Oleh: M. Muhar Omtatok
Medan, kota yang lahir
dari wilayah kesultanan Melayu, selanjutnya muncul perkebunan tembakau dan
perdagangan internasional, menyimpan jejak tradisi lokal dalam bentuk nama
kampung. Salah satu yang unik adalah Kampung Susuk, sebuah toponimi yang
berakar pada praktik ilmu gaib Melayu. Nama ini bukan sekadar alamat, melainkan
arsip budaya tak tertulis yang memuat memori masyarakat.
Ilmu
Susuk dalam Budaya Melayu
Haum
sah pembuka kata,
Mersing
semengar cahaya rata,
Ku
buka sungkup tujuh lapis petala,
Turun
seri wajah, naik seri rasa.
Ahoi
tuah mutumanikam tak raji,
Datuk
semayam tasik tali arus pauh sijenggi,
Asyik
lebih tak boleh berbagi,
Kasih
turut kehendak turut tiada sipi.
Ahoi
tuah emas menyuruk betaut,
Teruja
terbit tak pelak sebat,
Sesiapa
memandang hatinya tepaut,
Sesiapa
bejumpa kasihnya melekat.
W. W. Skeat dalam Malay Magic (1900) mencatat bahwa orang
Melayu percaya pada berbagai bentuk ilmu pengasihan dan kecantikan, termasuk
susuk, minyak pengasih, dan azimat. Ia menekankan bahwa kepercayaan ini
berhubungan erat dengan citra sosial: wajah bercahaya atau tubuh yang menawan dianggap
menambah status seseorang.
Memuja seri wajah dan
penampilan menjadi penting dalam budaya Melayu, sehingga ungkapan tentang
karisma dan penampilan sering
digambarkan dengan perumpamaan majasi yang cenderung metafora, seperti:
“Bibirmu
bak delima merekah,
Pipimu
bak pauh dilayang,
Hidungmu
bak dasun tunggal,
Alismu
bak semut beriring,
Rambutmu
bak mayang terurai,
Kukumu
bak kiliran taji”
Berkaitan dengan ilmu
susuk, ia pun dikenal luas dalam tradisi Melayu dahulu, sebagai praktik mistik yang
dipercaya dapat memberikan kecantikan, karisma, kewibawaan, atau perlindungan
bagi pemakainya. Asal-usulnya tidak terlepas dari kepercayaan pra-Islam, yang
kemudian berbaur dengan unsur kepercayaan beragam serta praktik pengobatan
tradisional. Dalam perkembangannya, praktik ini terus hidup hingga era
Islamisasi, meski seringkali ditentang karena dianggap bertentangan dengan
akidah.
Secara praktik, susuk
berupa benda kecil berupa emas, perak, berlian, atau geliga, yang ditanamkan ke
dalam kulit dengan ritual khusus dan jampi atau mantra. Penyebarannya paling
menonjol di Semenanjung Tanah Melayu, wilayah Melayu di Sumatera, dan kawasan
pesisirnya.
Menurut Kamus Dewan
Bahasa dan Pustaka, susuk diartikan sebagai “benda halus seperti jarum emas,
perak, intan, dan sebagainya yang dimasukkan ke bawah kulit untuk menambah seri
wajah, kecantikan, pengasihan, atau kekuatan”. Di kamus itu disebut pula susuk
bermakna “bentuk atau rupa, jauh di hadapannya dalam samar-samar ternampak
sesuatu”.
Dalam pengertian lain,
kata susuk juga bermakna “alat perhiasan yang dipasang secara tersembunyi pada
tubuh dengan tujuan supranatural”. Dengan kata lain, definisi menekankan bahwa
susuk adalah media fisik (jarum/benda kecil) yang berfungsi untuk tujuan
non-medis, melainkan spiritual, estetika, atau magis.
Tradisi Melayu mencatat
kisah tentang susuk dalam berbagai hikayat dan cerita rakyat, terutama yang
berkaitan dengan tokoh perempuan cantik atau tokoh sakti. Dalam beberapa
hikayat lama, susuk dikisahkan sebagai rahasia kecantikan puteri atau pelengkap
kesaktian pendekar. Misalnya, dalam cerita rakyat dan legenda, ada tokoh wanita
yang digambarkan memiliki wajah bercahaya atau pesona luar biasa karena
“bersusuk”.
