Tulisan ini berisi
informasi tentang pertumbuhan 26 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau,
baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut
dapat dilihat terjadinya interaksi antarkerajaan, tentang nilai-nilai
budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan
untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan
yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.
Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang
lepas dari Residensi Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit,
namun Kerajaan Melayu yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah
Karesidenan Sumatera Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi:
·
Kerajaan Siak,
·
Pelalawan,
·
Gunung Sahilan,
·
Kepenuhan,
·
Kunto Darussalam,
·
Rokan IV Koto,
·
Kampar Kiri,
·
Rambah,
·
Sengingi,
·
Logas, dan
·
Tambusai.
Wilayah Kerajaan Melayu
mulai dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari
wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau.
Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera
Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun
1940.
Pada tahun 1915
kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi
wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan ibukota Medan.
Empat Kerajaan Melayu
di Temiang, yaitu:
·
Kerajaan Bendahara,
·
Kerajaan Karang,
·
Kerajaan Sutan Muda, dan
·
Kerajaan Muda
Empat Kerajaan Melayu
di Temiang itu dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah
Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.
Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: 1) Deli;
2) Asahan;
3) Siak;
4) Serdang;
5) Langkat;
6) Kualuh;
7) Pelalawan.
Sedang
kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah:
8) Billah;
9) Gunung Sahilan;
l0) Kedatukan Indrapura
(Batubara);
11) Kepenuhan;
12) Kunto Darussalam;
13) Kotapinang;
14) IV Kota Rokan Kiri;
15) Kedatukan Lima
puluh (Batubara);
16) Logas;
17) Panai;
18) Kedatukan Pesisir
(Batubara);
19) Rambah;
20) Singingi;
21) Kedatukan Suku Dua
(Batubara);
22) Tambusai;
23) Kedatukan Tanah
Datar (Batubara).
24) Temiang;
25) Padang; serta
26) Bedagai.
Kerajaan-Kerajaan
Melayu Tua
Kurun waktu berdiamnya orang-orang Melayu di wilayah pesisir bagian timur
Sumatera sulit untuk dipastikan. Kita hanya mendengar bahwa pada masa lalu
seorang raja dari India Selatan yang bernama Rajendra Cola Dewa I pada tahun
1011 M menyerang Sriwijaya dan negeri-negeri lainnya di Semenanjung Tanah
Melayu dan di Sumatera. Penyerangan tokoh “Raja Sunan” ini diungkapkan dalam
Sejarah Melayu (cerita ke-1). Kerajaan-kerajaan Melayu yang termasuk tua adalah
sebagai berikut.
a.
Panai
Dalam suatu inskripsi di Tanjore terdapat daftar nama-nama negeri yang
ditaklukkan oleh “Raja Sunan”, di antaranya adalah Kerajaan Panai (with water
in its bathing ghats, ‘lapang yang cukup diairi sungai-sungai‘). Pusat Kerajaan
Panai purba terletak di antara aliran Sungai Barumun dan Sungai Panai. Di
wilayah tersebut terdapat peninggalan candi Hindu aliran Tantrik Bhainawa.
Candi dibangun pada masa setelah penyerangan Cola (1025 M) sampai dengan masa
pendudukan Majapahit (1365 M), yang kemudian merebut Panai (lihat
Negarakertagama).
Meskipun
biara-biara itu tidak meninggalkan nama raja-raja dan peristiwa sejarah, tetapi
inskripsi yang ditemukan memakai tulisan Melayu kuno, seperti yang terdapat di
dinding Candi Sitopayan, yang bertulisan “berbuat biyna” dan inskripsi Gunung
Tua (1024 M) yang bertulisan “Juru Pandai suryyaberbwat bhatara lokanata”.
Inskripsi ini menunjukkan bahwa penguasa yang memerintahkan pembuatan candi
adalah orang Melayu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Schnitger dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatera.
b. Haru
Kerajaan Melayu tua lainnya adalah Kerajaan Haru atau Aru. Menurut kisah dalam
Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan
oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan rombongan dari
Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudra Pasai,
pada pertengahan abad ke-13. Marco Polo sempat bertemu Raja Pasai yang terkenal
itu pada tahun 1292 M. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Haru
setidak-tidaknya sudah Islam sejak akhir abad ke-13 M (Sinar, 1981b: 29–31).
Kerajaan Haru meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu dari batas Temiang
sampai Sungai Rokan. Kerajaan ini sudah beberapa kali mengirim misi ke
Tiongkok. Yang pertama di tahun 1282 M, pada zaman pemerintahan Kubilai Khan
(Sinar, 1976). Hasil-hasil penggalian di Kotta Sina (Labuhan Deli) juga
membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang potensial untuk
berdagang dengan Cina (Krisnon dan Sinar, 1974). Kerajaan Haru juga pernah
ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu (1292). Dalam Pararaton
ditulis “Aru yang bermusuhan”. Akan tetapi setelah itu Haru pulih kembali dan
menjadi makmur, sebagaimana dicatat oleh orang Persia, Fadiunllan bin Abdul
Kadir Rashiduddin dalam bukunya Jamiul Tawarikh pada tahun 1310 M. Haru
kemudian ditaklukkan Majapahit (1365), seperti tertera dalam syair
Negarakertagama seloka 13: 1. Selain itu, Haru (Harw) juga ditaklukkan Panai
(Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru. Dalam laporan Tiongkok abad ke-5 juga
disebutkan bahwa Haru (kerajaan Islam) berkali-kali mengirim misi ke Cina (Ma
Huan, 1451: 7919). Laporan-laporan Cina dan laporan-laporan Portugis
menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Haru berada di sekitar Sungai Deli. Di sana
terdapat bendera Cina dan Medina (Medan), sebagaimana yang disebut oleh
Laksamana Turki Ali dalam Al Muhit (Ferrand, 1914: 42).
