Rabu, 03 November 2021

Keris Bahari & Hukuman Salang

 


Keris Bahari merupakan rumpun Keris Melayu terutama di Sumatera dan Malaya. Penulis barat menyebutnya dengan Sumatran rapier kris. Gardner (1936) juga menyebutnya dengan Execution keris.

Orang Melayu, misalnya di pesisir timur Sumatera, justru membagi Keris Bahari ke dalam tiga rumpun, yaitu:

a.    Keris Panjang

b.    Keris Alang

c.    Keris Anak Alang (Keris pendek, di bawah ukuran Alang)

Ketiga keris ini memiliki fungsi yang berbeda. Untuk Keris Alang dan/atau Keris Anak Alang memiliki fungsi sebagai regalia. Regalia merupakan hak dan sifat lambang dari seorang penguasa berdaulat,baik sezaman Kerajaan, Kedatukan, hingga Daulah yang disebut Kesultanan.

Untuk Keris Panjang memiliki fungsi kuno di masa berlakunya salah satu hukum Melayu yang disebut Hukuman Salang. Karenanya sering disebut sebagai Keris Salang.

Penyalang, yaitu semacam algojo ala Melayu yang jabatannya diangkat oleh penguasa resmi, untuk melaksanakan Hukuman Salang, dengan menggunakan Keris Panjang atau Keris Salang.

Hukuman Salang itu menjatuhi hukuman dengan cara ditikam di celah tulang selangka, yaitu antara tulang clavicula yang membentuk bahu dan menghubungkan lengan atas pada tubuh; yang kemudian ditikam menembus jantung. Hukuman Salang ini menyebabkan si terhukum akan mati dengan luka parah tapi tubuhnya tetap dalam keadaan baik. Hanya ada sebuah luka di atas bahu.

Tentang Hukuman Salang ini, terdapat beberapa catatan barat, misalnya di Negeri Naning, sebuah negeri di Melaka, yaitu salah satu negeri yang membentuk persekutuan Negeri Sembilan pada abad yang ke-16. 

Catatan barat itu misalnya dari Thomas John Newbold (1839), JB Westerhout (1805). Metode Hukuman Salang dijelaskan Frank Marryat (1848):

"The method of executing criminals with the kris is as follows: He is made to sit down in a chair, with his arms extended horizontally, and held in that position by two men. The executioner, who stands behind him, inserts his kris above the collar-bone, in a perpendicular manner, which causes instant death, as the weapon enters the heart."

(Cara mengeksekusi penjahat dengan keris adalah sebagai berikut: Ia didudukkan di kursi, dengan tangan diluruskan secara mendatar, dan dalam posisi itu dipegang oleh dua orang laki-laki. Penyalang, yang berdiri di belakangnya, memasukkan kerisnya di atas tulang selangka, secara tegak lurus, yang menyebabkan kematian seketika, saat senjata memasuki jantung).* (Muhammad Muhar - Omtatok)

 




Senin, 08 Juli 2019

Cerita (Dongeng) Melayu: Puteri Merak Jingga


“Bismillah itu permulaan kalam,

Dengan nama Allah Khaliqul Alam,

Duduk menyembah terlalu dalam,

Hamba menulis mengirim salam.

 

Kisah terkhabar dahulu kala,

Ceritera Melayu sudah pun lama,

Disampaikan Atok Moyang kepada hamba,

Tuan Puteri Merak Jingga kisah bernama”.

 

dituliskan oleh: 

Muhammad Muhar - Omtatok

 

Dahulu kala Sungai Deli disebut Sungai Petani, jernih airnya. Di tepi Sungai Petani ini, ada sebuah kerajaan Melayu, konon istananya bernama Kota Teluk Belanga. 

 

Kerajaan Melayu ini dipimpin Raja Tuah Sakti Nan Perkasa. Sang Raja mempunyai putra & putri yang terkenal sangat rupawan, baik tutur kata & elok perangainya. Mereka adalah Tuan Putera Bandar Sakti & adik perempuannya bernama Tuan Puteri Merak Jingga.

 

“Tuan Putera Bandar Sakti,

Ramah turai, mendai perangai,

Segak gayanya berendah hati,

Putra Raja Tuah Sakti dianjung balai”.

 

“Adalah Tuan Puteri Merak Jingga,

Adab mendai perangai terjaga,

Rupanya molek seri diraja,

Tunduk teja raja teruja”.

