
Oleh:
M. Muhar Omtatok
Asal-Usul dan Jejak Awal dalam Hikayat
Melayu
Seni ikat kepala dalam tradisi Melayu memiliki akar sejarah yang sangat
tua. Beberapa teks klasik memperlihatkan bagaimana hiasan kepala bukan sekadar
pelengkap busana, melainkan juga simbol status, kebesaran, dan marwah
seseorang.
Dalam Hikayat Abdullah, disebutkan
secara jelas aturan berpakaian dan pembahagian jenis persalin menurut pangkat
sosial:
“Maka datanglah persalin; jika akan jadi
Bendahara, lima ceper persalinannya; baju seceper, kain seceper, destar seceper, sebai seceper, ikat
pinggang seceper; jikalau anak raja-raja dan para menteri cateria empat ceper
juga, ikat pinggang tiada; jikalau bentara sida-sida, hulubalang tiga ceper;
kain seceper, baju seceper, destar
seceper...”
Petikan ini menunjukkan bahawa destar telah menjadi salah satu kelengkapan resmi
pakaian kebesaran dalam sistem sosial Melayu, menandai kedudukan dan darjat
pemakai.
Begitu juga dalam Hikayat Malim Deman,
salah satu teks tertua yang menyebut secara eksplisit hiasan kepala raja atau
pahlawan, terdapat keterangan seperti:
“Maka Malim Deman pun bersanggul destar balung raja-raja, bertengkolok
kain kuning bertekat emas.” (Dewan Bahasa & Pustaka, 1986)
Keterangan ini menegaskan bahawa istilah tengkuluk (tengkolok) sudah dikenal
dalam dunia hikayat Melayu lama dan dikaitkan erat dengan simbol kebesaran,
kekuasaan, dan adat istana.

Istilah dan Penggunaan: Destar, Tanjak,
dan Tengkolok
Menurut Wan Yahaya Abdullah dalam Destar Warisan Malaysia (2004), istilah
tengkolok, tanjak, dan destar pada dasarnya merujuk kepada jenis penutup kepala
lelaki Melayu yang dibuat daripada kain dilipat serta diikat menurut bentuk
tertentu.
Perbedaan utama ketiganya bergantung kepada daerah dan status sosial pemakai:
- Tengkolok → dipakai oleh raja dan bangsawan.
- Destar → digunakan oleh rakyat biasa.
- Tanjak → cuma istilah umum yang boleh merujuk kepada pelbagai bentuk dan gaya
lipatan.
Buku tersebut juga memperincikan lebih daripada 30 jenis lipatan (atau solek),
seperti Belah Mumbang, Bunga Batu, Bunga
Padi, Bunga Sekaki, Bunga Tanjung ,Cogan
Daun Kopi, Daun Kacang, Ikal Mayang, Jantung Pisang, Kacang Dua Daun, Kuntum
Tak Jadi, Limau Purut, Mumbang Belah Dua, Mumbang Tidur, Pucuk Pisang Patah, Pucuk
Rebung, Sekelongsong Bunga, Seludang, Sirih Kembar, Anak Gajah Menyusu, Ayam
Patah Kepak, Balung Ayam, Belalai Gajah, Lang Menyongsong Angin, Dendam Tak
Sudah, Getam Budu, Pari Mudik, Sarang Kerengga, Kacang Dua Helai Dau; yang masing-masing mempunyai falsafah dan
lambang tersendiri.

Tengkuluk dalam Budaya Melayu Sumatera
Timur dan Sumatera Utara
Dalam konteks Melayu di Sumatera Utara, istilah Tengkuluk (juga dieja Tengkulok
atau Tengkolok) digunakan untuk menyebut seni ikat kepala lelaki bangsawan yang
dibuat daripada kain dan memiliki karangan (lipatan atau solek). Tradisi ini
sudah wujud sejak masa lampau, dan penggunaannya erat kait dengan status sosial
dan simbol kehormatan.
Bentuk tengkuluk bagi rakyat biasa baru muncul dari modifikasi atas reka bentuk
tengkuluk raja atau bangsawan. Secara tradisi, masyarakat awam tidak dibenarkan
memakai bentuk yang sama persis dengan milik sultan atau kerabat diraja. Namun,
aturan adat ini kini mulai longgar seiring perubahan zaman.
Dahulu, bahan tengkuluk daripada kain songket hanya diperuntukkan bagi golongan
bangsawan. Kini, bahan tersebut digunakan secara lebih umum. Di masa silam,
tengkuluk juga dianggap memiliki tuah dan marwah, bahkan kadangkala dimasukkan
rajah spiritual untuk menambah aura dan kharisma pemakai.
Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur, istilah Tengkuluk mempunyai makna yang
setara dengan Tanjak di wilayah Melayu lain, misalnya di Palembang. Namun, di
Sumatera Utara, Tanjak lebih sering digunakan untuk merujuk kepada salah satu
jenis lipatan “menanjak” atau disebut Setanjak.

