Budaya Kerja Orang Melayu


Oleh: M Muhar Omtatok

Budaya kerja orang Melayu bisa bervariasi tergantung pada daerah dan latar belakang individu. Budaya kerja orang Melayu bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk wilayah geografis, latar belakang individu, dan konteks budaya lokal yang spesifik. Perbedaan ini terlihat dari semangat kerja yang menekankan kehati-hatian, kesabaran, dan perencanaan matang, serta berbagai tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan secara turun-temurun

Memahami dan menghargai budaya kerja orang Melayu dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan produktif. Dalam konteks niaga, adaptasi terhadap budaya kerja lokal adalah kunci sukses dalam berinteraksi dan bekerja sama dengan masyarakat Melayu. Karakteristik Orang Melayu bisa dilihat dari ungkapan ini:

“Apa tanda si anak melayu,
matinya ditengah gelanggang,
tidurnya di puncak gelombang,
makannya di tebing panjang,
langkahnya menghentam bumi,
lenggangnya menghempas semak,
tangisnya terbang ke langit,
esaknya ditelan bumi,
yang tak kenalkan airmata,
yang tak kenalkan tunduk kulai”.

Budaya kerja Melayu, jika dilihat pula dari sikap budayanya, tampak menekankan pada nilai-nilai seperti kesabaran, kehati-hatian, musyawarah, dan penghormatan terhadap adat dan tradisi. Hal ini tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan Melayu yang mengajarkan tentang pentingnya bekerja dengan cermat, tidak tergesa-gesa, dan selalu mempertimbangkan akibat dari tindakan. 

Ada ungkapan "Biar lambat asal selamat" dan "Tidak lari gunung dikejar" menunjukkan pentingnya bekerja dengan sabar dan berhati-hati, menghindari tergesa-gesa yang bisa berdampak buruk. 

Berat tulang ringanlah perut, ringan tulang beratlah perut” merupakan pepatah yang berhubungan dengan budaya kerja Melayu, yang sesungguhnya tak boleh malas. Ada pula pepatah “Awal dibuat, akhir diingat”, “Alang-alang berdawat, biarlah hitam” serta “Kerja beragak-agak tidak menjadi, kerja berangsur-angsur tidak bertahan”, sebagai makna totalitas dalam bekerja.

Adat yang diadatkan dalam masyarakat Melayu menekankan pada pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat, menunjukkan pentingnya kerjasama dan kebersamaan dalam bekerja. “Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”.

Proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang berbasis budaya Melayu mungkin akan lebih mengutamakan musyawarah dan mencari kesepakatan bersama sebelum bertindak. 

Gaya komunikasi dalam budaya Melayu yang cenderung sopan dan santun, mungkin juga akan tercermin dalam cara berkomunikasi di lingkungan kerja. Sikap saling menghormati dan menjaga hubungan baik antar rekan kerja akan menjadi perhatian utama dalam budaya kerja Melayu. 

Stereotip Budaya Kerja Melayu

Stereotip “Melayu malas” ternyata cukup kuat muncul dalam literatur kolonial, terutama ditulis oleh penulis asing terutama Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Frank Swettenham dalam bukunya Malay Sketches (1895), ia menggambarkan orang Melayu sebagai “Santai, tidak suka bekerja keras, lebih senang berperahu dan memancing daripada mengolah tanah atau bekerja di perkebunan”. Swettenham adalah Residen Inggris di Malaya, dan tulisannya ikut membentuk pandangan kolonial bahwa orang Melayu tidak cocok untuk kerja kasar.

R.O. Winstedt seorang orientalis dan pegawai kolonial Inggris, awal 1900-an, dalam tulisannya mengenai The Malays menyebut orang Melayu cenderung: “Kurang disiplin, bersifat fatalistik, lebih suka hidup sederhana daripada mengejar kekayaan.” Pandangan ini memperkuat gambaran bahwa orang Melayu tidak memiliki etos kapitalistik seperti yang diinginkan kolonial.

J.R. Logan & C.N. Bellamy (abad ke-19), dalam tulisan mereka tentang etnografi Malaya, orang Melayu dipandang “tidak rajin bekerja di ladang” dan “lebih suka bersantai.” Mereka membandingkan Melayu dengan buruh Tionghoa dan India yang saat itu banyak didatangkan untuk perkebunan timah dan karet.

Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) menyinggung “kemalasan” penduduk pribumi Jawa dan Melayu, yang menurutnya:

“Tidak tertarik bekerja keras kecuali dipaksa oleh keadaan.” Pernyataan ini sering dikutip sebagai justifikasi kolonial atas eksploitasi tenaga kerja.

