Catatan Penulis Asing Tentang Melayu

1.    Duarte Barbosa (1518)

"The Book of Duarte Barbosa" adalah catatan perjalanan Duarte Barbosa mengenai negara-negara di sekitar Samudra Hindia dan penduduknya. Duarte Barbosa adalah seorang penulis dan penjelajah bangsa Portugis.  Buku ini selesai ditulis sekitar tahun 1518 dan berisi deskripsi rinci tentang berbagai budaya asing. Manuskrip asli ditemukan dan diterbitkan di Lisbon pada awal abad ke-19. 

Buku ini juga menyebutkan keberadaan "Pulau besar Camatra", yang dianggap sebagai petunjuk penting tentang keberadaan awal Sumatera. Yang tentunya ia banyak berkisah tentang Orang Melayu sepanjang perjalanannya. Sekadar kutipan, ia menulis:

These Malaios hold the Alcoram of Mafamede in great veneration, they have their mosques, theybury their dead, their sons are their heirs, they live in large houses outside the city with many orchards, gardens and tanks, where they lead a pleasant life. They have separate houses for their trade within thecity,  they possess many slaves with wives and children who live apart and obey all their orders. They are polished and well bred, fond of music, and given to love”. (The Book of Duarte Barbosa, 1518)

(Orang-orang Melayu ini sangat menghormati Al Qur’an yang diajarkan Nabi Muhammad, Orang Melayu memiliki Masjid; ada budaya menguburkan orang mati; ahli waris orang Melayu adalah putra-putra mereka. Melayu tinggal di rumah-rumah besar di luar kota dengan banyak kebun buah, ladang, dan ‘tanks’, tempat mereka menjalani kehidupan yang menyenangkan. Orang Melayu memiliki "Separate houses" rumah-rumah yang terpisah tidak bergandeng,  guna berdagang di dalam kota, mereka memiliki banyak kuli yang hidup terpisah dengan istri-istri dan anak-anak mereka, kuli-kuli itu mematuhi semua perintah mereka. Orang Melayu sangat  beradab dan terdidik, menyukai musik, dan memberi secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan).

2.    William Marsden (1783)

William Marsden dalam bukunya ‘The History of Sumatra’ (edisi pertama 1783, kemudian direvisi 1784 dan 1811) menyinggung banyak hal tentang orang Melayu. Pandangannya tentu dipengaruhi oleh cara pandang orang asing abad ke-18, jadi ada campuran antara deskripsi etnografis, kekaguman, sekaligus stereotip.

Marsden menulis bahwa istilah Melayu tidak hanya merujuk pada satu daerah kecil, tetapi sebuah kelompok etnis dan budaya yang tersebar luas di Sumatra bagian timur dan pantai, serta di Semenanjung Malaka. Ia melihat Melayu sebagai kelompok yang berperan besar dalam perdagangan.

Ia sangat menekankan pentingnya bahasa Melayu. Menurutnya, bahasa ini berfungsi sebagai lingua franca di seluruh kepulauan Melayu (Sumatra, Malaka, hingga ke Kalimantan dan Kepulauan Timur). Marsden bahkan menyusun tata bahasa dan kamus Melayu karena dianggap bahasa paling berguna bagi pedagang dan kolonial.

Marsden menggambarkan orang Melayu sebagai bangsa yang halus dalam tingkah laku, sopan dalam tutur kata, dan pandai berdagang, tetapi dalam kacamata barat, ia juga menyebut mereka kadang licik dalam perdagangan.

Marsden juga mencatat bahwa identitas Melayu sangat erat dengan agama Islam. Menurutnya, menjadi Melayu hampir identik dengan menjadi Muslim, karena agama ini membentuk adat dan hukum mereka.

Ia menyoroti bahwa orang Melayu memiliki adat istiadat tersendiri yang membedakan mereka dari kelompok lain di Sumatera seperti Batak, Minangkabau, atau Rejang.

The Malays, whose language has become the general medium of communication among the various nations of these islands, are distinguished by their polished manners, hospitality, and a remarkable degree of courtesy, though not without the vices too common among semi-civilized people.” (History of Sumatra, Marsden, 1783).

