“Busuk Hati” Dan “Tinggi Sebenang”

 


Oleh: M Muhar Omtatok

Beberapa orang lelaki Melayu di pinggiran Kota Medan, petang tadi bersembang sembang di sebuah kedai kopi. Beragam bahan cerita yang mereka cakapkan. Biasalah kalau Orang Melayu berbincang-bincang, seserius apapun yang dibicarakan, ada juga kelakar yang muncul.

Terkadang ada juga setengah berghibah, ghibah atau mengumpat bagi Orang Melayu disederhanakan istilahnya – agar terkesan tidak berdosa, menjadi kata “Terkenang”. Makanya kalimat yang diucapkan kira-kira seperti ini, “Terkenangnya, tahu tak kejadian si fulan tu, sekarang dia ….”.

Maka muncul pantun kilat Orang Melayu:

“Bukan ketupat,

Tapi lemang;

Bukan mengumpat,

Tapi terkenang”.

 

Seorang lelaki yang berbual di sebuah kedai kopi itu, terkenang akan seorang kenalan mereka yang masih Melayu juga, kata kawan itu, orang yang ia cakapkan itu ‘Tinggi Sebenang’ . Ia menceritakan alasannya, kenapa ia menyebut orang yang ia bicarakan disebutnya tinggi sebenang.

Seorang lelaki yang lain, justru menilai orang yang jadi bahan pembicaraan mereka itu, bukan cuma ‘Tinggi Sebenang’, tapi juga punya sifat ‘Busuk Hati’, tentu ia memberi alasan juga.

Frasa  ‘Busuk Hati’ dan ‘Tinggi Sebenang’ merupakan dua ungkapan Melayu, yang bermakna sifat tidak baik. Arti ‘Busuk Hati’ adalah sifat buruk seseorang yang ditandai dengan iri hati, dengki, suka mencari kejelekan orang lain, berkhianat, penuh curiga dan jahat. Orang yang ‘Busuk Hati’memiliki pikiran dan perasaan yang kotor, hanya mampu melihat keburukan pada orang lain, dan cenderung melakukan perbuatan yang merugikan atau menjelek-jelekkan orang lain. 

Sedangkan frasa ‘Tinggi Sebenang’ bisa dimaknai  besar kepala, sombong, angkuh atau congkak, sikap merasa diri lebih hebat, lebih tinggi, atau lebih penting daripada orang lain, sehingga seringkali meremehkan, menyepelekan, atau tidak menghargai orang lain, dan senang kalau ‘diompak-ompak’ ditinggikan walau tak wajar untuk ditinggikan.

Apakah “Busuk Hati” dan “Tinggi Sebenang” adalah sifat atau karakter Orang Melayu?

Tentu tidak, karena tidak juga adil memunculkan stereotip atau penilaian yang tidak seimbang terhadap Orang Melayu. Ini penelaian yang terlalu  menggeneralisasi tanpa diferensiasi.  Para ahli juga sepakat bahwa sifat-sifat buruk itu bukan bawaan genetik, melainkan hasil dari sejarah apakah itu penjajahan atau feodalisme, kondisi ekonomi, serta pola sosial budaya.

Kalau kita bicara tentang sifat negatif orang Melayu, biasanya ini datang dari hasil pengamatan para ahli sosiologi, antropologi, sejarahwan, dan budayawan. Tentu sifat ini bukan mutlak dimiliki semua orang Melayu, tetapi dianggap sebagai ciri sosial yang sering muncul dalam kajian budaya saja.

Memang ada beberapa kajian tentang itu. sebut saja "Malay Sketches", buku yang ditulis oleh Sir Frank Swettenham dan diterbitkan pada tahun 1895, berisi kumpulan esai dan cerita pendek tentang kehidupan dan masyarakat Melayu di bawah sudut pandang kolonial Inggris pada akhir abad ke-19, berdasarkan pengalaman dan pengamatannya sebagai administrator kolonial di Malaya. Buku ini memberikan gambaran yang detail dan menarik tentang budaya, tradisi, dan kehidupan di wilayah itu. Banyak kekaguman Swettenham terhadap Orang melayu yang ia sebut  bersopan santun, beradab serta peramah. Swettenham melihat wanita Melayu sebagai perempuan bijak bertutur, pandai mengambil hati serta kuat memegang rahasia. 

