Oleh:
M. Muhar Omtatok
Pusat Rujukan
Persuratan Melayu pada Dewan Bahasa dan Pustaka, mengartikan Batak sebagai bahasa
Melayu, dengan arti pengembara, nomad, sedangkan Membatak bermakna mengembara,
berpetualang, merompak, menyamun, merampas. Disini tampak Batak dalam bahasa
Melayu bukan tertuju pada suku bangsa yang ada di dataran tinggi di Sumatera
Utara, tetapi sekadar kosakata saja.
Kata
"peyoratif" berarti bersifat merendahkan atau negatif, menunjukkan
bahwa istilah "Batak" awalnya digunakan dengan konotasi yang buruk. Konteksnya
menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di pesisir, dalam hal ini, Melayu, menggunakan
istilah ini untuk merujuk pada kelompok lain di pegunungan. Orang-orang yang
disebut "Batak" ini dianggap sebagai penganut agama pagan (yang tidak
menganut agama monoteistik) atau dianggap tidak beradab oleh orang Melayu pesisir.
Setelah itu, orang-orang Eropa mengadopsi istilah ini. Ini sering terjadi
ketika kelompok kolonial atau penjelajah mengadopsi istilah lokal untuk merujuk
pada kelompok etnis atau wilayah tertentu, terkadang tanpa memahami sepenuhnya
makna asli atau konotasi negatif dari istilah tersebut.
Menurut Encyclopedia.com, tampaknya istilah
"Batak" awalnya merupakan julukan peyoratif yang disematkan oleh
orang Melayu pesisir kepada penduduk pegunungan, yang dianggap sebagai penganut
pagan atau tidak beradab. Istilah ini kemudian diambil dan digunakan oleh
orang-orang Eropa.
Encyclopedia.com
menulis pula,
“Popular rumor has greatly exaggerated the extent of Batak cannibalism;
some Batak groups were only recorded as subjecting a person condemned to die
for especially heinous crimes to the additional torture of having fellow
villagers slice off and swallow bits of his flesh”.
( Rumor yang beredar di
masyarakat telah membesar-besarkan tingkat kanibalisme Batak; beberapa kelompok
Batak hanya tercatat melakukan penyiksaan tambahan dengan meminta penduduk desa
mengiris dan menelan potongan-potongan daging orang yang dijatuhi hukuman mati
atas kejahatan yang sangat keji).
Meskipun begitu,
seiring waktu, istilah "Batak" tidak lagi hanya bersifat peyoratif,
melainkan juga digunakan sebagai identitas diri oleh kelompok etnis yang
menggunakannya.
Sebuah jurnal ilmiah
karya ‘Between mind and soul – pustaha
manuscripts in Batak society. Concerning the collections of Batak manuscripts –
part I’ karya Zuzanna Rozwadowska, Academy
of Fine Arts, Warsaw, 2022; ada ditulisnya:
“In literature, we can find information about the historical isolation
of Batak people from other ethnic groups. They are well known for their
aversion to foreigners and treated as a “strange”, somewhat unfamiliar nation.
Up until today, there have only been a few written sources about Batak history,
drawn up by European travelers and missionaries, who treated locals as
primitives. They also repeated rumours about the practice of cannibalism,
however greatly exaggerated”.
(Dalam literatur, kita dapat menemukan informasi tentang keterasingan historis orang Batak dari kelompok etnis lain. Mereka terkenal karena keengganan mereka terhadap orang asing dan diperlakukan sebagai bangsa yang "asing", agak asing. Hingga saat ini, hanya ada sedikit sumber tertulis tentang sejarah Batak, yang disusun oleh para peneliti dan misionaris Eropa, yang memperlakukan penduduk setempat sebagai orang primitif. Mereka juga menyebarkan rumor tentang praktik kanibalisme, meskipun sangat dibesar-besarkan).
Dalam ‘Aspects of the History of Batak Studies’
karya R. Roolvink, Indonesia Circle.
School of Oriental & African Studies. Newsletter, Vol. 6, No. 17 (Nov.
1978). Roolvink membahas sejarah penggunaan istilah “Batak”, bukan hanya dari
Van der Tuuk, tapi juga dari penulis Melayu dan Eropa sebelumnya.
Roolvink tidak
menciptakan definisi baru, tetapi mengutip tradisi penulisan Melayu dan
kolonial yang memang sudah melekatkan konotasi itu pada istilah Batak. Van der
Tuuk sendiri, menurut Roolvink, menyadari masalah ini sehingga ia enggan
memakai istilah “Batak” sebagai label etnik dalam karya linguistiknya, dan
lebih memilih istilah Toba, Karo, Mandailing, dan sebagainya.