Jadi, ringkasnya Marsden melihat orang Melayu sebagai bangsa pedagang, berbahasa yang mempersatukan, beradab halus, dan sangat dipengaruhi Islam, meskipun ia tetap menuliskan stereotip barat.

3.    Tomé Pires (1512-1515)

Buku Suma Oriental, atau lengkapnya ‘Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins’  yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16. Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis. 

Tomé Pires juga memberikan gambaran tentang orang Melayu pada abad ke-16, terutama dari sudut pandang perdagangan dan penyebaran Islam di wilayah tersebut. 

Pires mencatat bahwa wilayah Melayu, termasuk Malaka, merupakan pusat perdagangan penting di Asia Tenggara. Kerajaan Pasai, yang terletak di dekat Selat Malaka, disebut sebagai pusat perdagangan lada yang ramai. Pires menggambarkan bagaimana kerajaan-kerajaan di Sumatera, seperti Pasai, terlibat dalam perdagangan internasional yang melibatkan berbagai komoditas seperti lada, sutra, kapur barus, dan emas. 

Pires mencatat bahwa sebagian besar penguasa di pesisir Sumatera, khususnya di sepanjang Selat Malaka, memeluk agama Islam. Pires menggambarkan wilayah Melayu sebagai wilayah yang beragam, dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki berbagai tingkatan kemajuan dan pengaruh. Ia juga menyoroti interaksi antara budaya Melayu dengan budaya dari wilayah lain, seperti India dan Cina, yang terlibat dalam perdagangan di wilayah tersebut. 

4.    Antonio de Morga (1609)

"Sucesos de las Islas Filipinas" adalah buku yang ditulis oleh Antonio de Morga dan diterbitkan pada tahun 1609. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya terpenting tentang sejarah awal penjajahan Spanyol di Filipina. De Morga, seorang pejabat kolonial Spanyol, mendasarkan tulisannya pada pengalaman pribadinya dan dokumentasi dari para saksi mata. 

Saat itu, Antonio de Morga mendeskripsikan bagaimana orang Melayu terlibat dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya di Filipina. Buku ini juga menyinggung sistem pemerintahan yang ada sebelum kedatangan Spanyol, yang melibatkan berbagai kelompok etnis, terutama Melayu. Ada catatan bahwa orang Melayu memiliki pengaruh besar dalam perdagangan dan penyebaran Islam di Filipina, disinggung juga bahwa beberapa konflik dan perlawanan yang melibatkan orang Melayu terhadap kekuasaan Spanyol.

5.    Jan Huygen van Linschoten (1596)

Itinerario adalah buku yang ditulis oleh Jan Huygen van Linschoten pada tahun 1596, yang berisi informasi detail tentang rute pelayaran dan kondisi di Asia, serta wawasan tentang budaya dan komoditas di wilayah tersebut. Buku ini sangat penting karena membuka jalan bagi ekspedisi Inggris dan Belanda ke Kepulauan Rempah-rempah yang sebelumnya dikuasai oleh Portugis. Itinerario sangat berpengaruh pada ekspedisi Belanda ke Nusantara, membuka jalan bagi  Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, adalah perusahaan dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan memiliki hak monopoli perdagangan di Asia. VOC dikenal sebagai salah satu perusahaan multinasional pertama di dunia dan memiliki peran penting dalam sejarah munculnya Hindia Belanda.

"Itinerario" karya Jan Huygen van Linschoten bukan hanya catatan perjalanan, tetapi juga dokumen penting yang memengaruhi sejarah penjelajahan dan perdagangan Eropa di Asia, khususnya dalam konteks Melayu dan Nusantara. Ia mencatat bahasa Melayu sebagai "Latin dari Timur", yang digunakan dalam berbagai kepentingan, seperti agama, perdagangan, dan pendidikan. Dicatat peranan Melayu dalam perdagangan rempah dan hubungan mereka dengan bangsa asing.

6.    John Crawfurd (1856)

A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (1856)” bergenre kamus ini, ditulis John Crawfurd, seorang dokter berkebangsaan skotlandia, administrator kolonial dan diplomat, serta penulis. Ia dikenal karena karya-karyanya mengenai bahasa-bahasa Asia.

