, sehingga dapat bertahan hingga
berbulan-bulan.
Dengan bukti teks kuno
dan catatan ini, jelas bahwa rendang adalah masakan Melayu yang tua, termasuk
Minangkabau di Sumatera. Temuan ini menunjukkan bahwa rendang awalnya lebih
dekat dengan teknik memasak atau proses memasak lama hingga kering, sebelum
berkembang menjadi hidangan khas dengan identitas tersendiri.
Identitas
Rendang
Tidak cuma Melayu
Sumatera, termasuk juga Minangkabau, rendang baik dari cara memasak, maupun rendang
daging juga dikenal di Malaysia, Brunei, Melayu Singapura, serta disebut ‘riyandang’
di Melayu Filipina.
Banyak sekali varian rendang
atau rondang ditemukan dalam budaya kuliner Melayu. Ada beras rendang yang
berarti mensangrai beras, selanjutnya dijadikan kue tertentu. Ada rondang kopah
dan rondang sorai di pesisir timur Sumatera Utara, sebuah masakan dari bahan
kerang kepah dan serai. Ada pula istilah rondang bintang yang bermakna langit
ibarat menggongseng bintang yang bertaburan.
Menurut penjelasan
beberapa tetua, rendang daging tercipta awalnya merupakan fusion cuisine dari pemanfaatan ‘tahi minyak kelapa’ yang diolah
bersama daging, lalu muncul inovasi nenek moyang untuk menambahkan rempah atau
bumbu sebagai penyedap.
Cabai yang masuk melalui
jalur perdagangan rempah oleh Portugis yang menguasai Malaka pada awal abad
ke-16, kemudian popular menggantikan merica dalam masakan Nusantara, termasuk
ditambahkan sebagai bumbu dalam rendang daging. Sehingga wajar, cabai asal
benua Amerika ini, disebut lada bagi Orang Melayu di Sumatera.
Berkembangnya waktu, rendang
daging memiliki identitas di setiap daerah, mulai cara memasaknya serta adanya
campuran serta bahan yang direndang.
Kentang yang diperkirakan
masuk pada abad ke-18 dibawa oleh bangsa Belanda, kemudian ada juga yang
menambahkan dalam rendang daging lembu. Kemudian muncul pula inovasi merendang
ayam, itik, bahkan ada jenis rendang ikan tongkol di sekitar wilayah Aceh dan
di tempat lain. Ada rendang kerang, rendang hati, rendang daun yang terdiri
atas beberapa daun, serta rending hitam.
Bagi masyarakat
Minangkabau, rendang memiliki banyak varian baik minang laut maupun minang
darat. Masakan ini hadir dalam upacara adat, pernikahan, dan hajatan besar.
Proses memasaknya yang panjang dan penuh kesabaran dianggap cerminan nilai kesabaran,
kebersamaan, dan kekuatan menghadapi tantangan.
Dari
Dapur Tradisional ke Diplomasi Kuliner
Abad ke-21 membawa
rendang ke panggung global. Tahun 2011, CNN menobatkan rendang sebagai “Makanan
Terenak di Dunia”. Pemerintah Indonesia pun menjadikannya bagian dari diplomasi
budaya.
Meski demikian,
perdebatan tentang “kepemilikan” rendang kerap muncul. Apakah ia milik milik Minangkabau
saja, atau bagian dari budaya Melayu secara luas ? Jawaban paling adil mungkin:
rendang lahir dan berakar kuat di dalam kuliner Melayu, dan Minangkabau juga
bagian dari masyarakat Melayu Sumatera, yang juga kaya akan kuliner rendang ini.
Filosofi
di Balik Sepiring Rendang
Rendang bukan hanya
soal kelezatan, tetapi juga cermin nilai hidup yang diwariskan turun-temurun.
Proses memasaknya yang memakan waktu berjam-jam menuntut kesabaran, seolah
mengajarkan bahwa hasil terbaik lahir dari ketekunan dan ketabahan. Rendang pun
jarang dimasak seorang diri; ia menghadirkan semangat gotong royong, karena
dapur yang ramai justru melahirkan rasa yang lebih hangat. Dari sisi ekologis,
rendang mencerminkan kearifan lokal dengan memanfaatkan sumber daya sekitar:
santan dari kelapa, rempah yang tumbuh subur di tanah tropis, serta daging dari
hewan ternak yang dipelihara masyarakat. Lebih dari itu, rendang menjadi simbol
identitas kolektif yang melampaui batas wilayah, menyatukan orang Melayu
termasuk Minangkabau, yang meskipun terpisah jarak, tetap terikat oleh kesamaan
adat, budaya, dan rasa dalam sepiring hidangan yang mendunia ini.
Akhirnya,
Rendang bukan sekadar
masakan. Ia adalah bukti bahwa makanan dapat menjadi jembatan sejarah, pengikat
identitas, sekaligus warisan abadi Alam Melayu.* (M. Muhar Omtatok)
Komentar