“The word Batak itself was originally a derogatory term. In old Malay
texts it is used with the meaning of pagan, pig-eater, or even slave nomad. It
was considered abusive by both Muslim and non-Muslim Bataks themselves.” —
Roolvink, 1978, Aspects of the History of
Batak Studies, Indonesia Circle, No. 17, p. 4.
(Kata Batak sendiri
awalnya merupakan istilah yang merendahkan. Dalam teks-teks Melayu kuno, kata
ini digunakan dengan makna pagan, pemakan babi, atau bahkan budak pengembara.
Istilah ini dianggap kasar oleh orang Batak Muslim maupun non-Muslim sendiri).
Dalam catatan
perjalanannya Il Milione / The Travels of
Marco Polo, yang ditulis sekitar 1298, Marco Polo menyebutkan tentang
penduduk pedalaman Sumatera, yang ia tulis sebagai ‘Battas’.
Jika dilihat teks versi
terjemahan Inggris, Project Gutenberg / Yule & Cordier ed.:
“In this kingdom there are certain cannibals called Battas, who eat the
flesh of men. They are very cruel people, and they eat all the enemies they
take, as well as all who are condemned for crimes. They say the flesh of man is
better than any other.” — Marco Polo, The Travels, Book III, Chapter 11 (Of the Kingdom of Ferlec and Basman).
(Di kerajaan ini, ada
beberapa kanibal yang disebut Battas, yang memakan daging manusia. Mereka
sangat kejam, dan mereka memakan semua musuh yang mereka tangkap, serta semua
orang yang dihukum karena kejahatan. Mereka mengatakan bahwa daging manusia
lebih baik daripada daging lainnya).
Cuplikan teks asli
Marco Polo dari edisi klasik Henry Yule & Henri Cordier (The Book of Ser
Marco Polo the Venetian, London: John Murray, 1903, Vol. II, hlm. 302–303):
“…There are also in this island people called Battas, and these eat men.
When they take any one in war, and kill him, they eat his flesh; and they say
it is the best meat in the world…” — Marco Polo, The Book of Ser Marco Polo the Venetian, Vol. II (1903), p.
302–303.
(...Di pulau ini juga
ada orang-orang yang disebut Battas, dan mereka memakan manusia. Ketika mereka
menangkap seseorang dalam perang, dan membunuhnya, mereka memakan dagingnya;
dan mereka bilang itu adalah daging terbaik di dunia...)
Kabarnya data primer
Marco Polo menulis bahwa di Sumatera tentang adanya kaum Battas yang memakan
manusia, tapi ini bersumber dari cerita masyarakat setempat yang ia jumpai saat
di Sumatera, bukan pengamatan langsung.
Niccolò de’ Conti
adalah penjelajah Venesia yang mengembara ke India, Asia Tenggara, dan kembali
ke Venesia tahun 1444. Kisah perjalanannya dituliskan ulang oleh Poggio
Bracciolini (sekretaris Paus Eugenius IV) dalam India Recognita (sekitar
1444–1445).
Di bagian yang
menggambarkan Sumatera yang waktu itu disebut Taprobane atau bagian dari Java
Major, ia menyebut:
“…In the island of Sumatra there is a region named Batech, whose
inhabitants are cannibals. They wage continual war against their neighbours and
eat the bodies of those they slay in battle.” — The Travels of Niccolò de’ Conti, as recorded by Poggio
Bracciolini, in: Kerr, Robert (ed.), A
General History and Collection of Voyages and Travels, Vol. I (1811), p.
332–333.
(...Di pulau Sumatera
ada sebuah wilayah bernama Batech, yang penduduknya adalah kanibal. Mereka
berperang terus-menerus melawan tetangga mereka dan memakan tubuh orang-orang
yang mereka bunuh dalam pertempuran).
Dalam karya akademik
kontemporer, ditemukan penjelasan yang merujuk langsung kepada pernyataan
Niccolò de’ Conti:
“In one part of the island called Batech, the inhabitants eat human
flesh, and are in a state of constant warfare with their neighbours. They keep
human heads as valuable property… store up the skull and use it for money”.
(Di salah satu bagian
pulau, bernama Batech, penduduknya memakan daging manusia, dan terus-menerus
berperang dengan tetangga mereka. Mereka menyimpan kepala manusia sebagai harta
berharga... menyimpan tengkoraknya dan menggunakannya sebagai uang).