Ia menulis tentang Melayu sebagai kelompok etnik terbesar di Kepulauan Melayu, membedakannya dengan Jawa, Bugis, Batak, dan sebagainya. Ada unsur bias colonial, yaitu orang Melayu dianggap kurang rajin dibanding orang Jawa.

7.    Alfred Russel Wallace (1854-1862)

The Malay Archipelago adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace yang berisikan petualangan keilmuannya, selama 8 tahun penjelajahannya di Kepulauan Melayu yang kini kita sebut Nusantara (1854-1862).

Wallace menghabiskan delapan tahun menjelajahi Kepulauan Melayu, mengumpulkan ribuan spesimen hewan dan tumbuhan, serta mempelajari budaya dan bahasa masyarakat setempat. 

Buku ini juga membahas tentang budaya dan bahasa Melayu yang berkembang di Semenanjung Malaka dan wilayah sekitarnya. Wallace mencatat bahwa bahasa Melayu digunakan secara luas di Hindia Belanda pada abad ke-19. Menyebut orang Melayu sebagai bangsa pelaut, dengan sifat tenang, sopan, tapi juga berhati-hati dan penuh perhitungan.

8.    Sir Frank Athelstane Swettenham (1895)

"Malay Sketches" adalah buku yang ditulis oleh Sir Frank Athelstane Swettenham, seorang tokoh kolonial Inggris yang pernah menjabat sebagai Residen Jenderal di Perak, Selangor, dan Negeri Sembilan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1895 dan berisi kumpulan sketsa mengenai kehidupan masyarakat Melayu pada akhir abad ke-19. 

Dalam Bab I Malay Sketches khusus dibuat tajuk " The Real Malay", merupakan hasil pengalamannya berkamer dalam alam melayu selama 24 tahun.

Frank Swettenham menyarankan untuk bisa memahami Orang Melayu, perlu tinggal di Tanah Melayu, bertutur bahasa melayu, menghormat adat dan budaya Orang Melayu, meminati apa yang diminati oleh Orang Melayu, mesti pandai gurau senda ala Orang Melayu, sanggup membantu mereka jika ada kesusahan serta berbagi suka dan duka sesame mereka. Jika semua ini berhasil dilakukan, maka bisa memahami hati serta kepercayaan dari Orang Melayu.

Orang melayu menurut Swettenham, mempunyai postur tubuh sedang, berambut hitam lurus dengan kulit sawo matang serta berhidung kembang dengan bibir yang tebal. Orang Melayu juga digambarkan mempunyai mata yang terang.

Orang Melayu bersopan santun, beradab serta peramah. Namun begitu, Orang Melayu tidakmudah mempercayai orang asing, malah bijak menyembunyikan kesangsian mereka dengan perawakan yang ramah. Melayu bijak berbicara, susun kata mereka disulami dengan jenaka malah amat gemar berseloroh. Orang Melayu sangat cermat dan mudah menerima pelajaran. Malah jika ditambah dengan usaha dan tekad yang tinggi, Orang Mayu mampu menghasilkan sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka pelajari.

Dari sudut kebersihan diri, kebanyakkan Orang Melayu zaman itu mandi sekurang-kurangnya dua kali sehari dan suka berhias serta berpakaian rapi. Mereka sangat tidak suka difitnah, sehingga akan diusutnya sampai dapat walau harus bertumpahan darah.

Swettenham turut menyebut tentang sikap Orang Melayu yang memuliakan tetamu, seolah menjadi wajib bagi Orang Melayu, tidak kira tinggi atau rendah derajat mereka, kaya atau miskin kehidupan mereka.

Orang Melayu mempunyai bakat dalam olahraga, malah binatang sebesar gajah pun bisa ditangkap dan dijinakkan. Sebagai nelayan, Orang Melayu sangat mahir, hingga sangat biasa bermalam di atas perahu.