 

Tuan Putera Bandar Sakti yang sangat merakyat itu, memiliki seorang sahabat bernama Alang Jermal, Anak Pawang Laut Diraja. 

Alang Jermal adalah laki-laki perkasa, memiliki jermal - jermal yaitu tempat penangkapan & penampungan ikan di tengah laut di Selat Malaka. Ia piawai berpencak silat Melayu asli, lanun di laut pun gentar kepadanya. Apatah lagi, Ayahnya adalah Pawang Laut, pemimpin upacara jamu laut dalam adat suku Melayu, yang mampu berkawan dengan Mambang Laut di lapan penjuru mata angin.

 

Suatu kali, Alang Jermal mengajak Putera Bandar Sakti untuk bermain & menengok jermal milik Alang Jermal di tengah laut. 

Berkatalah Putera Bandar Sakti kepada sahabatnya Alang Jermal, “Daku kempunan teringin memakan ikan paling enak di dunia tetapi yang belum pernah diketahui orang”.

 

Mendengar permintaan sahabatnya itu Alang Jermal pun berkata, “Akan patik cari sekarang juga. Patik akan menyelam mencari ikan paling enak di dunia itu”,  lalu terjunlah ia  ke dalam laut. 

 

Tatkala  Alang  sedang asyik mencari ikan tersebut tanpa disadari ia telah memasuki Tasik Tali Arus Pauh Sijenggi, ini adalah tempat bersemayam Mambang Laut - Penghuni Ghaib di lautan menurut kepercayaan Melayu dahulu.

 

Kehadiran Alang Jermal diketahui jin laut itu, Mambang murka karena kelancangan anak manusia memasuki daerahnya.

Pengawal Mambang Laut yang juga dari golongan jin laut pun mengejar, Alang ingin dibunuh.

Seketika Alang Jermal teringat petuah ayahnya yang seorang pawang laut itu, ada jampi yang dibacakan untuk 8 penjuru mata angin & 7 petala langit,  setelah itu peganglah bulu tengkuk mambang laut, maka ia akan lemah. 

 

Sewaktu Alang Jermal memegang bulu tengkuknya, tiba-tiba Mambang Laut berubah menjadi orang tua yang sudah uzur. Orang tua itupun terkesan bersahabat, bahkan Alang Jermal menyempatkan menuntut ilmu kepada Mambang Laut itu. 

Alang menuntut dua ilmu, yaitu ilmu agar dapat bernafas di dalam air, serta menuntut ilmu kekebalan & kekuatan.

 

Mambang Laut juga membagi tahu, dimana keberadaan ikan yang paling lezat di dunia, ikan kahyangan namanya, namun berada di sebuah gua di dasar laut.

Cuma gua itu dijaga oleh seorang Ratu Bidadari Laut.  

Pergilah Alang Jermal bersama Mambang Laut ke gua itu. 

Mambang Laut menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada Ratu Bidadari Laut. Ratu Bidadari Laut memenuhi permintaan mereka tetapi dengan syarat Alang Jermal harus tinggal di gua itu selama dua kali musim ikan termenung (ikan gembung).  

Sementara itu, Putera Bandar Sakti yang menanti di jermal, karena terlalu lama menunggu, maka baliklah ia ke Istana Kota Teluk Belanga di tepi Sungai Petani.

Putera Bandar Sakti melaporkan kepada Ayahandanya, bahwa Alang Jermal hingga tengah malam tiada kunjung balik dari dasar laut. Kabar ini sampai juga kepada Tuan Puteri Merak Jingga.

 

Rungsing lah hati Tuan ku Puteri,

Sebab telah menaruh hati,

Alang Jermal pergi belum kembali,

Tuan Puteri Merak Jingga ternanti-nanti”.

 

“Airmata menitik tiada tertahan,

Meratap cinta aduhai tuan,

Dada terdengik macam ditekan,

Rasa ingin tenggelam dalam lautan”.

 

Pencarian terhadap Alang Jermal pun dihentikan. Maka Alang Jermal dinyatakan hilang tak dapat dicari. Tuan Puteri Merak Jingga jatuh gering, ia sakit memikirkan pujaan hati.

 

Sakitnya Puteri Merak Jingga membuat resah hati Raja Tuah Sakti.

Tak sedikit Tabib, Dukun, & Orang Pintar sudah mengobati, namun belum juga sembuh sediakala.

