Jejak Persia Nusantara


"Persia" merujuk pada sebuah wilayah kuno yang sekarang dikenal sebagai Iran, dan juga pada budaya, bahasa, dan penduduk yang terkait dengan wilayah tersebut. Secara historis, Persia adalah nama yang digunakan oleh bangsa lain, terutama bangsa Yunani, untuk merujuk pada Kekaisaran Akhemeniyah dan wilayah yang sekarang disebut Iran dan sekitarnya. Secara geografis, Persia tidak hanya pada wilayah dataran tinggi Iran di Asia Barat daya yang sekarang sebagian besar merupakan negara Iran. Istilah ini juga bisa merujuk pada wilayah yang lebih luas yang dikenal sebagai Persia Raya atau Iran Raya, yang mencakup pengaruh budaya Iran di luar batas negara Iran saat ini, termasuk sebagian Irak, Kaukasus, Turki, dan Pakistan.  

Istilah "Persia" juga digunakan untuk merujuk pada bahasa Persia, sebuah bahasa Indo-Eropa yang masih digunakan hingga saat ini, serta pada budaya dan warisan yang kaya terkait dengan wilayah tersebut. 

Perang antara Persia dan Rum (Romawi Timur/Bizantium) adalah serangkaian konflik yang berlangsung selama berabad-abad. Konflik ini dimulai pada masa Republik Romawi dan berlanjut hingga Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Sasaniyah. Perang ini memiliki dampak besar pada kedua kekaisaran, menyebabkan kelelahan sumber daya dan akhirnya membuat mereka rentan terhadap invasi Muslim awal. Perang ini melibatkan dua peradaban besar, yaitu Romawi (yang kemudian menjadi Bizantium) dan Persia (yang kemudian menjadi Sasaniyah), disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perebutan wilayah, pengaruh, dan perbedaan ideologi. 

Persia Dan Nusantara

Pedagang dari Persia, termasuk dari kota-kota pelabuhan seperti Siraf, Musqat, dan lainnya, berdagang di Kepulauan Melayu yang selanjutnya disebut Nusantara sejak lama. Mereka membawa berbagai komoditas dan juga menyebarkan ajaran Islam. Teori Persia menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pedagang Persia dan Arab yang berdagang di Selat Malaka, yang merupakan pusat perdagangan penting pada saat itu. Hubungan ini meninggalkan jejak budaya yang signifikan, seperti dalam bahasa, seni, arsitektur, dan tradisi keagamaan. 

Terbukti beberapa kata dalam bahasa Melayu (bahasa Indonesia ?), terutama yang berkaitan dengan pelabuhan, perdagangan, dan beberapa istilah agama, berasal dari bahasa Persia. Beberapa contoh kosakata Persia (Farsi) yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia antara lain: anggur, cadar, dewan, kismis, pahlawan, pasar, piala, nakhoda, takhta, sihir, syahbandar, rubah, jawab, kenduri, istirahat, istana, akhir, medan, nasihat, soal, badan, siuman, langgar, kisah, gandum, domba, ustad, zirah, bandar, firdaus, dan acar. 

Pengaruh sastra juga tidak bisa diabaikan, seperti muncul karya-karya terjemahan sastra Persia ke dalam sastra Melayu klasik, seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bulan Terbelah, dan Hikayat Amir al-Mukminin Hasan dan Husain.  Pengaruh Persia juga terlihat dalam gaya penulisan dan tema-tema yang diangkat dalam sastra Melayu klasik. 

Setidaknya pada abad ke 13 ditemukan bukti-buktinya meliputi upacara keagamaan, bahasa, seni, dan corak kebudayaan yang berkembang di Sumatera. Peringatan Asyura yang diperingati di Sumatera, seperti upacara Tabuik di Bengkulu dan Sumatera Barat, memiliki akar dari tradisi Persia yang memperingati cucu Nabi Muhammad, Husain bin Ali. Seni kaligrafi pada batu nisan di Sumatera, terutama di makam-makam kuno, menunjukkan pengaruh Persia, dengan ukiran puisi Persia yang mirip dengan yang ditemukan di makam-makam di Persia. Bangunan dan tempat di Samudra Pasai juga menunjukkan pengaruh Persia, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Baththuthah dalam catatannya.

Jawani al-Kurdi adalah seorang penguasa Persia yang hidup sekitar tahun 301 H/913 M (atau 931 M menurut beberapa sumber). Keluarganya, yang dikenal sebagai keluarga Jawani, kemudian datang dan menetap di Pasai, Sumatera. Keluarga ini dikaitkan dengan penyusunan aksara Jawi, yang merupakan aksara Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu, dan dinamai menurut nama Jawani. 

Ada pula Ruknuddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami, seorang penguasa dinasti Buwaihi yang memerintah pada abad ke-10 M. Ia dikenal karena perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Sumatera Timur. Tepatnya, pada tahun 357 H (969 M), keluarganya datang dan menetap di Gasip, yang kemudian hari menjadi Negeri Siak. 

Adalah "Sabankarah" atau "Sabangkarah" mengacu pada salah satu kelompok diaspora Persia yang bermigrasi ke Nusantara (Kepulauan Melayu), khususnya di sekitar Sumatera Timur. Mereka juga dikenal sebagai "Puak Rumi" atau "Suku Rumi". Migrasi mereka terjadi setelah Perang Syiraz di Persia pada tahun 823 M. "Sabankarah" atau "Puak Rumi" adalah sebutan lain untuk kelompok ini, menunjukkan kemungkinan asal-usul mereka dari wilayah Rum (Bizantium/Turki) yang merupakan bagian dari kekaisaran Persia pada masa itu. Penulis-penulis asing pada abad ke-9 dan ke-10 M, menyebut pulau Sumatera dengan nama Rumi, al- Rumi, Lambri, dan Lamuri. Turunan  "Sabankarah" atau "Puak Rumi" yang di kenal di Tebingtinggi Sumatera Timur dan melanjutkan perjalanannya hingga Marga Madang Suku I di Ogan Komering Ulu Timur kini daerah Sumatera Selatan, dan ia wafat disana.

Adalah makam Syekh Mahmud di Barus Sumatera Utara, memiliki inskripsi dalam bahasa Persia pada nisan bagian kaki. Penggalan syair tersebut berbunyi, "Semua orang akan kembali, tidak ada yang tersisa dari manusia selain sisi kemanusiaan", yang mencerminkan unsur sufistik yang kuat. Inskripsi tersebut sama dengan Syahnamah yang berarti Pustaka Raja-Raja, sebuah wiracarita karya pujangga Persia, Firdausi, yang mulai ditulis sekitar tahun 977 dan rampung pada tahun 1010 Masehi. Selain itu, beberapa nisan di Barus juga memiliki inskripsi dalam bahasa Arab dengan tata bahasa Persia. 



Komentar

DediKurniawan mengatakan…
saya nak coba buat lah.....