Oleh: M Muhar Omtatok
Kalau kita ingin
mengekspresikan sikap kepada seseorang yang tidak disukai, ada beberapa kata
atau istilah yang bisa dipakai, tergantung konteks dan tingkat
kehalusannya. Untuk mengungkapkan
ketidaksukaan, tentu banyak istilah umum termasuk "tidak suka",
"benci", "kesal", atau "muak", dengan tingkat
kekasarannya bervariasi. Pilihan kata bergantung pada seberapa kuat emosi
dan seberapa formal atau informal situasi tersebut.
Kita bisa saja memakai
pemilihan kata dalam contoh kalimat berikut:
"Saya kurang
berkenan dengan cara mereka berbicara" (ini bisa saja kita sebut halus).
"Saya kesal karena
dia tidak menepati janjinya" (ini mungkin dalam tingkatan sedang).
"Saya muak
sikapnya yang mau menang sendiri" (boleh saja ini dirumpunkan kasar).
Jadi pilihan katanya bisa
disesuaikan dengan situasi, kalau santai bisa “mengesalkan”, kalau formal bisa
pakai “kurang berkenan/kurang pantas”. Pilihan kata atau diksi bergantung pada
beberapa faktor kunci, yaitu makna kata, kebenaran tata bahasa, ketepatan,
kelaziman, keserasian, serta konteks dan tujuan komunikasi.
Perlu juga dipahami,
walau ingin mengekspresikan sikap kepada seseorang yang tidak disukai, nyatanya
wawasan dan pengetahuan seseorang sangat memengaruhi pemilihan kata yang ia
gunakan, karena bahasa adalah cermin dari cara berpikir dan pengalaman hidup.
Wawasan yang luas akan
memilih kata yang kaya dan variatif. Seseorang dengan pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam cenderung menggunakan kosakata yang lebih beragam, tepat, dan
ekspresif untuk menyampaikan ide secara efektif. Orang yang memiliki
wawasan luas tidak hanya punya banyak informasi tetapi juga memahami nuansa
makna, sehingga mampu memilih kata yang paling sesuai untuk konteks komunikasi
mereka, membuat ucapan mereka lebih kaya dan menarik. Bisa memilih kata sesuai
situasi, misalnya “kurang sopan” untuk formal, “menyebalkan” untuk santai, lebih
sensitif terhadap perasaan orang lain, sehingga menghindari kata kasar.
Sebaliknya, pengetahuan
yang terbatas maka pilihan katapun terbatas
dan lebih lugas dalam mengasari. Pengaruh Lingkungan Sosial juga sangat
mempengaruhi. Orang yang terbiasa di lingkungan beradab dan beradat akan banyak
menggunakan bahasa halus, kiasan dan bermutu.
Dalam
tradisi bahasa Melayu
Dalam tradisi bahasa
Melayu, ada tingkatan bahasa yang digunakan sesuai dengan lapisan sosial dan
konteks. Secara garis besar bisa dibagi menjadi dua:
1. Bahasa Melayu Tinggi
Dipakai oleh ‘Orang
Berbangsa’ baik dari nasab atau wawasan dan pengetahuan. Cirinya halus, penuh
sopan santun, banyak memakai kiasan. Bahasa Melayu Tinggi biasanya menghindari
kata kasar, diganti dengan istilah yang lebih lembut, banyak dipengaruhi oleh
adat istiadat dan protokol istana masa lampau.
2.
Bahasa Melayu Kebanyakan
Dipakai secara luas,
terpengaruh bahasa Melayu lingua franca, sifatnya lebih langsung dan sederhana.
Tampak tidak banyak kiasan atau penghalusan. Apa adanya, kadang lebih tegas
atau keras, serta lebih mudah dipahami oleh semua lapisan.
Jadi perbedaan utama pada Bahasa Melayu Tinggi
dan Bahasa Melayu Kebanyakan, yaitu penuh adab, sopan, kiasan, dan indah
didengar pada Bahasa Melayu Tinggi.
Sedangkan pada Bahasa Melayu Kebanyakan terlihat lebih lugas, sederhana
dan praktis.
Dalam konteks menyindir
atau menegur untuk mengekspresikan sikap kepada seseorang yang tidak disukai
juga terlihat perbedaan. Bahasa Melayu Tinggi biasanya menggunakan sindiran
halus tapi dalam. Bahasa Melayu Kebanyakan akan lebih langsung kemakna yang dituju.
Perbandingan sindiran
keras dalam Bahasa Melayu menurut tradisi lampau, tampak dalam contoh berikut:
·
Pada situasi mengkritik orang sombong,
mungkin Bahasa Melayu Kebanyakan akan langsung menyebut, ‘Dasar pongah, karang
jatuh baru tahu rasa’. Namun Bahasa Melayu Tinggi akan punya banyak cara, misalnya menyebut ‘Sepandai-pandai
tupai melompat, akhirnya jatuh juga’.