Dengan rasa sedih sebab putri sitampuk hati belum kunjung sembuh, Raja Tuah Sakti mengumumkan di muka Sidang Kerajaan bahwa barang siapa yang berhasil mengobati penyakit Tuan Puteri Merak Jingga  hingga sembuh, akan dikawinkan dengan Tuan Puteri.  

Datuk Tapa pun bersiasat bahwa ia mampu mengobati bersama seseorang bernama Wan Tanjong. 

“Ampun patik beribu ampun Tuanku,

Sembah patik harap diampun.

Patik sanggup & mampu mengubati Tuan Puteri Merak Jingga dari gering yang teruk ini. 

Tuan Puteri terserang beberapa penyakit yaitu Pukau Jembalang, Sapu Ta’un, Sapu Hawa, Lesap Nyawa, dan beberapa lainnya.

Hanya patik yang boleh menyembuhkannya.

Namun patik tak kuasa seorang diri, patik harus bersama seorang bernama Wan Tanjong.

Tetapi Ampun Tuanku, patik pun memohon meminta imbalan”, kata Datuk Tapa kepada Raja Tuah Sakti.

 

“Apa imbalan yang engkau mau, Datuk?”, sahut Raja. 

“Ampun Patik, Tuanku. 

Apabila Tuan Puteri sembuh dari gering yang teruk ini, maka Wan Tanjong dinikahkan kepada Tuan Puteri, 

tentu patik tiada mendapat bahagian.

Karenanya, patik meminta imbalan berupa kedudukan sebagai raja di kerajaan ini”, ujar Datuk Tapa tanpa memikirkan adabnya. 

Dengan arif lagi bijaksana, Raja pun menjawab,

“Baiklah Datuk Tapa, jika Puteri beta sanggup engkau sembuhkan, maka beta akan menyerahkan kedudukan beta sebagai raja kepada engkau”.

Maka masuklah Datuk Tapa & Wan Tanjong ke bilik peraduan Tuan Puteri Merak Jingga untuk membuat prosesi pengobatan dengan membawa berbagai bahan pengobatan dari berbagai anasir yang konon akan berlangsung satu purnama lamanya.

 

Bersamaan itu pula, Alang Jermal telah habis waktu perjanjiannya di gua dasar laut itu. Ia segera menuju Istana Kota Teluk Belanga untuk mempersembahkan ikan kahyangan yang terlezat kepada sahabatnya. 

 

Namun ia mendapat kabar dari orang kampung, bahwa Tuan Puteri Merak Jingga dalam keadaan sakit. Sejujurnya, ia juga sangat menaruh hati nan dalam kepada Puteri Merak Jingga, cuma ia harus sadar diri.

 

Yang paling membuat ia marah, ia mendengar persyaratan Datuk Tapa yang tidak tahu diri dan melanggar adat nan kanun.

 

Sesampai di istana, Alang Jermal disambut seisi istana. Putera Bandar Sakti pun memeluk kawannya itu. 

 

Mak Inang Pengasuh pun bergegas ke bilik peraduan puteri, membisikkan ke telinga Tuan Puteri Merak Jingga bahwa Alang Jermal sudah kembali, dan saat ini berada di istana.

 

Aduhai Datuk Keramat, tiba-tiba Tuan Puteri Merak Jingga tersadar dan bangun dari peraduan. Ia tampak tidak pernah sakit. Dengan senyum bahagia, ia berlari keluar menemui Alang Jermal.

 

Datuk Tapa dan Wan Tanjong yang masih mempersiapkan bahan perobatan, merasa ketakutan. Apa lagi ia sudah berkata, hanya dia yang bisa mengobati penyakit Tuan Puteri. 

 

Datuk Tapa & Wan Tanjong akhirnya lari dari istana, keluar dari ibu kota itu, bersembunyi di Rimba Pukau. Rimba itu terletak di Pulau Berhala di selat malaka.

 

Akhirnya rasa saling cinta antara Tuan Puteri Merak Jingga & Alang Jermal pun tersampaikan. Setidaknya mereka sudah sama tahu, bahwa mereka saling bertaut kasih yang dalam.

 

Di satu sisi, semangat mencari ilmu Alang Jermal rasanya tak sudah-sudah, ia pun ingin menuntut ilmu kepada Ratu Bidadari Laut.

Ia pun ‘mengurak sila’ untuk pergi ke dasar laut, menuntut ilmu disana.

 

.........