Pada abad ke-15 Haru sudah menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin
menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru
menduduki Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, seperti disebut dalam
Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru
setaraf dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya
“adinda”. Semua surat dari Haru yang datang ke Melaka harus disambut dengan
upacara kebesaran negara. Kebesaran Haru juga diakui oleh Portugis (Ferrand,
1914: 484–541). Portugis berusaha menjalin persahabatan dengan Haru agar terjadi
pertentangan dengan Pasai dan Melayu Melaka. Akan tetapi ketika bekas Sultan
Melaka (Sultan Mahmudsyah I) diserang oleh Portugis di pengungsiannya di
Bintan, Sultan Haru bersama Sultan Husin datang membantu Melaka. Oleh karena
itu, Sultan Haru dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Raja pada tahun
1520 M. Ribuan orang dari Johor dan Bintan berangkat mengiringi tuan putri
kesayangan Sultan Mahmudsyah itu pindah ke Haru. Hal ini memperkuat proses
Melayunisasi di Haru (Mills, 1925: 31–39). Kedatangan ratusan abdi Kraton
Melayu dari Bintan mempercepat proses Melayunisasi di Haru. Hubungan mesra
antara Haru dengan Imperium Melayu di Riau-Johor membawa malapetaka bagi kedua
kerajaan, karena Imperium Aceh yang muncul kemudian merasa tersinggung.
Dalam Sejarah Melayu (cerita ke-24) disebutkan bahwa pada periode 1477-1488 M.
Haru dipimpin oleh Maharaja diraja, Putra Sultak Sujak, “yang turun daripada
Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir”, atau mungkin saja kata
“Batak” sengaja dihilangkan untuk menghindarkan anggapan penghinaan karena nama
“Batak” menunjuk pada daerah pedalaman yang pada masa itu masih terbelakang dan
belum Islam. Dengan kalimat itu dimaksudkan supaya daerah yang terletak di
pesisir menjadi Melayu (masuk Melayu; masuk Islam). Adapun di antara nama
pembesar-pembesar Haru yang disebut Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman,
Raja Puruba, Raja Kembat. Di Hulu Deli ada daerah bernama Urung Serbayaman,
yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang dekat dengan Karo.
c. Siak
Nama Siak sudah tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah yang ditaklukkan
Majapahit pada tahun 1365 M. Pada mulanya Raja Siak mengaku sebagai keturunan
Nila Pahlawan, saudara Nila Utama, yaitu makhluk yang turun di Bukit Siguntang
Mahameru. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyursyah Akbar (1458–1477 M) di
Melaka, kerajaan Siak diperintah seorang raja yang masih beragama Hindu bernama
Maharaja Permaisura. Siak ditaklukkan oleh ekspedisi militer Melaka yang
dikepalai oleh Khoja Baba yang berasal dari India dan bergelar Ichtiar Muluk.
Putra Maharaja Permaisura yang bernama Megat Kudu diislamkan dan dinikahkan
dengan Raja Dewi, putri Raja Melaka, kemudian dinobatkan/ditabalkan sebagai
Sultan Siak bergelar Sultan Ibrahim. Dari pernikahan ini lahir putranya yang
bernama Abdullah dan bergelar Sultan Khoja Ahmadsyah. Sultan Ahmadsyah
menggantikan ayahnya sebagai Raja Siak. Raja Abdullah berputra tiga orang,
yaitu Raja Jamal, Biyazid, dan Raja Isap. Jamal dan Biyazid tinggal di Bintan.
Biyazid kemudian bergelar Gocah Pahlawan, yang merupakan gelar Laksamana Khoja
Bintan. Raja Isap kemudian bergelar Marhom Kasab dan menikah dengan Putri
Fatimah, anak Sultan Mansursyah atau cucu Raja Sulong bin Raja Mahmud (Ahmad),
yang merupakan cikal bakal dinasti Sultan Perak yang awalnya diangkat oleh
Aceh.
Pada saat Melaka diperintah Sultan Alauddin Riayatsyah I, Raja Siak ingin
melepaskan diri dari Melaka dengan cara menghukum mati seorang terpidana tanpa
meminta izin Melaka. Mendengar kejadian ini Sultan Melaka mengirim Laksamana
Hang Tuah yang kemudian menuding Bendahara Siak Tun Jana Pakibul di depan
majelis sambil berkata, “Tuanku, nampak-nampaknya di sekeliling Tuanku,
orang-orang tua yang tidak tahu adat, tidak ingat semua hukuman bunuh harus
minta izin Melaka dahulu”. Raja Siak lalu meminta maaf.
d. Rokan
Rokan merupakan kerajaan Melayu tua yang terletak di Sumatera Timur. Dalam
Sejarah Melayu disebutkan bahwa putra dan pengganti Sultan Maharaja
Muhammadsyah Melaka bernama Raja Ibrahim yang sejak kecil dipengaruhi oleh
nenek dari pihak ibu, yaitu Raja Rokan, sehingga ketika menjadi raja bergelar
Sultan Sri Parameswara Dewa Syah (1445–1450 M). Ketika ia masih kecil
pemerintahan dipangku oleh neneknya, Raja Rokan, yang konon bertindak sesuka
hatinya sehingga dibenci Melaka. Saudara sultan bernama Raja Kasim. Dengan
restu Bendahara, dia merebut tahta dan membunuh Sri Parameswara Dewa Syah dan
neneknya. Setelah itu Bendahara memproklamasikan dirinya menjadi Raja Melaka dan
bergelar Sultan Muzafansyah (1450–1458 M).
e. Kampar
Negeri lain di Sumatera Timur yang termasuk tua adalah Kampar. Kampar
ditaklukkan oleh Melaka di bawah pimpinan Tun Mutahir dan harus menerima
instruksi langsung dari Melaka. Kampar sangat strategis, karena merupakan jalur
lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu
diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah,
telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan
digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan
adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang
menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat,
negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
Sultan Abdullah Kampar kemudian menjadi menantu Sultan Mahmudsyah Melaka.
Walaupun menantu, dia tidak setia. Saat Portugis menyerang dan menguasai Melaka
pada tahun 1511 M dan mertuanya menjadi buronan Portugis, Sultan Abdullah malah
berbaikan dengan Portugis yang kemudian mengangkatnya sebagai Bendahara
orang-orang asing di Melaka.
Sultan Mahmudsyah yang saat itu bersemayam di Bintan mengirim armada yang
dikepalai menantunya yang lain, Raja Lingga, tetapi Kampar diselamatkan oleh
armada Portugis di bawah pimpinan Jorge Botelho, dan langsung mengungsikan
Abdullah ke Melaka. Kemudian Sultan Mahmudsyah menyebarkan kabar angin ke
Melaka, seakan-akan Abdullah secara rahasia mempersiapkan pemberontakan
terhadap Portugis. Mendengar berita ini orang Portugis curiga dan termakan
kabar tersebut, sehingga Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka.
