Semalam di Pulau Kampai

 


Pulau Kampai di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dulu memiliki sejarah panjang yang terkait dengan Kerajaan Aru, Aceh, dan Kesultanan Langkat serta perannya sebagai pusat perdagangan maritim di Selat Malaka. Pulau ini juga dikenal dengan sebutan "Kampai", "Kompei", atau "Pulau Kampai". 

Pulau Kampai diduga menjadi bagian dari Kerajaan Aru sejak abad ke-8 Masehi. Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, Pulau Kampai menjadi pusat perdagangan yang ramai di Selat Malaka, ditandai dengan keberadaan industri manik-manik dan tembikar dari Tiongkok. 

Manik-manik memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sudah ada sejak zaman prasejarah. Awalnya, manik-manik terbuat dari bahan-bahan alami seperti cangkang, tulang, dan batu. Seiring perkembangan zaman, manik-manik mulai dibuat dari kaca, logam, dan bahan-bahan lainnya. Mereka memiliki berbagai fungsi, mulai dari perhiasan, alat tukar, hingga simbol status sosial dan spiritual. Manik-manik yang ditemukan di Pulau Kampai banyak terbuat dari sejenis kaca.

Penemuan artefak keramik Tiongkok di Pulau Kampai menjadi bukti nyata interaksi antara kedua wilayah.  Jenis tembikar sebelum abad ke 7, bukti arkeologis menunjukkan adanya hubungan perdagangan antara Tiongkok dan Nusantara, namun belum masif. Penemuan keramik pada masa ini masih terbatas. Masa Dinasti Tang (abad ke-7-10 M), jenis tembikar dari Dinasti Tang, seperti Yue ware dan Cangsha ware, mulai banyak ditemukan di wilayah Sumatera ini.  Kemudian jenis tembikar masa Dinasti Song (Abad ke-10-13 M) yang berkualitas tinggi seperti celadon. Masa Dinasti Yuan dan Ming (Abad ke-13-17 M), perdagangan terus berlangsung, bahkan semakin meningkat. Keramik Ming dengan ciri khas biru putih  menjadi populer dan banyak ditemukan tidak Cuma di Pulau Kampai tapi di banyak tempat di Nusantara, apa lagi masa Dinasti Qing (Abad ke-17-20 M), yang tak terelakan dari pengaruh dari Eropa.

Setelah munculnya pesaing seperti Pasai, Pulau Kampai kemudian masuk dalam wilayah Kesultanan Aceh pada abad ke-14, dan selanjutnya masuk ke Kesultanan Langkat. Perkembangan Pelabuhan masa itu, dipertimbangkan karena Pulau Kampai yang kecil dan dikelilingi laut ini memiliki sumber air tawar sebagai kondisi hidrologi yang mendukung, dan industri manik-manik menjadi faktor yang mendukung perkembangan pelabuhan di Pulau Kampai. Sumur Air tawar itu masih ada sampai kini disebut Perigi Bertuah.

Masuknya industri minyak bumi di Pangkalan Brandan pada abad ke-20 mengubah perekonomian Pulau Kampai, dengan banyak warga dan pedagang yang berpindah ke Pangkalan Susu. 

Pulau Kampai juga memiliki kompleks makam yang disebut "Makam Keramat Panjang", yang dipercaya sebagai makam tokoh penting pada masa lalu. Makam Keramat Panjang di Pulau Kampai diperkirakan berasal dari abad ke-15 atau ke-16. Makam ini dikenal dengan nama Keramat Panjang karena ukuran kuburannya yang panjang, lokasinya mudah ditemukan, sekitar 300 meter dari Dermaga Pulau Kampai, dan berada di dalam bangunan. Makam ini dikaitkan dengan tokoh Melayu yang dikenal sebagai Sang Buaya atau Radin Mata Muhammad Tah alias Ali Akbar. Makam ini masih sering dikunjungi oleh masyarakat dan dijaga oleh juru kuncinya Pak Ibrahim. 

Pulau Kampai sendiri merupakan situs sejarah yang pernah menjadi pusat perdagangan, yang jejaknya terungkap melalui penelitian pada tahun 1974-1977.

Pulau Kampai juga dikenal dengan kesenian Melayu sebagai kebudayaan masyarakat Melayu di wilayah itu, seperti tarian tradisionalnya, Tari Mak Inang Pulau Kampai, yang menceritakan kisah cinta dan pernikahan. Juga adanya makam Mas Merah layaknya  "Romeo dan Juliet ala Melayu" yaitu kisah cinta Salam dan Salamah.

Rumah panggung khas Melayu yang sudah berdiri lama, masih terjaga di pulau ini, menunjukkan kekhasan pemukiman Melayu di sana. Pulau Kampai juga dikenal dengan produksi balacan (terasi) yang menjadi ciri khas daerah ini. 























Komentar