 

Kecantikan Puteri Merak Jingga memang bukan cuma pada parasnya, kelembutan hati, rendah hati, hingga terkabar sampai kemana-mana. Terpancar bak namanya merak mengembang berona jingga.

 

Hingga Negeri Cina namanya pun disebut. Terbukti Maharaja Cina teringin mempersunting Puteri Merak Jingga.

 

“Cahaya terpancar hingga ke Negeri Cina,

Tuan Puteri masyur elok namanya,

Membawa buah tangan emas dalam cerana,

Ramai bangsawan ingin mempersuntingnya”.

 

Memang konon cahaya Tuan Puteri Merak Jingga memancarkan ke negeri Tiongkok. Maharaja Cina tercengang dan hatinya tergugah ketika melihat cahaya yang bersinar mersing itu. 

 

Ia pun mengerahkan semua tentara kerajaan untuk mencari dari mana asalnya cahaya tersebut. Beberapa hari kemudian perwiranya melaporkan bahwa cahaya itu berasal dari negeri Melayu, dari wajah seorang putri yang sangat cantik. 

 

Mendengar itu timbul hasrat dihatinya untuk melamar putri yang cantik itu. lalu bertolaklah mereka ke arah selatan. Sewaktu mereka berada di Selat Karimata, cahaya itu kelihatan menyinari dari arah barat sehingga armada itu segera menukar arah haluannya ke tempat asal cahaya itu. 

 

Tetapi tiba-tiba awan tebal menutupi laut. Untuk menghindari bahaya taufan armada Cina berlabuh di Pulau Berhala. Di pulau inilah  Datuk Tapa dan Wan Tanjong bersembunyi. 

 

Pucuk dicinta ulam pun tiba, bagi Datuk Tapa & Wan Tanjong. 

Mereka pun menjilat pada rombongan Cina itu.

Datuk Tapa mengatakan kepada rombongan Maharaja Cina itu, bahwa ia sanggup menyerahkan Tuan Puteri Merak Jingga. Karena ia banyak mengetahui seluk beluk Istana Kota Teluk Belanga di tepi Sungai Deli yang dahulu disebut Sungai Petani tersebut.

 

Datuk Tapa membuat syarat, agar Maharaja Cina mengangkatnya menjadi raja yang sah menggantikan Raja Tuah Sakti. 

 

Dengan sukacita Rombongan Cina  menyutujui usulnya tersebut, dengan terlebih dahulu Datuk Tapa dan Wan Tanjong keluar dari resam Melayu, dan menjadi Cina. Caranya, keduanya dilantik sebagai bangsawan Cina setingkat Panglima. Mau lah keduanya.

 

Datuk Tapa & Wan Tanjong yang sudah menjadi panglima cina tersebut, akhirnya mempimpin rombongan Cina untuk menculik Tuan Puteri Merak Jingga yang akan diserahkan pada Maharaja.

 

Raja Tuah Sakti mendapat laporan bahwa Datuk Tapa & Wan Tanjong sudah berkhianat pada puaknya.

Seluruh Rakyat ibu kota kerajaan diungsikan ke tempat tersembunyi, seluruh harta benda & sebagainya diungsikan pula, lalu Raja Tuah Sakti memerintahkan agar istana & ibu kota dibakar.

 

Maharaja Cina mendapat laporan bahwa    istana kota teluk belanga dan ibu kota kerajaan di tepi sungai petani itu telah dibakar. 

Ia sudah memastikan, bahwa ini adalah ulah Datuk Tapa. Maharaja berfikir, untuk  mendapatkan keinginannya, Datuk Tapa menghalalkan segala cara dengan membakar kerajaan itu.

 

Akhirnya Maharaja Cina memerintahkan rombongan, agar membunuh Datuk Tapa dan Wan Tanjong.

 

Setelah itu, Ibu kota kerajaan pun dibenahi kembali. Raja & Putera Puterinya kembali berada di istana yang baru.

 

Hasrat Maharaja Cina, untuk mempersunting Puteri Merak Jingga rupanya belum sirna.

 

Maka Maharaja mengupah seorang penduduk tempatan menghadap Raja Tuah Sakti  untuk melamar Putri Merak Jinga.

Penduduk ini pun memakai tata cara adat Melayu, agar Raja Tuah Sakti menerima. Karena dengan pertimbangan, jika satu adat resam Melayu, raja pasti akan mau menerimanya.