Kejadian ini membuktikan ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil bagi
Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both seperti termuat dalam suratnya kepada
Sultan Tidore tahun 1612 (Verhoeff, 1645). Sultan Mahmudsyah dikejar-kejar
Portugis dari Bintan, sehingga ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) sampai
mangkatnya pada tahun 1528 M (Marhum Kampar).
3. Pertentangan Segi Tiga: Aceh, Portugis, Dan Imperium Melayu Riau-Johor
Jatuhnya Imperium Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berpangkal dari
kelemahan-kelemahan dalam negeri sendiri. Raja-raja Melaka yang menyerahkan
urusan perdagangan ke tangan orang-orang asing tetap menerapkan pajak yang
tinggi, sehingga pedagang-pedagang asing mendekati Portugis. Administrasi
pemerintahan raja yang lemah menimbulkan perebutan kekuasaan, padahal
persenjataan dan taktik perang yang dimiliki juga lemah. Tentara Portugis yang
kurang dari dua ribu orang dapat mengalahkan puluhan ribu laskar Melaka dan
merampas lebih dari dua ribu pucuk meriam. Dengan mangkatnya Raja Melaka
terakhir, Sultan Mahmudsyah Marhum Kampar, timbul situasi politik baru,
terutama pada masa pemerintahan Sultan Alauddinsyah (1537-1568). Di bagian
Utara juga timbul kekuatan baru, yaitu Aceh.
Sultan Aceh dengan bantuan ahli-ahli militer Turki dan India mulai menyerang
benteng Portugis di Melaka dan menyerang Haru. Menurut seorang warga Portugis,
Ferdinand Mendes, yang menuliskan pengalamannya dalam Perigrinaao (Cogan, 1892:
28-77), penyerangan Al Qahhar ke Haru terjadi pada bulan November 1539. Menurut
Mendes, Haru hanya dipertahankan oleh sebuah meriam besar yang dibeli di Panai
dari orang Portugis. Benteng Haru dikepung selama tujuh belas hari, tetapi
tidak dapat direbut. Akhirnya pasukan Aceh menyogok dengan uang emas, sehingga
pasukan yang bertahan lengah dan benteng dapat direbut Aceh. Sultan Haru tewas,
tetapi permaisurinya, Anchesin sempat lolos dan berlayar ke Melaka. Di Melaka
rombongannya disambut dengan hormat, tetapi Portugis tidak menjanjikan bantuan
apa-apa. Permaisuri Haru kemudian berangkat ke Bintan yang merupakan tempat
kedudukan Sultan Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II. Sultan Alauddin
Riayatsyah II merupakan putra dan pengganti Almarhum Sultan Mahmudsyah (Marhum
Kampar). Permaisuri Haru kemudian diperistri Sultan Alauddin dengan syarat Haru
dikembalikan. Sultan Alauddin kemudian membuat surat kepada Sultan Aceh Al
Qahhar yang menuntut agar Haru dikembalikan kepada Imperium Melayu, sebab
permaisuri Haru sudah menjadi istrinya.
Setelah menerima surat itu, Al Qahhar sangat murka. Ia kemudian mempersiapkan
armada dan pasukan yang kuat untuk menyerang Imperium Melayu Riau-Johor, tetapi
penyerangan itu didahului oleh balatentara Riau-Johor yang dipimpin oleh
Laksamana dan berhasil merebut Haru pada tahun 1540. Pada tahun 1564, Al Qahhar
membalas sakit hatinya dan merebut Johor Lama dalam penyerangan yang tiba-tiba.
Al Qahhar juga menghukum mati Sultan Alauddin Riayatsyah II yang kemudian
diberi gelar Marhum Syahid Mangkat Di Aceh. Sejak itu Aceh menempatkan
putra-putra Sultan Aceh menjadi sultan di Haru. Haru kemudian disebut Gori atau
Guri.
Pada masa pemerintahan Sultan Riayatsyah II (Saidi Mukammil) yang memerintah
Aceh pada tahun 1589-1604, Haru (Guri) memberontak kembali. Pemberontakan Haru
(Guri) kali ini dipimpin oleh seorang panglima yang diawasi Merah Silu. Dengan
mengumpulkan pemimpin rakyat di gunung, mereka bermusyawarah dan berpaling dari
Aceh, kemudian merajakan Sultan Riau-Johor sebagai Raja Haru (Guri).
Aceh beberapa kali mengirim gajah dan armada untuk menghancurkan pemberontakan
itu dan sekaligus menyerang Johor. Meskipun Batusawar dapat dikepung oleh Aceh,
tetapi di pihak Aceh terjadi banyak korban. Benteng tidak dapat direbut dan
pasukan Aceh kehabisan bahan makanan, sehingga Aceh terpaksa mundur kembali.
Haru berpaling ke Johor pada tahun 1599. Kejadian ini juga disebutkan oleh
seorang warga Inggris, John Davis, ketika berada di Aceh (Purchas, I: 123).
Pada akhir abad ke-16, nama Haru (Guri) hilang dan timbul nama Deli dengan
ibukota Deli Tua. Sementara itu, di Aceh naik seorang raja bernama Sultan
Iskandar Muda Mahkota Alam. Pada tahun 1612 dia menaklukkan Deli dengan pasukan
seratus ekor gajah perang dan dengan sistem lubang-lubang pertahanan. Dalam
Hikayat Aceh disebutkan kisah Sultan Alauddin Riayatsyah Saidi Mukammil yang
meramalkan tentang cucunya, Sultan Iskandar Muda. Sabda Syah Alam: “Cucuku
inilah bernama Muhammad Hanafiah, yang pada akhir zaman mengalahkan Deli dan
menangkap Merah Silu dan berhamba Raja Johor dan segala raja-raja Melayu dan
mengalahkan segala raja-raja yang tiada mau tunduk ke Aceh”. Dengan demikian
jelas bahwa Deli sama dengan Haru (Guri) yang memberontak Pasai pimpinan Merah
Silu. Sultan Iskandar Muda sangat bangga dapat menaklukkan Deli (bekas Haru)
yang sulit ditundukkan oleh raja-raja Aceh sebelumnya. Hal ini diungkapkan
dalam suratnya kepada King James dari Inggris (Shellebear, 1898: 125–127).
Ibukota Deli Tua berada di pinggir Sungai Petani yang merupakan peringgan wilayah
kultural Melayu dengan Karo. Di wilayah ini dikenal Hikayat Puteri Hijau yang
erat hubungannya dengan penyerangan Sultan Aceh Al Qahhar ke Haru pada tahun
1539. Dada Meuraxa dalam Sejarah
Kebudayaan Suku-Suku Di Sumatera Utara (1973), menuliskan bahwa di luar
kisah dongeng Puteri Hijau, cerita ini benar terjadi di Deli – Tua dalam
abad ke 15, yang dimaksud Puteri Hijau adalah istri Sultan Husin. Puteri
Hijau meminta bantuan Portugis dan Johor saat perang melawan Aceh.