Ragam Tutup Kepala dalam Tradisi Melayu
Sumatera Timur
Budaya Melayu Sumatera Timur mengenal beberapa jenis tutup kepala lelaki,
masing-masing dengan fungsi dan simbolnya tersendiri:

- Songkok
Terbuat daripada kain baldu, juga
disebut kopiah atau peci. Songkok bangsawan biasanya berpermukaan cekung di
tengah (Sultan fashion), sementara
yang rata dipakai umum. Ada pula Songkok Lebai (atau Lobei), berwarna putih,
yang dahulu dipakai oleh guru mengaji atau tokoh agama.

- Tengkuluk (Tengkolok / Tengkulok)
Kain penutup kepala yang umumnya dibuat
daripada songket sebagai tanda marwah dan kebangsawanan. Memiliki ragam bentuk
berdasarkan simbol dan karangan tertentu.

- Destar (Detar, Detagh, Deto)
Jenis tutup kepala lelaki yang biasa
digunakan di Pesisir Timur Sumatera Utara dan Siak, dipakai dalam acara adat
tertentu, dan berfungsi sebagai hiasan kepala berhias.

- Bulang Ulu (Sebulang, Sejumbang,
Semutar, Semujam)
Jenis ikatan kepala sederhana
berupa lilitan kain tanpa aturan lipatan tertentu. Biasanya dipakai oleh
masyarakat kebanyakan untuk ke bendang (sawah), ke laut, atau bekerja. Jenis
ini dianggap paling tua dan berfungsi praktis.

Jenis dan Bentuk Lipatan Tengkuluk di
Sumatera Timur
Ragam lipatan tengkuluk di Sumatera Timur sangat beragam, terdapat puluhan
ragam yang terbentang di wilayah Melayu di wilayah ini. Pembahagian bentuk
dasarnya antara lain:
- Seludang Buluh — Diibaratkan
seperti kelopak bambu yang membalut tunas; bentuknya sederhana dan belum banyak
mengenal solek, kabarnya sebagai awal bentuk tengkuluk.
- Belah Mumbang — Terinspirasi dari
bentuk putik kelapa muda; lebih kemas daripada Seludang Buluh.
- Setanjak / Tanjak — Bermakna
“menanjak” atau naik; dibuat dari kain segi empat yang dilipat menjadi segitiga
dan diberi tapak serta bengkung lipatan.
- Lacak — Lipatan pendek yang
sederhana, dipakai oleh siapa saja.
- Getam dan bentuk lain — variasi
hasil kreativitas tempatan.
Simpulan ujung kain pada tengkuluk disebut Garam
Sebuku dan memiliki makna simbolik tersendiri.
Dalam perkembangannya, bentuk dan solek tengkuluk banyak berkembang dari
tradisi istana Melayu Sumatera Timur, dipengaruhi pula oleh hubungan diplomatik
dan kebudayaan antar kerajaan Melayu di Nusantara. Seni ikat kepala ini menjadi
simbol yang bukan hanya menandakan martabat, tetapi juga melambangkan kehalusan
budi, disiplin adat, dan keindahan budaya Melayu.

Kesimpulan
Tengkuluk adalah warisan penting peradaban Melayu yang memperlihatkan
keterkaitan antara pakaian, kedudukan sosial, dan falsafah hidup. Dari teks
klasik seperti Hikayat Abdullah dan Hikayat Malim Deman hingga dokumentasi
moden dan tradisi Sumatera Timur, seni ikat kepala ini membentuk identiti
Melayu yang kaya makna simbolik - dari marwah raja hingga keseharian rakyatnya.
Kini, meskipun fungsi simboliknya mulai bergeser menjadi elemen budaya dan
fesyen, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap lipatan kainnya tetap
menjadi lambang kehalusan dan kebijaksanaan warisan Melayu.
Komentar