 

Tapi rupanya, raja sudah mengetahui siasat ini, Raja Tuah Sakti Nan Perkasa ini pun menolak lamaran itu.

 

Mendengar bahwa lamarannya ditolak, maka Maharaja menjadi marah. 

Segera ia langsung memimpin penyerangan bersama  bala tentaranya. 

 

Bandar Sakti menghambat musuh yang berusaha memasuki tempat persembunyian Tuan Puteri Merak Jingga, tetapi akhirnya Tuan Putera Bandar Sakti gugur dalam pertempuran itu. 

 

Dalam penyerangan itu, akhirnya Raja Tuah Sakti mampu ditawan. 

Dengan mudah Puteri Merak Jingga ditemukan. 

Pasukan Maharaja Cina pun memasukkan dalam keranda kaca & akan membawa puteri itu ke Negeri Cina. Rombongan Maharaja pun berhasil sampai ke bibir pantai. 

Keranda kaca yang berisi Puteri Merak Jingga dinaikkan ke kapal.

 

Pada waktu yang bersamaan Alang Jermal sedang dalam perjalanan pulang dengan membawa buah tangan berupa ikan kahyangan untuk Tuan Puteri Merak Jingga. 

 

Ia  sangat terkejut manakala melihat istana telah berubah, penduduk lengang macam disambar garuda.

Ia mencari tahu, dimana Tuan Puteri. 

 

Akhirnya Alang Jermal menuju laut menyusul rombongan Maharaja Cina yang membawa Tuan Puteri.

Saat itu, tiba-tiba muncul Maharaja Cina dengan pedang terhunus. Alang Jermal dengan tenaga yang kuat luar biasa berhasil melempar Maharaja  dabuh tibun luruh ke laut. 

 

Ilmu Alang Jermal yang banyak belajar di laut, membuatnya lebih sanggup menghindar dari serangan seluruh bala tentara Maharaja Cina yang juga kuat.

 

Tuan Puteri yang masih di dalam keranda kaca pun dibawanya ke dasar laut, ke Tasik Tali Arus Pauh Sijenggi.

Sesampainya disana, Alang Jermal meminta kepada Mambang Laut, untuk bantunya memusnahkan musuhnya itu. 

 

Seketika itu juga, turunlah badai diiringi petir dan gelombang laut yang besar. Melihat kejadian itu Maharaja  sangat marah dan berseru dengan hebatnya “Wahai Dewa Dewa Di Langit, jadikanlah aku seekor naga yang paling ganas”. 

 

Mendengar suara yang menggelegar itu tiba-tiba Tuan Puteri Merak Jingga teringat kepada Ayahandanya. 

Ia meminta agar Ayahandanya ditemukan sampai dapat. 

 

Alang Jermal berhasil menjumpai Ayahanda Tuan Puteri Merak Jingga, dan melapaskannya dari tawanan.

 

Sekembalinya ia ke laut,  ternyata Puteri Merak Jingga sudah ditelan naga jelmaan Maharaja Cina. 

 

Dengan keilmuannya, Ia mampu melepaskan Tuan Puteri dari dalam keranda kaca yang berada di  dalam perut naga itu, tanpa sepengetahuan naga itu.

 

Beberapa pekan kemudian sampailah Naga Jelmaan Maharaja ke negerinya lalu dimuntahkannya keranca kaca itu.

Tapi betapa murkanya ia, keranda kaca itu kosong tanpa Tuan Puteri Merak Jingga.

 

Maharaja yang menjelma berupa naga itu merasa sangat kesal. Dihempas-hempaskannya dirinya, bahkan keranda kaca itu dikunyahnya hingga hancur berkecai.

 

.....

 

Pendek cerita, Akhirnya Alang Jermal menyelamatkan Tuan Puteri dari laut dengan berbagai rintangan.

Guru-Guru Alang Jermal berupa Mambang Laut & Ratu Bidadari Laut pun turut membantu.

 

Baliklah mereka ke ibu kota kerajaan.

Rakyat menyambut mereka dengan suka cita. Tetabuhan dibunyikan, bunga rampai dan bertih ditabur tanda kebesaran.

 

Tapi ternyata Ayahanda Tuan Puteri telah mangkat. Terkabar, saat Maharaja Cina menjelma menjadi naga, dan Alang Jermal melepaskan Ayahanda Tuan Puteri dari tawanan, Raja Tuah Sakti menyusul ke laut. Ia ingin menyelamatkan putrinya dan turut menyerang naga jelmaan. Tapi takdir berkata lain, Raja Tuah Sakti gugur dalam pertarungan itu.