Namun Frank Swettenham mencatat juga sifat buruk Orang Melayu dalam pengamatan dia. Ia menyebutkan, Orang Melayu itu suka mengurusi urusan jiran tetangga dan mengumpat. Orang Melayu zaman itu suka berdendam, dan jika dendam itu tidak dapat dibalas pada orang yang dituju, siapa saja yang ia jumpai menjadi kambing hitam, tidak penting itu lelaki atau perempuan, tua atau muda. Swettenham juga menyebutkan, walaupun Orang Melayu suka berbudi, mereka sebenarnya mengharapkan balasan.

Profesor Datuk Dr. Shamsul Amri Baharuddin,  seorang ahli akademik dan ilmuwan Malaysia, pengkhususan dalam sains sosial dan antropologi sosial. Beliau merupakan pengarah pengasas kepada Institut Kajian Etnik (KITA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), menyebutkan tentang ‘Busuk Hati’, bahwa dalam masyarakat Melayu sering ada persaingan yang tidak sehat, terutama dalam soal pangkat, kuasa, dan kekayaan. Disini muncul ngkapan, “biar sama jatuh, asal jangan dia yang lebih tinggi”.

Sejarahwan mencatat, sejak zaman kolonial hingga kini, masyarakat Melayu sering kali terbelah akibat pengaruh elite politik, sehingga sulit membangun solidaritas jangka panjang. The Myth of the Lazy Native (Mitos Pribumi Malas) adalah buku karangan ilmuwan dan politikus Malaysia, Syed Hussein Alatas. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1977. Beliau menyebut bahwa feodalisme Melayu melahirkan sikap bangsawan merasa lebih tinggi daripada rakyat biasa. Rakyat dianggap “hamba” atau “orang suruhan”, sementara bangsawan hidup dalam kemewahan tanpa kerja keras. Kesombongan ini membuat jarak sosial sangat lebar dan menekan rakyat.

Terkenang akan Sejarah Melayu, Tun Seri Lanang, dalam teks klasik ini diceritakan banyak raja dan bangsawan yang murka apabila merasa direndahkan, meski sedikit saja. Ketika Singapura diserang todak, seorang anak kecil cerdas bernama Hang Nadim memberi solusi agar rakyat selamat. Namun, setelah berhasil, Sultan Mahmud Shah yang membunuh Tun Mutahir sekeluarga karena fitnah, dan perintah bunuh Hang Nadim hanya karena merasa tersaingi kecerdasannya. Dan kini Singapura tak lagi berraja Melayu.

Fitnah terhadap Tun Mutahir merujuk kepada satu peristiwa sejarah dalam Kesultanan Melaka di mana Bendahara Tun Mutahir dan keluarganya dihukum bunuh oleh Sultan Mahmud Shah akibat ‘Busuk Hati’ golongan pembesar. Peristiwa ini menjadi pengajaran tentang bahaya sifat tamak, dengki, dan iri hati yang membawa kepada kejatuhan Melaka dan penjajahan. Walaupun keluarganya difitnah, warisannya terselamat melalui anak-anaknya, seperti Tun Fatimah, yang melahirkan keturunan Diraja di Johor dan Perak. 

Hal ini dipandang ahli sejarah sebagai bentuk kesombongan kuasa bangsawan, apakah ini ‘Busuk Hati’, tapi bukan ‘Tinggi Sebenang’ karena ia memang tinggi masa itu.

Clifford Geertz, Kajian Antropologi Nusantara, menyoroti budaya Melayu lama dimana bangsawan menonjolkan status simbolik baik busana, gelaran, adat istana untuk memisahkan diri dari rakyat. Sikap ini sering dianggap angkuh, tetapi sebenarnya bagian dari sistem simbolik feodal saja.

Tunjuk ajar Melayu warisan Moyang ada berpesan, “Sombong membawa rebah, angkuh membawa musnah, besar kepala membawa padah”.

Tunjuk ajar  ini adalah peringatan bahwa “Busuk Hati” dan “Tinggi Sebenang” akan membawa rebah, musnah dan padah. Artinya kesombongan, keangkuhan, dan kebesaran kepala akan berujung pada rebah yaitu kejatuhan, musnah atau kehancuran, dan padah merupakan petanda bakal jauh tuah. Sifat-sifat ini dibenci Tuhan karena menunjukkan sifat Iblis, meremehkan orang lain, menolak kebenaran, dan berujung pada siksaan.*

Komentar