Swettenham melihat wanita Melayu sebagai bijak bertutur, pandai mengambil hati serta kuat menyimpan rahasia. Wanita Melayu juga ramah, walaupun adakalanya kuat cemburu. Saat mencapai usia 40 tahun, mereka mula memperlihatkan kecenderungan meminati barang barang yang bagus serta pakaian yang indah. Wanita melayu dewasa menunjukkan citarasa pada barang mewah, malangnya citarasa kemewahan dan keindahan barang ini tidak tergambar pada kediaman mereka yang tidak teratur.

Lelaki Melayu yang kaya sering menjadikan kekayaan dan pengaruh, sehingga cenderung poligami. Padahal setelah setelah beristri empat, sering gagal adil kepada para isteri mereka. Menurut Swettenham lagi, Orang Melayu sangat bijak dalam berfalsafah dalam hal rumahtangga.

Orang Melayu adalah Muslim yang taat, malah sanggup disiksa demi mempertahankan kesucian agama Islam. Walaupun begitu, mereka dilihat tidak terlalu fanatik buta dalam beragama. Menurut Swettenham, Orang Melayu tidak minum minuman yang memabukkan serta jarang sekali terlibat dengan aktivitas menghisap ganja, meski pada zaman itu menghisap ganja adalah sesuatu yang dibenarkan di kalangan masyarakat biasa dan para pemimpin. Swettenham juga mengakui, ketaatan Orang Melayu dalam beragama menyebabkan kebanyakan misionaris Kristen tidak sanggup dan gagal dalam kristenisasi.

Orang Melayu dari kacamata Swettenham sangat bangga dan saying pada negeri dan bangsa mereka. Orang melayu juga sangat memelihara adat dan budaya mereka, maka tidak heran jika ada pepatah Melayu “ Biar mati anak, jangan mati adat”. Orang Melayu juga taat kepada raja dan pemimpin. Saling memberi buah tangan pada waktu istiadat pertabalan raja, upacara pelantikan pegawai tinggi, majelis perkawinan, majelis berkhitan, upacara tindik telinga serta acara adat lainnya.

Dalam membicarakan tentang Orang Melayu, Swettenham tidak mengambil sikap populis dengan hanya menceritakan apa yang baik, sebaliknya ia turut membuka sisi gelap masyarakat Melayu zaman itu.

Orang Melayu suka meminjam uang, tetapi waktu membayar sangat liat. Orang melayu suka mencari tahu urusan jiran tetangga dan mengupat. Suka mempercayai hal yang peta realitasnya masih carut marut. Orang melayu suka berjudi, bersabung ayam dan serta hal sejenis. Tidak mudah menerima konsep perubaha baru, adakalanya malas, malah perkara yang rutin juga dilalaikan, juga tidak menghargai waktu. Rumah Orang Melayu pada zaman itu dilihat tidak tertata, malah kotor. Orang melayu zaman itu suka berdendam, dan kalau dendam itu tidak terbalas pada orang yang sepatutnya, siapa saja yang kebetulan ada disitu menjadi sasaran, tidak penting laki-laki atau perempuan, tua atau muda,  Orang melayu suka mengamuk. Walaupun Orang Melayu suka berbudi, mereka sebenarnya mengharapkan balasan. Orang Melayu suka berpuak-puak berkaum-kaum, sangat menitik beratkan soal derajat serta keturunan.

9.    Richard Olaf Winstedt (1925)

Buku "The Malays: A Cultural History" ditulis oleh R.O. Winstedt. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1925 dan direvisi pada tahun 1953. Buku ini membahas berbagai aspek budaya Melayu, termasuk sejarah, geografi, biografi, sistem sosial, politik, hukum, ekonomi, kepercayaan, agama, seni, dan kerajinan tangan. 

Dari sistem sosial, politik, dan hukum masyarakat Melayu, Winstedt juga meninjau pengaruh feodalisme Hinduism dan perubahan dari demokrasi ke sistem kerajaan. Ia juga meneliti berbagai kepercayaan dan agama yang mempengaruhi budaya Melayu, seperti agama Hinduism, Buddhaism, dan Islam. Winstedt mengakui bahwa orang Melayu memiliki sejarah dan budaya yang kompleks dan beragam, yang telah terbentuk dari berbagai pengaruh. Islam memainkan peran penting dalam sejarah dan budaya Melayu, tetapi Winstedt juga menyoroti bagaimana pengaruh ini telah berkembang dan berubah seiring waktu.