 

.....

 

Selanjutnya  Alang Jermal  menikah dengan Tuan Puteri Merak Jingga, dengan upacara adat Melayu berhari-hari lamanya.

 

Karena ahli waris raja cuma Puteri Merak Jingga, maka dinobatkanlah Tuan Puteri Merak Jingga sebagai Ratu, dan Alang Jermal mendampingi dengan gelar Pangeran.

 

Suatu hari berziarahlah mereka ke kubur Almarhum Raja Tuah Sakti. 

Masa itu, Makam Diraja Melayu diberi hiasan wewangian seperti dupa dan setanggi, bunga taburan, tempat meletakkan rangkaian bunga, serta tempat berisi air.

 

Ketiga Tuan Puteri Merak Jingga ingin mengambil air untuk disiramkan ke pusara Ayahandanya, terlihat olehnya seeokor ikan sejenis ikan kahyangan di dalam tempat air itu. Yang membuat ia terkejut, ikan itu berkepala mirip Pangeran Alang Jermal.

Sekembali dari kubur, Tuan Puteri pun demam. 

 

Ternyata itu petanda yang diberikan dari Sang Empunya Maha. Tuan Puteri pun hamil.

 

Rianglah hati seisi negeri. Apalagi Tuan Puteri melahirkan Puteri Kembar Tujuh, yang cantik moleknya juga tiada tara.* (m muhar - omtatok)

Selasa, 18 Juni 2019

Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan

Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan

 

oleh: Muhammad Muhar - Omtatok

 

Stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise. Menurut Soerjono Soekanto, stratifikasi sosial merupakan pembedaan posisi seseorang ataupun kelompok yang pembedaaan kedudukannya secara vertikal. Sedangkan Bruce J. Cohen, menyebut stratifikasi sosial merupakan suatu sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki, kemudian menempatkan seseorang tersebut ke dalam suatu kelas sosial yang sesuai dengan kualitasnya.

Gelar Kebangsawanan di masanya merupakan stratifikasi sosial, yang saat itu bangsawan bertugas sebagai penegak keadilan serta pemimpin masyarakat. Pada Masyarakat Melayu di pesisir timur Sumatera Utara atau masa itu disebut Sumatera Timur, juga memiliki Gelar Kebangsawanan dan Gelar Penyebutan dalam pranata Kemelayuan masa dulu, diantaranya:

A. Tuanku

 

Tuanku bukanlah gelar gelaran yang mulia digunakan apabila bercakap dengan Sultan atau setaranya. Tuanku dipakai sebagai kata ganti nama diri kedua bagi Sultan.

 

"Asah kapak tajam beliung,

Tebang mari kayu berduri;

Tuanku umpama kemuncak payung,

Patik di bawah berteduh diri".

 

B. TENGKU

 

Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam masyarakat adat Melayu.

 

Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak mereka.

 

Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau, Malaysia, Pattani, Singapura; dan lainnya.

Turunan Merah atau Raja di Sumatera Timur juga bisa disebut Tengku.

 

Sebagian zuriat Tengku, tidak meletakkan kata Tengku di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya disebut orang lain kepada dirinya, misalnya Pujangga asal Langkat - Tengku Amir Hamzah, beliau menulis namanya dengan Amir Hamzah saja, namun orang memanggilnya dengan sebutan Tengku Amir Hamzah atau Ku Busu. Dr Tengku Mansoer menulis namanya juga dengan Dr Mansoer, tapi orang lain menyebutnya dengan Dr Tengku Mansoer.

 

B1. MERAH 

 

Gelar ‘Marah’, Merah atau 'Morah' adalah gelar kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam.  Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.

 

Sebut saja contoh, Marah Silu yang merupakan pendiri kerajaan di Samudera yang disebut Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di kota Padang – Sumatera Barat,  pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat Minangkabau. 

Di Tebingtinggi sebelum popular penyebutan kata Raja dan selanjutnya Tengku, gelar yang dipakai adalah Marah (baca: Morah). Selanjutnya kini gelar itu tidak terpakai lagi, tetapi berubah menjadi Tengku.

 

B2. RAJA

 

Gelar ‘Raja’ juga popular di banyak tempat di Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini, bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota Pinang,  Tebingtinggi dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan fungsi yang beragam lagi.