“
Ratu yang amat masyhur itu dapat kembali mendirikan Deli-Tua atas bantuan Johor
1540, tapi tahun 1564 Deli-Tua kalah kembali di bawah daulat Aceh, sehingga
Puteri Hijau ditawan dibawa ke Aceh, tapi sampai di kuala Jambu Air Langsa
diduga timbul angin ribut, perahu-perahu yang membawa Puteri Hijau yang cantik
ini telah tenggelam dan hilang. Puteri Hijau yang ‘pertama’ berakhir, inilah
yang disebut oleh rakyat dongeng-dongeng diambil naga”, begitu tulis Meuraxa.
Sultan Iskandar Muda berhasil merebut hampir semua negeri di Semenanjung
Melaka, di pantai Barat dan Timur Sumatera pada tahun 1624. Indragiri dan Jambi
menjadi terancam. Kerajaan Gasib yang terletak di Sungai Gasib (salah satu
cabang Sungai Siak) mempunyai wilayah yang meliputi daerah Tapung sampai Bukit
Seligi dan Bukit Langa. Kerajaan ini juga dihancurkan oleh bala tentara Aceh
dengan bantuan orang Pandan dengan cara membuat terusan yang sekarang dikenal
dengan Sungai Buatan. Selanjutnya negeri ini ditaklukkan Johor dengan
menempatkan seorang pembesar di Bintan (Schedel, 1885: 218–235).
Mangkatnya Sultan Iskandar Muda menyebabkan ekspansi Aceh mulai mengendur,
sehingga peluang bagi Belanda untuk merebut Malaka terbuka, dan ini terbukti
dengan jatuhnya Melaka pada tahun 1641.
4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
a. Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Panglima Gocah
Pahlawan menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Gocah Pahlawan sering dikaitkan
dengan Laksamana Khoja Bintan, padahal jabatan panglima dan laksamana adalah
dua hal yang berbeda. Diceritakan bahwa Panglima Gocah Pahlawan menikah dengan
adik Datuk Sunggai, yaitu raja tempatan yang terkuat di wilayah itu. Sehingga
bisa saja ini mengarah pada perkawinan politik.
Ada
pula yang menghubungkan Panglima Gocah Pahlawan diangkat sebagai Panglima
Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh.
Sehingga muncul hipotesa unik bahwa ia juga yang bernama Khoja Bintan.
Pada
masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah,
terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita. Kesempatan ini
digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699
(Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.
Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada
awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu
Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh
pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu
Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja
Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama
dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya
sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan
memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret
1717.
Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara
ke-4 putranya, sehingga putra bungsu terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan
mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar
Wahid menjadi raja di Deli, yang sulung yaitu Jalaluddin bergeser ke wilayah
kejeruan di Metar.
Saat
pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli
(1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli
dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui
John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306;
Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang menurut Sinar, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan
wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan
Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang gunung. Pada zaman cucunya,
Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang
makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah
tersebut, pada tahun 1823.
b. Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari Melayu Guri
dari arah pantai. Putranya bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam.
Putra Dewa Sakti, Marhom Guri, dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas
wilayah Guri). Nama itu menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri)
yang terletak di sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama
Putri Hijau. Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.
Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil
memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu
Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja
Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan otonomi
luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.
Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya,
putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang bernama
Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan putri Siak, yaitu
Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai seorang putra yang
bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja Ahmad kembali ke
Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar Raja Bendahara
Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad
Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa
tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas
terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.
c. Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga.
Menurut cerita, Batara Sinomba dari Pagaruyung menikah dengan adiknya satu pupunya
sendiri. Batara Sinomba dan istrinya berkelana dan sampai di Pinang Awan. Suami
istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba
dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri
yang bernama Siti Onggu.
Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya
ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha
mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra
Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang
kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah
dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian
diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.
Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra
Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu.
Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu
ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh
mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan
terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang
dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan.
Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian
dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di
Tangkahan Sitarak).
Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro yang selanjutnya bergelar Raja
Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang
disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Simar
Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul
Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.
Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja
Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil,
maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan
Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun
1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan
sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi
raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh
karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai
seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja
Siti menikah dengan Sultan Deli dan menjadikan Bedagai sebagai ‘cemetuk’, dan
putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai, padahal
di wilayah itu sudah ada kedatukkan.
Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di
Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja
Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia
berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan
perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan
Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.
Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak
yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti
Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah
ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh
Belanda pada tahun 1865.
Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu
Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan
wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi
zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja
Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.
Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut
tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu
setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk
ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang,
Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata
Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar
upeti sebesar $2.000 pada Siak.
5. Negeri-Negeri Di Batubara
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara.
Penduduknya adalah dari Melayu sezaman Pagaruyung di wilayah Riau kini.
Pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada
mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima
suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga.
Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang
bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih
anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah
Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata
yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih
dari Suku Pesisir.
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan
di Batubara mengandung unsur-unsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh
para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat.
Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk
Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari
Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian
Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara.
a. Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu
Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke
jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat
sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka
berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang
Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak
selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan
janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember
1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.
Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu
Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan
satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel
pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan
menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak
lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di
Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka
Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda
ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen
Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda
untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan
perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761.
Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan
untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak
dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran
antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan
Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti
Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan,
kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad
Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan
berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada
bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda
Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih
di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa
itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian
Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan
Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman.
Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut
tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali
kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil
menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur.
Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya
yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa
di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said
Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat
kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan
digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said
Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan
dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang
merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang
adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya
ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh.
Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan
kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta
bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur
tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik
pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
b. Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa
Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang
disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan,
Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja
Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said
Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada
tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said
Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi
sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran,
sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku
Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan
perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun
1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari
berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan
peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya
kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.
Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada
tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya,
Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan
tersebut.
