Oleh:
M Muhar Omtatok
Puteri Hijau bagi Orang
Melayu di Sumatera Utara, khususnya Melayu Deli, laksana khazanah yang masuk
dalam berbagai ruang kemelayuan, baik hikayat, sejarah, adat resam, bahasa, kewiraan,
dan lainnya; yang bercampur baur antara budaya tutur dan data.
Sja’ir
Puteri Hidjau (Syair Puteri Hijau) gubahan A. Rahman adalah
syair yang sangat populer di Sumatera Utara dan Aceh. Sejak terbit pertama kali
tahun 1924 sampai tahun 1962, Sja’ir Puteri Hidjau telah mengalami cetak ulang
delapan kali. Bahkan Jahja pun menyusun sebuah hikayat berbahasa Aceh yang
bertajuk Hikajat Poetroe Hidjo
terbit tahun 1931, yang kabarnya terilhami dari Sja’ir Puteri Hidjau versi Melayu Deli yang disusun A Rahman.
Puteri Hijau begitu
merasuk dalam berbagai khazanah, bukan saja Melayu di Sumatera Utara dan Aceh,
tapi beberapa daerah lain pun mengenal Puteri Hijau dalam hikayat kesukuannya,
seperti Karo dan Simalungun, serta Siak dan Bengkulu; dengan berbagai versi
kisah.
A Rahman membuat judul Sja’ir Puteri Hidjau (Suatu Tjerita jang
Benar Terdjadi di Tanah Deli). Ia begitu yakin benar adanya Puteri Hijau
tersebut, karena di masa ia menyusun syair itu hingga saat ini, Puak Melayu
khususnya Melayu Deli masih meyakini adanya Puteri Hijau. A Rahman meyakinkan
keberadaan Puteri Hijau dengan cara santun dan berbahasa Melayu yang beradab,
tampak dari bait-bait awal dalam Syair Puteri Hijau itu:
Bismi’llah
itu permulaan kata,
Dengan nama Allah Tuhan semesta,
Saya mengarangkan satu cerita,
Orang dahulu empunja warta.
Adapun
maksud sya’ir dikarangkan,
Bukannya pandai saya tunjukkan,
Cerita yang benar saya khabarkan,
Lebih dan kurang harap maafkan.
Karena
saya bukan pengarang,
‘Ilmu tiada fahampun kurang,
Hina dan miskin bukan sebarang,
Duduk bercinta di negeri orang.
Cerita
ini nyata terjadi,
Di Sumatera Timur, di tanah Deli,
Cerita dulu lama sekali,
Hikayat seorang raja asli.
Belakang haripun muncul beberapa jurnal tentang pentelaahan Syair Puteri Hijau dari berbagai disiplin ilmu, semisal filologi, nilai-nilai budaya, telaah sejarah, teks serta lainnya.
Begitu sakral dan melekatnya Puteri Hijau bagi Orang Melayu, Sahril dalam Analisa Struktur Aktan dan Model Fungsional Legenda Putri Hijau, ada menulis: Pada tahun 1970-an, di Pesisir Sumatera Timur sering ada pementasan sandiwara keliling dari satu kampung ke kampung berikutnya. Di saat kelompok sandiwara ini hendak mementaskan kisah Puteri Hijau, maka sebelum pementasan diadakan upacara menghanyut lancang kuning ke laut. Konon menurut Bapak Kamaruddin, "Kalau upacara ini tidak dilakukan, akan terjadi petaka bagi kelompok sandiwara itu". Peristiwa tragis pernah terjadi pada tahun 1960-an di Gedung Kesenian Medan. Ketika itu ada satu kelompok teater hendak mementaskan kisah Puteri Hijau, karena tidak ada pelaksanaan upacara menghanyut lancang kuning, maka pada saat pementasan tiba tiba datang angin taupan hingga gedung kesenian itu ambruk.
Merujuk pada silsilah RajaAceh seperti dalam buku "Tarikh Aceh dan Nusangtara" halaman 576, disebutkan Putri Hijau adalah anak dari Raja Pueri yang menikah dengan Sulthan Mansyursyah bin S. AhmadPerak. Keturunan Sulthan Ala Uddin Riayat Syah atau Saidin Mukammil. Beliau memiliki enam orang anak. Maharaja Diraja, Raja Putri, Putri Diraja Indra Ratna Wangsa, Mahmud Syah, Raja Hussain Syah dan Meurah Upah.
Dari sumber kumparan,
Dr Husaini Ibrahim (Ilmu Sejarah, FKIP Unsyiah), mengatakan, “Salah satu di antaranya adalah Puteri dari
Raja Puteri yaitu Puteri Hijau kemudian menikah dengan Raja Umar S Abdul Jalil
Johor yang kemudian melahirkan keturunan Radja Hasjim. Jadi saya lebih yakin
yang dimaksud dengan Puteri Hijau seperti legenda yang berkembang hari ini
adalah Puteri Hijau yang dimaksud dalam silsilah ini”.
Berdasarkan hasil
bacaannya, Dr. Husaini mengatakan silsilah tersebut masih berhubungan dengan
Sultan Iskandar Muda, karena Putri Hijau adalah anak dari Raja Puteri sementara
Sultan Iskandar Muda anak dari Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa.
“Raja Puteri dan Puteri
Diraja Indra Ratna Wangsa adalah adik kakak. Sementara Putri Hijau dan Sultan
Iskandar Muda mereka adalah sepupuan”.
Sedangkan Tengku
Luckman Sinar dalam Sejarah Kota Medan
Tempo Doeloe (1991), tampak menempatkan
Puteri Hijau sebagai salah satu setting sejarah perlawanan Kerajaan Aru
yang berpusat di Deli -Tua terhadap serangan Kerajaan Aceh, sekaligus juga
menjadi latar etnis Melayu di Sumatera Timur kala itu.
Dada Meuraxa dalam Sejarah Kebudayaan Suku-Suku Di Sumatera
Utara (1973), menuliskan bahwa di luar kisah dongeng Puteri Hijau, cerita
ini benar terjadi di Deli – Tua dalam
abad ke 15, yang dimaksud Puteri Hijau
adalah istri Sultan Husin. Puteri Hijau meminta bantuan Portugis dan Johor saat
perang melawan Aceh.
“ Ratu yang amat
masyhur itu dapat kembali mendirikan Deli-Tua atas bantuan Johor 1540, tapi
tahun 1564 Deli-Tua kalah kembali di bawah daulat Aceh, sehingga Puteri Hijau
ditawan dibawa ke Aceh, tapi sampai di kuala Jambu Air Langsa diduga timbul
angin ribut, perahu-perahu yang membawa Puteri Hijau yang cantik ini telah
tenggelam dan hilang. Puteri Hijau yang ‘pertama’ berakhir, inilah yang disebut
oleh rakyat dongeng-dongeng diambil naga”, begitu tulis Meuraxa.
Namun apapun itu,
dongeng atau fakta, Puteri Hijau begitu
merasuk bagi Melayu di Sumatera Utara hingga saat ini. Bersama Adat resam,
bahasa dalam tamadun Melayu di Sumatera Utara yang terjaga turun temurun dari
susur galur kemelayuan, walau kian
terkikis di masa kini.*
Medan, 1 September 2021
Komentar