·
Pada situasi menyindir orang yang tak
tahu berterimakasih. Mungkin Bahasa Melayu Kebanyakan akan langsung menyebut, ‘Dasar
tak tahu berterimakasih, bukan sikit aku sudah menolong dia’. Namun Bahasa
Melayu Tinggi akan punya banyak cara
juga, misalnya cukup berkata ‘Habis manis sepah dibuang’.
·
Pada situasi menyebut orang banyak
bicara, Bahasa Melayu Tinggi misalnya berkata, ‘Air beriak tanda tak dalam’.
·
Pada situasi seseorang sombong sekali
setelah naik jabatan, Bahasa Melayu Tinggi misalnya berkata, “Bagai kaduk naik
junjung, tinggi tidak, rendah pun tidak”. Analogi ini menggambarkan orang yang
tidak memiliki kemampuan, ilmu, atau kedudukan yang sesuai, namun tiba-tiba
mendapatkan jabatan atau kekuasaan, akibatnya, orang tersebut menjadi sombong
atau bertindak aneh, merasa seperti tumbuhan rambat kaduk yang seharusnya tidak
berada di atas junjung atau lanjaran.
Pantun Melayu sebagai warisan
budaya takbenda yang berfungsi sebagai alat komunikasi sosial, bimbingan
moral, dan ekspresi perasaan. Maka dalam suasanya mengekspresikan sikap kepada
seseorang yang tidak disukai, tentu sudah dipakai sejak zaman dahulu.
Orang
peringgi membawa dulang,
Parang
tak tahu tetak di taman;
Orang
berbudi kita berhutang,
Orang
tak tahu diri - elok dilesap zaman.
(Sindiran untuk orang
tidak tahu diri).
Pucuk
pauh delima batu,
Akhirnya
pauh kerat sebelah;
Hidup
sombong tiada mutu,
Akhirnya
jatuh hilanglah marwah.
(Sindiran untuk orang
sombong).
Burung
tempua bersarang tinggi,
Jatuh
kedidi di batang duri;
Mulut
bercarut tiada berisi,
Merugikan
diri sepanjang hari.
(Sindiran untuk orang
bermulut kasar / suka menghina).
Biadi
seluk tolong dikerat,
Biar
tak datang hangalan bala;
Budi
sedikit tuntutan berat,
Diberi
paha minta kepala.
(Sindiran untuk orang
serakah dan tamak).
Banyak
siakap beraga-raga,
Laksana
senohong tiada durinya;
Banyak
cakap isi tiada,
Laksana
tong kosong nyaring bunyinya.
(Sindiran untuk orang banyak bicara tapi tidak berisi).
‘Berbulu
Pedal’ dan ‘Mestika Tahi’
Adalah ungkapan
‘Berbulu Pedal’ dan ‘Mestika Tahi’ yang begitu sering terdengar dalam Bahasa
Melayu di Sumatera Utara. Dua ungkapan ini, sering menjadi ekspresi sikap kepada
seseorang yang tidak disukai dalam tradisi Melayu tempatan.
Ungkapan ‘Berbulu
Pedal’ terdiri dari dua kata, berbulu bermakna memiliki bulu, dan pedal adalah empedal,
tembolok atau kantong penyimpanan makanan di leher pada hewan seperti unggas, yang berfungsi menampung makanan
sementara untuk dicerna nanti.
Dalam ungkapan ini,
seolah si pengujar memiliki pedal atau empedal yang berbulu, sehingga ia
terganggu pencernaannya, akibatnya bisa muntah karena pedalnya berbulu.
Ungkapan ini mengekspresi
sikap dan diucapkan saat suasana bersua dengan seseorang yang membuat si
pengujar tidak nyaman atas sikap dan ucapan seseorang itu,
Contoh kalimatnya, ‘ Berbulu
pedalku menengok si fulan itu tadi, macam dia saja yang tahu perkara itu, … ’.
Ungkapan ‘Mestika Tahi’
ditujukan pengujar kepada seseorang yang tidak disukai, karena seseorang itu
memiliki aura memuakkan, yang bisa saja disebabkan dari seseorang yang sikap,
ucapan, atau cara pikir yang di luar peta realitas dan tidak berkelas.
Jika mestika merupakan
batu sakti nan gemala yang muncul dari benda tertentu, seperti mestika lipan
yang muncul dari lipan, mestika kelapa yang muncul dari buah kelapa, mestika
embun sebagai perumpamaan seri wajah dan kesehatan, serta lainnya. Maka
perumpamaan ‘Mestika Tahi’ merupakan ibarat mestika yang wujud dan berasal dari
ampas kotor sisa yang tak sanggup dicerna. Jadi ungkapan ‘Berbulu Pedal’ dan
‘Mestika Tahi’ merupakan ekspresi sikap gaya Melayu di Sumatera Utara kepada seseorang
yang membuat tidak nyaman dan tidak disukai, dalam tingkat kekasaran yang
bergantung siapa yang mengucapkan dan cara mengucapkannya.*
Komentar