Songket Melayu Batubara di Provinsi Sumatera Utara
sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ini dibuktikan berdasarkan sumber tertulis
"Mission to East Coast of Sumatera 1823" yang ditulis John Anderson,
seorang utusan Inggris yang mengunjungi Sumatera Timur termasuk Batubara pada
saat itu.
Anderson mencatat semua kegiatannya selama
berkunjung ke kawasan itu, mulai 30 Desember 1822 sampai 5 April 1823. Misi
Anderson saat itu adalah memperluas perniagaan Inggeris dan mengenali
hasil-hasil perdagangan dari kawasan Sumatera Timur.
Anderson menjelaskan bahwa pada saat itu orang Melayu Batubara telah mengenakan pakaian khas yang bahannya terbuat
dari sutera atau cindai dan kapas dengan pola-pola
berbentuk indah. Beberapa diantaranya dengan baik dibuat dari benang emas. Pakaian buatan mereka itu
sebahagian juga terbuat dari bahan benang sutra yang kasar.
Dahulu dalam khazanah Melayu, songket hanya dipakai golongan bangsawan - keluarga kerabat diraja dan orang besar negeri. Perkembangan berikutnya, seluruh Orang Melayu memakai songket, dan dibedakan pada motif serta tata aturan adat tertentu. Kehalusan tenunan dan
kerumitan ragi atau motif corak songket ketika itu
menggambarkan pangkat dan kedudukan tinggi seseorang pembesar.
Di Sumatera, Songket atau Sungkit telah
terkenal sejak abad ke-13 yang lampau; kita sebut saja Songket Melayu
Batubara, Minangkabau, Siak atau Songket Melayu Palembang. Sejarah dari mana
datangnya kain songket itu tidak dapat dipastikan dengan tepat, namun dan asal
usul perkataan songket dikatakan berasal daripada sungkit ‘menyungkit’, karena proses
menenun dengan menyungkit.
Songket Melayu Batubara kuno, kabarnya
memiliki motif paling banyak dibanding motif-motif kuno lain di daerah lain di
Sumatera. Disebut Songket Batubara karena khas daerah Kedatukan Batubara, walau
juga ditenun terbatas juga di Bedagai, Tebingtinggi, Asahan dan lainnya masa itu.
Perkembangan waktu, juga dikenal Songket Serdang, Langkat, Deli dan sebagainya. Meski
bermunculan kreasi Songket kekinian, Songket
Batubara masih tetap menjadi pilihan utama, karena nilai sejarah, filsafat,
supernatural dan budaya yang sudah tercatat
keindahannya.
Tradisi Songket Melayu di Sumatera diperkirakan
muncul pada masa abad ke-7 hingga ke-13, hal ini bisa ditelusuri dari kejayaan
kerajaan, sebut saja Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai jalur perdagangan
antara India dan Tiongkok, menjadi pusat akulturasi budaya, termasuk dalam
kerajinan tenun. Teknologi tenun dari India, Tiongkok, dan Arab
memengaruhi tenun tradisional Melayu Sumatera, seperti kain songket.
Pada abad ke-16, Kepulauan Melayu yang selanjutnya
disebut Nusantara, menjadi bagian dari
jaringan perdagangan dunia, termasuk perdagangan
tekstil. Pelabuhan-pelabuhan di Nusantara menjadi tempat bertemunya
pedagang dari berbagai wilayah. Pada abad ke-19 (1850-1870), tren kain dunia
semakin tanpa batas. Kain didatangkan dari berbagai daerah sehingga songket pun
melampaui wilayah lain serta ditenun di beberapa wilayah. Pada abad ke-20, Hindia
Belanda menjadi pasar utama tekstil impor dari berbagai negara. Pada
tahun 1920-an, populasinya yang besar menjadikan Nusantara pasar yang menarik
bagi pedagang tekstil. *(M Muhar Omtatok)
Komentar