6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
Tambusai (Dalu-dalu) merupakan ibukota Rantau Binuang yang terletak di antara
Sungai Sosa dan Batang Lubu. Raja negeri tersebut merupakan keturunan Sultan
Iskandar Zulkarnaen. Penduduknya berbahasa Mandailing dan Minangkabau, tetapi
menganut adat Melayu. Negeri-negeri di Rokan makmur karena merupakan tempat
transit hasilhasil wilayah pedalaman Sumatera yang dijual ke Melaka, Singapura,
Johor, dan Siak. Tidak berlebihan kalau di negeri ini banyak orang kaya yang
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di antara rombongan haji yang pulang terdapat
Imam Maulana Kadhi dan putranya, Haji Muhammad Saleh.
Pada tahun 1820–1825 bergejolak paham Wahabi di Mekah yang bertujuan untuk
memurnikan ajaran agama Islam. Paham Wahabi ini ingin dikembangkan oleh para
haji yang kembali dari Mekah. Imam Maulana Kadhi dan Haji Muhammad Saleh
berusaha mengembangkan paham Wahabi itu kepada murid-muridnya di pesantren.
Haji Muhammad Saleh menekankan kepada Yang Dipertuan Rantau Binuang agar
memerintahkan kepada rakyat untuk melaksanakan ajaran Islam sejati dan melarang
adat lama yang bertentangan dengan agama. Pengaruh pembaharuan Islam yang
disampaikan ini menyebabkan Haji Muhammad Saleh diusir. Dia kemudian mengembara
sambil memperbanyak pengikut. Setelah merasa cukup kuat, dia kembali ke
Tambusai. Yang Dipertuan Rantau Binuang lalu menyingkirkannya ke Tanah Putih
(Siak). Keadaan ini menyebabkan Sultan Siak menuntut supaya Tambusai tunduk
kepada Siak, karena rajanya berdiam di wilayah Siak.
Haji Muhammad Saleh kemudian bergelar Tuanku Tambusai dan oleh sementara pihak
dijuluki “Si Baleo” (pembawa malapetaka). Gerakannya ditujukan ke daerah
Kepenuhan, Rambah, Batang Lubu, daerah Rao, Ulu Barumun, dan Padang Lawas.
Gerakan Tuanku Tambusai mendapat bantuan dari ulama lain, seperti Tuanku Rao.
Gerakan Tuanku Rao sampai ke wilayah Toba Utara. Bahkan Tuanku Rao dianggap Si
Pokki Nangolngolan, anak Ompu Palti. Ompu Palti adalah adik Sisingamangaraja X
yang telah raib karena dianggap mau merebut tahta.
Meskipun jasa Tuanku Tambusai dalam pengislaman Tapanuli Selatan sangat besar,
tetapi tidak sedikit kekejaman yang dibuat atas namanya dengan bantuan Raja
Gadombang, Regent Mandailing. Hal ini membuat Belanda menyerangnya, terutama
setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol dipatahkan. Dalam pertempuran hebat yang
terjadi pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu dapat direbut Belanda
tetapi Tuanku Tambusai selamat dari buruan Belanda. Sampai sekarang makamnya
belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa Tuanku Tambusai sempat lolos dan
menyeberang ke Malaya.
Pada masa itu juga Belanda memenuhi permohonan Kotapinang dan menempatkan satu
detasemen tentaranya dengan membuat benteng di daerah pertemuan Sungai Panai
dan Barumun, yaitu di Tanjong Ropiah. Benteng itu meresahkan Inggris. Benteng
tersebut juga pernah diserang oleh rakyat dari arah laut.
7. Pertentangan Inggris-Belanda
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC bangkrut akibat korupsi dan kemudian
dilikuidasi, sehingga kekayaannya jatuh ke tangan Belanda yang berbentuk
bataafsche republiek. Pemerintahan Belanda dipegang oleh Napoleon dari Prancis.
Pada masa itu Prancis sedang berperang dengan Inggris. Jajahan VOC di Nusantara
sudah diambil alih Inggris, maka berdasarkan Konvensi London tanggal 14 Agustus
1814, semua jajahan Belanda harus dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Hal
ini tidak menyenangkan hati Raffles (Gubernur Bengkulu dari Inggris dan bekas
Letnan Gubernur Inggris di Jawa). Raffles memerintahkan Farcuhar mengadakan
perjanjian dengan beberapa raja yang berkuasa di Pontianak, Riau, dan Siak.
Belanda mendengar kegiatan Raffles tersebut dan membujuk Siak dengan membuat
kontrak baru dengan Siak.
a. Traktat London 1824
Inggris dan Belanda berusaha menghindari perselisihan dengan perjanjian
kerjasama dengan membagi daerah jajahan. Inggris menyerahkan Bengkulu dan
Belanda menyerahkan Melaka dan Singapura kepada Inggris. Inggris dan Belanda
berjanji tidak akan memperluas pengaruh ke masing-masing wilayah jajahan dan
menghormati kedaulatan Aceh. Akibat desakan ekonomi, secara diam-diam mereka
melanjutkan kegiatan sebelumnya, terutama ke pantai timur Sumatera. Untuk
menghentikan pengaruh Belanda di Sumatera Timur, Inggris mendekati Aceh. Segala
kesibukan Belanda dalam Perang Paderi di Tapanuli Selatan menimbulkan reaksi
Inggris di Penang dan Singapura yang takut kehilangan keuntungan perdagangan.
Kamar dagang Inggris mendesak pemerintahnya agar memprotes Belanda yang
dianggap telah melanggar Pasal 6 Traktat 1824. Kesempatan itu dipergunakan Aceh
untuk memperkokoh kekuasaannya di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur
dengan mengirimkan perahu-perahu perang ke sana pada tahun 1854.
b. Kontrak Siak dengan Belanda, 1 Februari 1858
Kontrak Siak dengan Belanda ini berakibat sangat luas. Bukan saja Siak
ditempatkan di bawah kedaulatan Hindia Belanda, tetapi juga termasuk
negeri-negeri lain di Sumatera Timur yang menurut Siak adalah jajahannya, yaitu
Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Perbaungan,
Percut, Deli, Langkat, dan Temiang (Schedel, 1885: 73–77).
Atas dasar ini Siak meminta bantuan Belanda agar pemerintah Hindia Belanda
mempertahankan wilayah-wilayah itu dari rongrongan Aceh. Dengan alasan ini pula
Belanda mengirimkan ekspedisi militer pada tahun 1862 dan 1865. Pada bulan Mei
1859, Residen Riau menempatkan Walland selaku Asisten Residen Siak. Pada waktu
itu, di Siak terjadi perselisihan antara raja dengan Tengku Putra, sehingga
garnizun Belanda di Bengkalis dipindahkan ke Siak. Tengku Putra turun tahta dan
dalam perjanjian tambahan yang ditandatangani tahun 1863 fungsi raja muda di
Siak dihapuskan. Adik Sultan Siak, Tengku Syarif Kasim menjadi Tengku Panglima
Besar.