Di sisi yang berbeda, Syed Hussein Alatas (1977), seorang sosiolog Malaysia ini menulis buku terkenal The Myth of the Lazy Native. Ia mengkritik pandangan penulis asing tadi sebagai mitos kolonial, yang sengaja diciptakan untuk legalitas masuknya buruh impor Tionghoa dan India, melabeli pribumi (Melayu, Jawa, Filipina) sebagai inferior dan tidak layak memimpin, serta mengukuhkan dominasi ekonomi-politik kolonial.

Masyarakat acapkali terbawa kisah versi kolonial terhadap Stereotip Melayu malas”, bahkan mengambil pepatah atau ungkapan Orang Melayu, menjadi rujukan sungsang. Sebut saja sebuah pepatah Melayu, 

Biar rumah condong, asal gulai lemak”. 

Pepatah ini seolah dimaknai, biar malas dan miskin yang penting makan enak. Padahal pepatah “Biar rumah condong, asal gulai lemak” bermakna bahwa “walaupun kita tidak kaya, tetamu yang datang ke rumah kita mesti dilayani sebaik mungkin”.

Ada pula ungkapan nelayan di pesisir Bedagai, Pagurawan, Batubara dan sekitarnya di pesisir timur Sumatera Utara, yang berbunyi,

Kojo seribu, tak kojo limaratus, kojo tak kojo seribu limaratus”.

Ungkapan ini sering menjadi ejekan akan kemalasan nelayan Melayu. Padahal ungkapan ini merupakan sistem kerja nelayan mengikuti musim laut dan pembagian kerja.  

Nelayan di wilayah itu mempunya sistem kerja “Kerja seribu, tak kerja limaratus, kerja tak kerja seribu limaratus”, artinya jika melaut saat musim tangkap, diumpamakan mendapat hasil seribu. Di luar musim tangkap, nelayan mesti punya stok atau persediaan ikan di dalam peti penampungan, stok inilah yang menjadi penghasilan jika tidak musim tangkap, cuma penghasilan akan setengah penghasilan saat musim tangkap.

Di luar nelayan yang pergi ke laut saat musim tangkap, dan men-stok penghasilan untuk di luar musim tangkap, ada pula orang yang berprofesi di luar nelayan, namun tetap di bidang ikan, misalnya pengepul ikan dan sebagainya di sekitar tempat pelelangan ikan. Justru orang yang berprofesi tidak melaut ini, yang diistilahkan ‘kojo tak kojo’ – kerja tak kerja, mereka bisa meraup untung lebih besar dari nelayan.

Budaya Kerja Orang Melayu

Budaya kerja orang Melayu secara umum ditandai dengan semangat kekeluargaan, gotong royong, dan nilai-nilai kebersamaan. Mereka cenderung menghargai hubungan baik, menjunjung tinggi etika dan norma sosial dalam lingkungan kerja, serta memiliki rasa hormat terhadap atasan dan rekan kerja. 

Beberapa aspek budaya kerja orang Melayu yang perlu diperhatikan:

·       Semangat Kekeluargaan

Budaya kerja orang Melayu sangat menekankan pentingnya hubungan kekeluargaan, baik secara internal dalam tim maupun dengan pihak luar. Hal ini tercermin dalam interaksi sosial yang hangat dan saling membantu.

“Jika tuan menjerat balam,

Bemban usah tuan sekahkan;

Jika sudah tertaut resam,

Bertungkus lumus hamba relakan”.

 

·       Gotong Royong

Prinsip gotong royong sangat dijunjung tinggi dalam budaya Melayu. Dalam bekerja, mereka cenderung saling membantu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Ini terlihat dalam suasana kerja yang harmonis dan saling mendukung.

“Bertaut laksana dengan madah.

Bila syair hamba bacakan;

Barang yang sulit menjadi mudah,

Bila bersama kita kerjakan”.

 

·       Etika dan Norma Sosial

Orang Melayu sangat menjunjung tinggi etika dan norma sosial dalam bekerja. Mereka menghargai sopan santun, tata krama, dan menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Hal ini menciptakan lingkungan kerja yang positif dan kondusif.

“Belat dahulu tuan rantun,

Ikan sesat macam selok;

Adab dahulu berkahwin santun,

Apa dibuat menjadi elok”.

 

·       Rasa Hormat

Menghormati atasan dan rekan kerja adalah hal yang penting dalam budaya kerja Melayu. Mereka menghargai hirarki dan perbedaan posisi, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

“Jika hidup tahu tuahnya,

Jika bercakap tahu turainya,

Jika duduk tahu hungku hangkahnya,

Jika tegak tahu hadapnya”.

 

·       Penekanan pada Kepuasan Batin

Selain pencapaian target kerja, orang Melayu juga cenderung memperhatikan kepuasan batin dalam bekerja. Mereka percaya bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab akan membawa kebahagiaan dan keberkahan. 

“Jikalau hendak lalu di titi,

Ambilkan kami sembarang buah;

Jikalau sudah sedap di hati,

Apa diazam menjadi tuah”.*






Komentar