Penjabaran ini
menguatkan bahwa de’ Conti menggambarkan masyarakat “Batech” sebagai kanibal
yang terlibat dalam peperangan berkelanjutan dan pada tingkat ritualistik
menyimpan kepala sebagai semacam mata uang, fakta yang dicatat dalam narasi
modern berdasarkan interpretasi sumber aslinya.
Walau judulnya The History of Java (1817), Raffles di
dalamnya menyertakan deskripsi tentang bangsa-bangsa lain di Nusantara,
termasuk Batak di Sumatera. Ia menyalin laporan-laporan pejabat dan misionaris
yang beredar di masa itu.
“Among the Battas of Sumatra, it is usual for the people to eat their
parents when too old to work, and certain criminals are eaten alive. These
practices, however, are gradually disappearing with the introduction of
Mahomedanism and intercourse with the Malays.” — Thomas Stamford Raffles,
The History of Java, Vol. II (1817), p. 61–62.
(Di antara orang Batak
di Sumatera, memakan orangtua mereka ketika sudah terlalu tua untuk bekerja
merupakan kebiasaan, dan beberapa penjahat dimakan hidup-hidup. Namun,
praktik-praktik ini perlahan menghilang seiring dengan masuknya agama Islam dan
pergaulan dengan orang Melayu”.
Adalah Franz Wilhelm
Junghuhn, yang terkenal sebagai salah satu penulis yang
mencoba “meluruskan” stereotip Batak yang diwarisi dari Marco Polo, de’ Conti,
Raffles, dan penulis kolonial awal.
Karya utamanya adalah Die Battaländer auf Sumatra: eine
wissenschaftliche Skizze (1847) – hasil ekspedisi 1840–1841. Juga dalam
catatan perjalanannya: Reisen durch Java,
Sumatra, Borneo… (1847–1850).
Junghuhn menulis, terjemahan
Jerman ke Inggris:
“Cannibalism among the Bataks does exist, but it is by no means a common
practice of daily life. It occurs in cases of war, when enemies are captured,
or in legal executions. It is not their habit to eat their own dead or their
parents, as some authors have alleged.” — Franz Wilhelm Junghuhn, Die Battaländer auf Sumatra (Leipzig,
1847), p. 39–40.
(Kanibalisme memang ada
di kalangan orang Batak, tetapi sama sekali bukan praktik umum dalam kehidupan
sehari-hari. Kanibalisme terjadi dalam situasi perang, ketika musuh ditangkap,
atau dalam eksekusi yang sah. Memakan mayat mereka sendiri atau orang tua
mereka bukanlah kebiasaan mereka, seperti yang dituduhkan beberapa penulis).
Dalam Die Battaländer auf Sumatra, Junghuhn menuliskan
bahwa beberapa kepala suku Batak memberi tahu bahwa desa pernah menurun setelah
penduduk memakan misionaris—menunjukkan adanya cerita yang diceritakan oleh
informan lokal. Ia mengakui bahwa ia
sendiri menyaksikan pada suatu kesempatan tawaran makanan berupa daging dua
tawanan yang dibunuh sehari sebelumnya, yang disajikan oleh penduduk sebagai
jamuan, tapi ia menegaskan bahwa ini bukan praktik rutin.
Seorang perwira Jerman
yang melakukan perjalanan ke Tanah Batak sekitar 1844), Oscar von Kessel,
catatannya diterbitkan dalam: Oscar von
Kessel, “Reise in das Innere von Sumatra”, Das Ausland (Stuttgart), 1844.
Von Kessel melaporkan
bahwa kanibalisme memang ada, tapi tidak dilakukan sehari-hari. Muncul dalam
konteks hukuman adat untuk kriminal tertentu, misalnya pengkhianatan atau
pembunuhan, kadang juga dilakukan terhadap tawanan perang. Ia menekankan bahwa
penduduk sendiri menganggap praktik itu tabu, dan hanya terjadi di situasi
khusus.
Sedangkan Ida Laura Pfeiffer (1852–1854), seorang
penjelajah perempuan asal Austria yang berkunjung ke Sumatera (1852), dalam
bukunya ‘Ida Pfeiffer, Eine Frauenfahrt
um die Welt (1850s), kemudian A
Lady’s Second Journey Round the World (1855). Ia mendengar cerita dari
penduduk Batak bahwa kanibalisme memang ada, tetapi hanya dilakukan terhadap
penjahat berat. Ada unsur ritual hukum berupa eksekusi dengan dimakan, bukan
konsumsi makanan sehari-hari. Ia menekankan bahwa banyak orang Batak menganggap
hal itu aib atau tabu.*
Komentar