Menurut laporan Walland, pemerintahan Siak kacau balau. Sebagian besar kepala
suku dengan tujuh ribu orang rakyat pindah ke Malaya. Perdagangan hampir-hampir
terhenti, sehingga tidak ada tongkang yang memadai yang singgah ke Siak.
Hubungan politik dengan Lima Koto Kampar terputus.
8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
a. Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama
Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang
bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri
di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa
negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.
Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan
angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar
Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur.
Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan.
Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan
Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan
bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh.
Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal
Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian
yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian
tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang,
yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.
Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena
Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli,
ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar
sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda
dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung
pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said
Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.
Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan
Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat
Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.
Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti
dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur
Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes
kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki
Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.
Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief
Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka
berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada
Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti,
sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang
Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk
Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Batubara). Kegiatan Belanda
kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak
7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat
ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu
diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats
Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.
b. Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan
lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang
cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera
Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut
terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan
totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont
Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan
49 pucuk meriam berat.
Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari
sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja
Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris.
Surat itu ditutup dengan kalimat:
“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan
bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak
mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk
bertempur.”
Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya
mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui
jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan.
Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia
bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan
orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865,
Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan
Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.
Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865.
Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda
dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa
meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal,
dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada
Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8
Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat,
Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh
yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20
tahun.
Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan
Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai
rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya,
dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi
dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap
dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan
dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus,
sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir
Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin
menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan
Ahmadsyah ke Asahan.
Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh,
tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura.
Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda
dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata
atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk
menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.
9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
Sejak kedatangan J. Nieuwenhuyze dari Burma dan Van Leeuwen dari Surabaya ke
Deli pada tahun 1863, serta atas bujukan Said Abdullah Bilsagih, di Deli
berkembang penanaman tembakau. Dengan suksesnya ekspor ke Eropa dan Amerika
tembakau Deli menjadi termasyhur sebagai dekblad (lapis) cerutu yang tidak ada
bandingannya di dunia. Di perkebunan, orang Melayu dan Karo tidak cocok menjadi
kuli Belanda, sehingga Belanda mendatangkan orang Cina dan India dari Malaya.
Kemajuan Deli sebagai het dollarland menyebabkan masuknya kapital asing ke
Sumatera Timur. Sultan Deli memberikan tanah yang subur untuk konsesi
perkebunan dengan bebas, termasuk tanah dalam wilayah Datuk Sunggal tanpa izinnya.
Datuk Kecil sebagai pemangku Datuk Sunggal Badiuzzaman yang masih kecil,
memimpin pemberontakan dengan mengajak rakyat Melayu dan Karo membangun
benteng-benteng dan bergerak ke Deli untuk mengusir Belanda. Belanda kemudian
mengirim pasukan dari Riau di bawah pimpinan Kapten Kops, tetapi ekspedisi
pertama ini mengalami kerugian besar. Perkebunan tembakau Deli diserang
gerilyawan, sehingga wanita dan anak-anak Eropa diungsikan ke Belawan untuk
segera naik kapal bila situasi sangat buruk.
Pada tanggal 10 Juli 1872 datang ekspedisi militer kedua Belanda dari Jawa di
bawah pimpinan Letkol Van Hambracht. Ekspedisi kedua yang bermaksud untuk
menghancurkan gerilyawan tersebut pun mengalami kegagalan, bahkan Van Hambracht
sendiri luka berat dan harus dipulangkan ke Betawi. Pada tanggal 20 September
1872, datang lagi ekspedisi militer ketiga dari Jawa dengan jumlah yang lebih
besar, yaitu tiga kompi infanteri dengan satu detasemen artileri gunung,
orang-orang kerja paksa, dan kuli Cina untuk mengangkat barang. Ekspedisi ini
dikepalai Mayor Van Stuwe. Akibatnya, di mana-mana terjadi pertempuran hebat
untuk merebut kampung-kampung, seperti Tanduk Benua, Katinambunan, dan lainnya.
Dalam perundingan yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 1872, Datuk Kecil
bersama adiknya, Datuk Jalil, dan anaknya, Sulong Barat, tiba-tiba disekap
Belanda dan dinaikkan ke kapal, kemudian dibawa ke Riau. Mereka dihukum seumur
hidup di Cilacap. Datuk Sunggal Badiuzzaman melanjutkan perjuangan, tetapi juga
tertangkap pada tahun 1855 dan dibuang seumur hidup ke Banyumas. Perang Sunggal
(1872–1895) ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia di dalam
negeri yang begitu kecil (Sinar, 1980; 1981e).
Sejak itu tidak ada halangan bagi kapital asing. Orang-orang asing berlomba
menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina
dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Pertama
kali mereka didatangkan dari daerah Bagelen. Kontrak-kontrak tanah dan hasil
perkebunan yang diekspor merupakan sepertiga penghasilan seluruh Indonesia.
Sepanjang jalan raya Labuhan-Medan penuh dengan rumah pelacuran dan rumah judi.
Kuli yang baru gajian dalam sekejap mata bisa kehilangan gajinya, sehingga
terpaksa menandatangani kontrak baru (Cremer, 1976: 184).
Oleh karena kemakmurannya, dalam waktu cepat Sumatera Timur banyak didatangi
orang dari berbagai suku, terutama sukubangsa Toba, Mandailing, dan Minangkabau
yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, pegawai perkebunan, guru, dan pedagang
kecil. Mereka kebanyakan menetap di kota-kota besar.
10. Sistem Pemerintahan Di Sumatera Timur
Dengan kemajuan yang pesat itu, pada tanggal 15 Mei 1873 wilayah Sumatera
Timur, termasuk Siak dikeluarkan dari Provinsi Riau dan dijadikan residensi
sendiri dengan ibukota Bengkalis. Padahal Bengkalis baru dibeli Belanda dengan
ganti rugi dari Sultan Siak. Residen ini terbagi atas Afdeeling Deli (Kontrolir
di Labuhan), Afdeeling Asahan (Kontrolir di Tanjung Balai), dan Afdeeling
Labuhan Batu. Residen pertama adalah J. Locker de Bruijne.
