Kamis, 21 April 2011

TETABUH LARANGAN RAJA (Nobat Diraja)


oleh: M Muhar Omtatok

Musik sebagai bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang, sehingga batasan sejati tentang musik juga bermacam-macam.
Ada yang mengatakan bahwa musik adalah bunyi atau kesan terhadap sesuatu yang ditangkap oleh indera pendengar, suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya, segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik, bahkan ada yang memberi batasan bahwa musik tiada berwujud sama sekali. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme.
Musik tradisional sebagai musik yang berasal dari suatu daerah itu sendiri yang masih kental dengan kebudayaan daerah tersebut, yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana supernatural, kewiraan, kebesaran bahkan hingga kefungsi umum yaitu hiburan.
Pada kerajaan-kerajaan Melayu lampau, mengenal ensambel musik yang difungsikan khusus di kalangan istana. Di Melayu – Sumatera Utara, seperti wilayah Langkat, Serdang, Bedagai, Tebingtinggi, Kualuh, Panai dan Bilah, serta yang lainnya,mengenal Tabuh Larangan. Di Masyarakat Simalungun juga mengenal musik sejenis yang disebut Panggualon Rumah Bosar.

Tabuh Larangan sebagai perangkat musik dan para seniman pilihan yang hanya diperdengarkan dan memperdengarkan di istana. Seniman Tabuh Larangan adalah turun temurun sebagai orang-orang pilihan yang memiliki kepandaian musik dan ilmu supernatural. Disebut Tabuh Larangan karena Tabuh (musik) Larangan tidaklah boleh diperdengarkan kapan saja. Tabuh Larangan diperdengarkan semisal saat Upacara Penobatan Raja, Penanda Hari-Hari Besar Islam atau Kabar Besar Kebangsawanan.

Tabuh Larangan diyakini memiliki kekuatan khusus dan penuh pantang larang yang diatur secara turun temurun. Tabuh Larangan dipantangkan untuk dimain-mainkan, dipindahkan sembarangan, jikapun dipindahkan maka dilakukan secara khusus dan tidak ada yang boleh melintas saat proses pemindahan tersebut.

Tabuh Larangan “setidaknya” harus ada musik tiup berupa Nafiri, Gendang satu muka, Gendang dua muka, Serunai, Bangsi, dan 4 musik lainnya.
Tabuh Larangan sebenarnya juga dikenal dibeberapa kerajaan Melayu lainnya, seperti di wilayah Riau, Malaysia khususnya Kedah, Perak dan Kelantan; dengan sebutan popular yaitu Nobat Diraja. Kata Nobat sendiri dikatakan berasal dari istilah Nobat Raja karena musik tersebut diperdengarkan saat penobatan raja.
Ada juga yang menyatakan bahwa perkataan Nobat berasal daripada bahasa Sansekerta - Nao-Bat: ‘Nau - O - Nava’ (Sembilan) atau ‘Bat - O - Bah' (pengabungan). Ada pula yang berpendapat berasal dari kata Persia - 'Naubat' - ‘Nau’ (Sembilan) dan ‘Bat’’ (sembilan alat).

Sejak abad ke XIII, disebutkan Kerajaan Pasai memakai musik ini di istana. Demikian juga Malaka.*(M Muhar Omtatok)

1 komentar:

Farid mengatakan...

Saya pernah mendengar Tabuh Larangan dalam ceritera Atok saya.


Salut buat Bapak M Muhar Omtatok