Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional di Indonesia,
sering pula disebut Bahasa Indonesia; walau dalam sejarahnya dulu tidak ada
ragam bahasa yang bernama Bahasa Indonesia, tetapi Bahasa Melayu yang nyatanya
dimasuki oleh kosakata dari bahasa asing dan bahasa daerah di luar Melayu,
itulah kini yang disebut Bahasa Indonesia. Namun pengucapan kata demi kata
dalam Bahasa Indonesia sekarang sudah berada di luar kaidah Bahasa Melayu itu
sendiri.
Saat ini bahasa yang disebut Bahasa Indonesia, semakin terasa berkembang, namun
serasa terlalu bebas dan sulit membedakan yang mana bahasa pasar serta yang
mana pula bahasa resmi. Televisi mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan
berbahasa yang lebih banyak perencah Jawa, Sunda, dan lainnya. Orang Melayu di
Sumatera dan pulau-pulau Melayu di sekitarnya atau Melayu di Borneo dipaksakan
harus mafhum mengalah atas perkembangan berbahasa di luar kaidah berbahasa
Melayu.
Saat Pemerintahan Orde Baru misalnya, yang memaksa pemakaian kata
"Desa". Terpaksalah wilayah-wilayah yang berada di luar Pulau Jawa
mengubah "Kampung" menjadi "Desa". Pada semua negeri-negeri
Melayu mengenal kampung, bukan desa. Demikian juga kata "Lurah" yang
dalam Bahasa Melayu bermakna tanah rendah di antara gunung; lembah; alur atau
lekuk memanjang pada papan, dan lain- lain; akhirnya dijadikan pengganti untuk
Penghulu Kampung, Ketua Kampung, atau Kepala Kampung. Di Sumatera Timur, hingga
kini tak mengenal RT/RW seperti halnya di Pulau Jawa. Hingga tak ada Pak RT
seperti ceritera sandiwara televisi soal perkampungan di Jawa.
Jika televisi yang tersiar dari Jakarta menyebut
beberapa kata, acap kali boleh mengakibatkan salah memahami. Ubi bagi Orang
Melayu adalah pokok berumbi yang disebut di Jawa dengan kata Singkong atau Ketela,
Orang Jakarta akan mengartikan Ubi dengan arti Umbi atau juga Ubi Rambat.
Kata kemarin dalam bahasa Melayu adalah dua hari
sebelum hari ini, namun sering orang di Jakarta menyebut kemarin untuk sehari
setelah hari ini, di Melayu itu disebut semalam.
Kata seronok dalam bahasa Melayu berarti dapat
menyenangkan atau menyedapkan hati. Namun berbeda diucapkan TV, yang maknanya
justru berbeda, mengarah ke arah menggairahkan.
Dalam sebuah percakapan di jejaring dengan seorang
kawan lelaki yang lebih muda usianya dari saya, tinggal di Jakarta.
Saya menulis, “Terimakasih adinda”. Lalu ia membalas, “Ada ada aja Abang ini.
Saya kan cowok, kok dibilang adinda”.
Masih banyak contoh-contoh berbahasa yang terasa berbeda dalam sebuah Negara
ini. Ada kata Timpuk, Amburadul, Bocah, Gede, Cowok, Cewek, untuk menyebut
Lontar/Lempar, Centang Perenang, Kanak-Kanak, Besar, Lelaki, Perempuan, dan
masih banyak kata dalam bahasa bukan Melayu yang diucapkan latah oleh Orang
Melayu buatan baharu. Memang beratus-ratus kata bukan Bahasa Melayu dihidangkan
setiap hari di televisi. Dan kepintaran Orang Melayu tiada banding, karena
Orang Melayu mampu memahami juga apa-apa yang dicakapkan kotak bersuara itu.
Namun nyatanya laksana tua nyanyok, Orang Melayu turut latah pula memakai kata-kata
tersebut dan melesapkan kata-kata Melayu milik Atok Moyangnya.
Akibat pengaruh media yang tak terbendung lagi, anak-anak belia di Sumatera,
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, ataupun Borneo misalnya, sekarang ini sangat
gemar bercakap macam orang Betawi atau Sunda. Padahal mereka sebenarnya belum
pun pernah menginjakkan kaki ke Pulau Jawa. Hingga apa-apa yang diucapkan
terasa lucu dan membuat saya mengerenyam kepala serasa berkelemumur sebesar
tungku. Kata "Dong" yang maknanya kira-kira "Lah" turut diucapkan
bersama-sama dengan kata "Deh" dan "Sih", untung saja kata
"Sekolah" tidak menjadi "Sekodong", kata "Belah"
tak diucapkan "Bedong. Bahasa Melayu pun mengalah, apa lagi orang di
Pulau Jawa lebih banyak tahu bahwa Melayu itu Malaysia, Melayu di Sumatera,
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, atau Melayu Borneo; mungkin dianggap tak
pernah ada.
Akhir-akhir ini ada juga yang menggembirakan, yaitu stasiun-stasiun TV di
Jakarta ada juga yang mengembalikan beberapa kata Melayu lama menjadi kata yang
sering diucapkan. Sebut saja misalkan kata "Galau" yang dalam Bahasa
Melayu bermakna bising, kalut, bergelora perasaan. Ada pula kata
"Begal" yang dalam Bahasa Melayu bermakna penyamun. Membegal maknanya
adalah menyamun, merampas (di jalan). Pembegalan maknanya adalah penyamunan
atau perampasan. * (M Muhar Omtatok)
Komentar