R.O. Winstedt menggambarkan orang Melayu sebagai masyarakat yang memiliki sejarah dan budaya yang kaya, namun juga mengalami perubahan akibat pengaruh luar, termasuk pendidikan dan Islam. Winstedt menyoroti bagaimana pendidikan telah mulai "membersihkan" orang Melayu dari "teror hantu," menunjukkan pergeseran nilai dan kepercayaan. 

10. François Valentijn (1724-1726)

Buku "Oud en Nieuw Oost-Indiën" (Hindia Timur Lama dan Baru) adalah karya monumental François Valentijn, seorang pendeta Calvinis, naturalis, dan penulis Belanda. Buku ini berisi deskripsi geografis, etnologis, dan sejarah Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Asia, khususnya di Hindia Timur (sekarang Indonesia). Karya ini dianggap sebagai referensi ensiklopedis Belanda pertama untuk Asia. Karya ini ditulis pada awal abad ke-18, tetapi dicetak dan diterbitkan pada tahun 1724-1726. 

François Valentijn menyebutkan bahwa bahasa Melayu digunakan luas di kawasan kepulauan dan perairan Asia Tenggara, dengan makna mirip “seperti Latin di Eropa” — yakni bahasa yang dipahami secara luas di berbagai daerah.  Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu ia lihat sebagai lingua franca regional.

Valentijn juga mengakses dan menggunakan sejumlah teks sejarah berbahasa Melayu, seperti Hikayat dan Sejarah Melayu, sebagai bahan rujukan untuk menulis sejarah, termasuk dalam mendeskripsikan peristiwa sejarah dan asal-usul kerajaan-kerajaan lokal.   

11. C. Lekkerkerker (1916)

"Land en Volk van Sumatra" adalah judul buku berbahasa Belanda yang ditulis oleh C. Lekkerkerker dan diterbitkan pada tahun 1916. Buku ini membahas tentang "Negeri dan Masyarakat Sumatera" atau "Tanah dan Rakyat Sumatera". Judul ini mengacu pada buku yang mengkaji berbagai aspek kehidupan di pulau Sumatra, termasuk kondisi geografis, masyarakat, dan budayanya. 

Dalam Land en volk van Sumatra, C. Lekkerkerker membahas orang Melayu secara khusus di bagian V. De Volken van Sumatra dengan subbab: 25 “Maleiers” (Melayu) — mulai hal. 119 serta 26 “Minangkabausche Maleiers” (Melayu Minangkabau) — mulai hal. 124. 

Selain uraian teks, daftar ilustrasi juga memuat foto “Maleische woning en rijstschuur” (rumah dan lumbung padi Melayu) di Soeroelangoen, Rawas (Palembang), yang memperlihatkan unsur budaya  Melayu.

Lekkerkerker menyebut orang Melayu terutama berada di pesisir timur Sumatera. Orang Melayu digambarkan berkulit sawo matang, bertubuh sedang, beragama Islam, serta sangat dipengaruhi adat dan syariat. Bahasa Melayu dipaparkan sebagai lingua franca, bukan hanya di Sumatera, tapi juga di kepulauan Asia Tenggara. Mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang, dan sebagian petani. Keterkaitan dengan sungai dan laut sangat kuat.

Khusus Melayu Minangkabau, Lekkerkerker menekankan bahwa walaupun disebut “Melayu”, orang Minangkabau berbeda karena memiliki sistem sosial matrilineal. Adat Minangkabau disebut bercampur dengan Islam, menghasilkan aturan khas (“adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”). Bahasa Minang dianggap cabang dari bahasa Melayu, tapi dengan dialek kuat. Minangkabau dilihat sebagai salah satu pusat kebudayaan Melayu yang paling berpengaruh, terutama dalam penyebaran Islam dan bahasa Melayu standar.* (M Muhar Omtatok)

Komentar