Di luar Sumatera Timur, ada juga Melayu yang menggunakan gelar Raden dan lainnya, namun gelar Raden ini belum pernah tersandang bagi kaum bangsawan di Sumatera Timur.

 

C. DATUK

 

“Datuk” jika disamakan dengan  bahasa Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan. 

 

Gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar sebagai  kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku. Di wilayah Batubara, rajanya justru bergelar Datuk, karena Batubara adalah Datuk di bawah Kesultanan Siak.

Namun ada juga beberapa wilayah yang memakai gelar Tengku bagi turunan Rajanya yang dimasukkan Belanda dulu ke Batubara, semisal wilayah Tanjung Kasau, Inderapura, dan sekitar itu.

 

Di Deli ada Datuk Empat Suku. Sejak era Sultan Azmy Perkasa Alam, untuk membedakan dengan Datuk-Datuk di luar Datuk Empat Suku, diberi penanda  yang penulisannya menjadi Datuq.

 

Ada pula Datuk sebagai Orang Besar yang diangkat menurut kehendak Sultan atau Raja, berdasarkan titah pengangkatan resmi untuk zuriat tertentu. 

 

Di Sumatera Timur, orang-orang Cina pendatang yang menyembah arwah, akan menyiapkan bangunan kecil yang disebut Rumah Datuk untuk menghormati arwah Datuk Datuk Melayu tempatan.

 

D. ORANG KAYA (OK)

 

“Orang Kaya" dibaca Orangkaye atau Orangkayo sering disingkat OK, merupakan sebutan bagi anak lelaki turunan Datuk yang tidak menjabat Datuk. Sebutan ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang berpengaruh, baik secara materi maupun marwah dalam lingkungan istana.

 

E. WAN

 

“Wan” adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun ber-ayah-kan bergelar di bawah itu namun tetap berresam Melayu, juga boleh menyandang gelaran ini.  Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang Pahang). Di Kerajaan Padang di Tebingtinggi, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat bangsawan asal Negeri Pahang.

 

Anak perempuan dari beberapa Datuk Empat Suku di Deli ada juga bergelar ini.

Datuk di wilayah Sinembah (baik di Deli maupun di Serdang) menggunakan gelar Wan di depan nama - lalu meletakkan kata Baros di belakang nama.

 

F. AJA

 

“Aja” adalah gelar kebangsawanan terbatas dipergunakan, semisal di wilayah Sunggal. Ia diperuntukkan untuk turunan Datuk dan boleh disandang bagi pria dan wanita.

 

Sebutan Aja juga dipergunakan sebagian kecil zuriat Negeri Padang Tebingtinggi sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’ (Ayahanda) atau Ende’ (Ibunda/Bonda).

 

G. DATUK MUDO (DTM)

 

Ini adalah sebutan terbatas di Tanjungbalai Kesultanan Asahan, untuk gelaran ‘bahu’ atau pembesar rendah pendamping Sultan di istana.

 

H. MEGAT

 

Adalah gelar bagi anak turunan dari wanita tergolong bangsawan yang menikah dengan orang di luar itu.

Megat juga ditemukan di Sumatera Timur untuk penyebutan pada golongan berjasa pada kerajaan, misalnya sosok Megat Jiwa yang kuburnya ada di Binjai.

 

I. INCIK

 

“Incik” atau disingkat “Cik” adalah sebutan hormat bagi orang bukan bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.

 

Sebutan ini adalah tanda hormat dan membesarkan kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan. Bisa digunakan untuk laki laki ataupun perempuan.

 

Walau kata Incik adalah tanda hormat, namun seorang bangsawan semisal Tengku, tidak boleh disapa dengan sebutan Incik atau Cik, karena ini menjadi makna teramat sangat merendahkan lawan bicara.

 

J. TUAN

 

"Tuan" adalah sebutan bukan gelar bangsawan, kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan, namun ahli dan khusuk di bidangnya. Misalnya Tuan Guru, Tuan Haji dll. Di Simalungun, gelar Tuan justru dipakai untuk bangsawan tinggi.

 

 

Seorang bangsawan Melayu bergelar semisal Tengku, Datuk dll, walaupun ia ahli di bidangnya dan khusuk, tetap tidak boleh disapa dengan Tuan dalam kaidah adat, tetap disebut Tengku, Datuk, dsb, karena masing-masing telah didudukkan pada tempatnya menurut adat nan kanun zaman berzaman.*(M Muhar – Omtatok)