Pada tahun 1887 ibukota dipindahkan dari Bengkalis ke Labuhan, kemudian ke
Medan dengan berbagai reorganisasi, yaitu diciptakan lebih banyak
Onderafdeeling yang dikepalai seorang Kontrolir Belanda. Kemudian juga dibentuk
peradilan di Medan dan Bengkalis, di samping sebuah Residentie recht. Menurut
perubahan dalam Staatblad 1978/207, Afdeeling Deli dirombak menjadi
1. Afdeeling Deli (assisten residennya di Medan)
a. Onderafdeeling Medan (kontrolirnya di Medan)
b. Onderafdeeling Labuhan (kontrolirnya di Labuhan)
2. Afdeeling Langkat Hulu (kontrolirnya di Binjai)
3. Afdeeling Langkat Hilir (kontrolirnya di Tanjung Pura)
4. Afdeeling Tamiang (kontrolirnya di Seruwei)
5. Afdeeling Serdang (kontrolirnya di Lubuk Palam)
6. Afdeeling Padang-Bedagai (kontrolirnya di Tebing Tinggi)
Dalam Staatblad 1900/64 Residensi Sumatera Timur mengalami reorganisasi lagi,
karena mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi. Terakhir menurut Beslit
Gubernur 6 Juli 1915 ao. 3 status Residensi Sumatera Timur dinaikkan menjadi gouvernement
(provinsi) yang berkedudukan di Medan dan pimpinan pertama kali dipegang oleh
Gubernur S. Van der Plass. Secara administratif, Sumatera kemudian dibagi atas
:
1. Afdeeling Deli dan Serdang
a. Onderafdeeling Deli Hilir
b. Onderafdeeling Deli Hulu
c. Onderafdeeling Serdang
d. Onderafdeeling Padang dan Bedagai
2. Afdeeling Langkat
a. Onderafdeeling Langkat Hilir
b. Onderafdeeling Langkat Hulu
3. Afdeeling Simelungun dan Tanah Karo
a. Onderafdeeling Simelungun
b. Onderafdeeling Tanah Karo
4. Afdeeling Asahan
a. Onderafdeeling Asahan
b. Onderafdeeling Batubara
c. Onderafdeeling Labuhan Batu
5. Afdeeling Bengkalis
a. Onderafdeeling Bengkalis
b. Onderafdeeling Siak
c. Onderafdeeling Bagan Siapi-api
d. Onderafdeeling Rokan
e. Onderafdeeling Kampar Kiri
Sebuah Afdeeling berada di bawah pengawasan seorang asisten residen dan
onderafdeeling di bawah seorang kontrolir. Dua orang gezaghebber ditugaskan
oleh Asisten Residen Bengkalis khusus untuk mengawasi panglong (sagu) di
Selatpanjang. Bengkalis yang sudah dibeli dari Sultan Siak pada tahun 1873 dan
menjadi daerah Hindia Belanda yang diperintah langsung oleh asisten residen
dengan mengangkat lima orang penghulu bumiputra, yaitu Kelapa Pati, Sendrah
(dengan Paliman dan Si Batu), Seggono, dan Maskum, ditambah enam penghulu tidak
bergaji. Pada tanggal 1 Januari 1940, Afdeeling Bengkalis dikeluarkan dari
Provinsi Sumatera Timur dan dimasukkan ke Residensi Riau.
Dalam hubungannya dengan kerajaan-kerajaan bumiputra di Indonesia, Belanda
membagi kedudukan mereka dalam dua kategori, yaitu: Pertama, kerajaan dengan
Kontrak Politik (Lange Politiek Contract) dan, Kedua, kerajaan dengan
Pernyataan Pendek (Korte Verklaring). Pada kategori pertama, ada dua pihak yang
mengadakan kontrak (perjanjian), yakni pemerintah kerajaan bumiputra dan
pemerintah Hindia Belanda. Di luar isi pasal-pasal yang disebut dalam
perjanjian, hak dan wewenang sepenuhnya berada di pihak kerajaan bumiputra.
Kerajaan di Sumatera yang termasuk golongan ini adalah Asahan, Deli, Kualuh,
Langkat, Pelalawan (Kampar Hilir), Siak, Serdang, dan Riau-Lingga. Kerajaan
Riau-Lingga dihapus pada tahun 1911.
Untuk kategori kedua, di seluruh Indonesia terdapat 261 korte verklaring yang
dibuat oleh Belanda. Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Sumatera
Timur adalah Barusjahe (Karo), Bilah, Dolok Silau (Simalungun), Gunung Sahilan,
Indrapura, Kunto Darussalam, Silima Kuta (Karo), Logas, Panai, Pane
(Simelungun), Baya (Simelungun), Sarinembah (Karo), Tambusai, Tanah Datar
(Batubaru), Tanah Jawa (Simelungun), Kepenuhan, Rambah, IV Kota Rokan Hilir,
Kotapinang, Pesisir (Batubara), dan Limapuluh (Batubara).
Kerajaan dengan korte verklaring yang terdapat di Aceh adalah seluruh kerajaan
besar kecil yang berjumlah 102 kerajaan, sedangkan di Riau adalah Hulu Tesso,
Indragiri (awalnya lange politiek contract, tetapi sejak Raja Mahmud atau tahun
1912 derajatnya diturunkan menjadi korte verklaring), IV Koto Hilir, IV Koto
Mudik, V Koto di Tengah, Lubuk Ramo (III Koto). Dalam kategori ini para raja
menandatangani pernyataan tunduk kepada semua perintah dan ketentuan pemerintah
Hindia Belanda, sehingga Kontrolir Belanda setempat mempunyai kekuasaan besar.
Kemajuan wilayah lain di Sumatera Timur dalam bidang investasi asing tidak
dapat diikuti Siak dan Pelalawan yang dulunya merupakan kerajaan besar.
Berbagai maskapai membuka konsesi di Siak, tetapi gagal dan terpaksa ditutup,
sehingga Siak merupakan daerah yang terbelakang (sebelum dibukanya tambang
minyak). Kekayaan Raja Deli, Langkat, Serdang, dan Asahan jauh melebihi
kekayaan Sultan Siak, sehingga dalam rapat dan pertemuan sering terjadi hal-hal
yang kikuk, karena Sultan Siak menuntut perlakuan istimewa sebagai raja yang
pernah menjajah negeri-negeri di Sumatera Timur itu.
Atas dasar perjanjian yang dibuat pada tanggal 23 Juli 1884, Belanda berhasil
membujuk Sultan Siak yang membutuhkan uang, untuk menyerahkan hak atas
kerajaan-kerajaan di sebelah utara Siak di Sumatera Timur kepada pemerintah
Hindia Belanda, dengan catatan bahwa Sultan Siak akan dianggap sebagai raja
yang paling utama di antara raja-raja di Sumatera Timur dan juga diberi cap
yang lebih besar. Penyerahan hak ini disertai ganti rugi (schadeloosstelling)
uang (Schedel deel II; Plass, 1917).
11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
a. Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda
Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda
tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari
jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat
menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan
digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin
mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim,
perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya
lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan
penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang
dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya
meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di
dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah
Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku
bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen,
akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia
Belanda. Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui
oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur
Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah
Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh
Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan
(gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang
(pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas
(pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil
tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk
mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan
schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief
Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada
saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin
untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan
antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh
orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh
kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24
serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief
Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam
kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul
Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916.
Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan
ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai
mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan
Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga
mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan
isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung
dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara
Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan
Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.
b. Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah
Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar,
Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan
dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di
Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan
panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar
pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak,
bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan
ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887
Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya,
Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku
Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said
Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan
syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi
miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk
menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
c. Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke
Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto
di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh
daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten
Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
d. Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di
sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad
ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan
Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri.
Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun
1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan
Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak.
Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah
mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim
laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota
Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda
kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan
mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat
opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876
ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan
perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda
membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar
ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen
militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota
Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai
ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja
Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian
menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan
Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta
perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal
Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak
(1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan
Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda
pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca
dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti
kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke
Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit
Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan
Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara
Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar
Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun
1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja
di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar
Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar
Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim,
dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela,
dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung
Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari
Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari
Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
e. Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan
Kotapinang. Ia meninggal dan seharusnya digantikan putra sulungnya, Syah Laot. Namun putranya yang lain, Ismail berkenan membuat Korte Verklaring atau pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Maka ia mengambil tampuk pemerintahan menjadi Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti. Pada tahun
1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu
diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887
Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar
Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari
arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun
1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian
tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).
f. Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga
menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji
Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah
membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan
rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus
berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang
gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah
dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh
Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan
pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen,
1886).
g. Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai
wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk
Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia
Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja
Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
h. Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya,
Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar
Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar
sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui
hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah
karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan
menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai
saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas
nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak
untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof,
1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari
Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di
Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah
dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar
Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda
untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin
Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal
dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan
rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu
pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus,
terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda
dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang
(1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli
dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui
Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29
Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar
bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang
dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra
dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan
daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia
menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan
Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di
Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a).
Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan
perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan
Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir
ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya,
Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk
pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang
dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal
pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.
12. Sistem Pemerintahan Dan Peradilan Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur Pada
Zaman Hindia Belanda
Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai
gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang
pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari Siak
ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan” (Kotapinang,
Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir, Rambah),
“Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau sekadar “Raja”
dan “Tengku Besar” (Pelalawan).
Di
bawah Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19
jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di
seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van
Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada
penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.
Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak semaunya tanpa
persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir). Pemerintahan sehari-hari
dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar meninggal, penggantinya dicari
dari turunan atau keluarga terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah
ada kebijakan Belanda tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai
districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya
mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh raja atau
kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang disebut rantau
atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen raja, pembesar
bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain, tidak berfungsi.
Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu daerah dengan sebutan
rijksgroten.
Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan
bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak
(raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat
dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak
sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir) ditempatkan
di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan hukuman buang hanya
dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal;
(f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder ordening); (g) Raja
boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan
Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping
orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.
Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir
di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk
kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat itu,
di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik atau
onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat Minangkabau.
Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang diambil dari suku
yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut “Siak dan Pelalawan tanah
berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu bergabung dalam suatu unit.
Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat
wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Mereka
tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah
masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.
Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi
(Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak untuk
pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan
peradilan di wilayah urung (dusun), yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan
Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan
atau Datuk akan memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam
pernyataan rahasia.
Ik acht zeen gewenscht om politikie
redenen dan rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen
Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens als
afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te blijven
beschouwen.
(Saya
anggap perlu, karena pertimbangan politis, untuk tidak memperkuat pengaruh
langsung Sultan dan para pemilik tanah, yang semuanya beragama Islam, tetapi
sebaliknya tetap menganggap Batak sebagai suku yang terpisah, atau harus saya
katakan sebagai unit yang tersendiri). (Memorie
v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni 1913).
Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah kampong yang dulu
cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan datuk), dan
terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala kampung kemudian
hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan tidak lagi
menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).
Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten dan Rijksgroten)
pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi,
bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan
besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di
Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja
Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum,
demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan
umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa
hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di
pengadilan gubernemen (landraad).
Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan
agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul
tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang
menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah (perintah)
dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku ulil amry dan imam
agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota sebagai instansi
tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti menikah, talak, rujuk,
pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya, zakat mal dan zakat
fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi, serta sekolah
(maktab) agama Islam di kerajaan.
Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum
Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi kepatutan
dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige wetten,
volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen erkende
beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam masalah pidana
yang dijadikan pedoman adalah KUHP.
13. Orang Melayu Dan Rajanya
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses
Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak sudah
terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai daerah
pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila telah
memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan
adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu (Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang
Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya
fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada
raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol
personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu,
seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak,
daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah
wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat
menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus
(illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena
menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang
tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk
membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja
dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada
rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik
nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat
sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan
raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar
alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada
di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa.
Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh
kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau
‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia).
Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata
dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah
seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai
“Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan
besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang
Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man)
yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah
pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak
diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara
mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri
itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab
kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya
rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang
Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar
ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka
di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja
merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan
mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam
surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin
dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam
pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif,
bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the Raja, the Malay
world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh karena itu, Belanda
sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar (raad van rijksgroten)
di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di
tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal
sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah
diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem
pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan dengan
tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda
memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu
merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang
Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan
bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan
selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan
kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass,
1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula
seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa
orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku
pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan
perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda
menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di
Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang
Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian
juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa
di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde,
DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa
pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang
(Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada
ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut
pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas
raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga
yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa
keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di
Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan
asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.
Komentar
terima kasih kerana tulisan yang panjang lebar. sesungguhnya amat sukar untuk memahami susur galur melayu.
amat sukar dan misteri.
sekali lagi terima kasih.