Uniknya kisah Hang
Jeruju yang tumbuh dalam budaya Melayu di Sumatera Utara bagian timur, seorang
lelaki yang menanamkan emas, intan mutumanikam dan benda terrahasia di bawah
kulitnya, yang melahirkan ilmu dalam tubuh karismanya, yang disebut pideras,
seri wajah, asik, cuca, dan lainnya yang ‘Makhfi’.
Di Melayu Sumatera
Utara, kisah perempuan yang tak cuma cantik molek, namun berkarisma serta cerdas
dan membuat orang tunduk patuh juga ingin memiliki, menjadi ingatan dalam
hikayat yang terkadang menyentuh ranah sejarah; sebut saja Tuan Putri Hijau,
Tuan Putri Merak Jingga, atau juga Tuan Putri Pucuk Kelumpang. Hikayat lelaki
tampan yang perkasa, berkarisma, membuat orang tunduk patuh tergila-gila, juga
merambah hikayat, sebut saja Datuk Panglima Nayan, Datuk Panglima Hali, Datuk
Panglima Denai, Datuk Ganjang, Hang Jeruju dan lainnya.
Dalam Hikayat Malim
Deman disebutkan tentang penggunaan ilmu pengasih oleh tokoh perempuan untuk
memikat hati Malim Deman. Walaupun tidak secara eksplisit disebut “susuk”,
tetapi jampi pengasih yang digunakan memiliki fungsi serupa, yakni menanamkan
rasa kasih dan pesona dalam diri orang yang dituju (Braginsky, 2004).
Hikayat Panji Semirang
dan beberapa versi cerita rakyat, terdapat kisah perempuan atau istri bangsawan
yang menggunakan ilmu pemanis diri agar lebih disayang suami atau lebih
dihormati rakyat. Praktik tersebut erat hubungannya dengan peranan sosial
perempuan di istana, di mana kecantikan dan kehalusan budi menjadi faktor
penting dalam menjaga kehormatan keluarga bangsawan.
Di Sumatera Timur
kawasan Deli dan Langkat yang saat ini di Sumatera Utara, beberapa catatan
kolonial Belanda abad ke-19 menyebutkan bahwa para penari istana dan biduan
sering menggunakan susuk pemanis agar penampilannya lebih memikat dan disenangi
Sultan serta para bangsawan (Dobbin, 1983). Hal ini sekaligus menunjukkan
fungsi sosial-ekonomi susuk: sebagai alat seni dan politik dalam konteks istana
Melayu.
Dengan demikian, dari
naskah lama hingga catatan etnografi, susuk dalam budaya Melayu tidak hanya
berkaitan dengan mistik kecantikan, tetapi juga mencerminkan struktur sosial,
peranan gender, dan dinamika kekuasaan di masyarakat. Ia menjadi simbol betapa
eratnya hubungan antara tubuh, pesona, dan legitimasi sosial dalam kebudayaan
Melayu.
Kampung
Susuk: Dari Hutan Sunyi ke Pusat Kota
Menurut cerita lisan,
seorang tua Melayu ahli susuk pernah tinggal di kawasan hutan dan kebun di
Medan. Karena banyak orang datang untuk menuntut ilmu darinya, kawasan itu
disebut Kampung Susuk.
“Dulu Kampung Susuk itu masih sunyi, banyak
hutan dan kebun. Orang tahu di situ ada orang tua Melayu yang pandai ilmu
susuk. Makanya orang kampung dan orang luar menyebutnya Kampung Susuk,”
(wawancara dengan Pakcik Khairuddin - tetua Melayu Deli, 2023).
“Dulu Kampung Susuk itu
sepi, cuma satu dua rumah. Atok dulu kesitu mencari ikan laga katung di rawa. Hutan
dan dikelilingi perkebunan Padang Bulan. Itu termasuk tanah jaluran, tak masuk
perkebunan Belanda. Kalau ditanya tentang ilmu susuk, memang disitu ada
ahlinya, Orang Melayu lama beliau. Dari Malaya pun datang kesitu untuk pasang
pemanis,” (wawancara dengan orang tua yang lahir tahun 1927 di Medan, 2023).
Saat ini Kampung Susuk berada
di Jl Abdul Hakim Medan, tidak jauh dari Universitas Sumatera Utara (USU).
Meski sudah menjadi bagian kota modern, nama ini tetap dikenang masyarakat.
Walau kampung itu kini tidak meninggalkan jejak Ilmu Susuk, karena telah
menjelma menjadi bangunan padat yang menjadi hunian serta rumah kos-kosan bagi
mahasiswa.
Fungsi
Sosial Susuk dalam Budaya Melayu
Dalam tradisi
masyarakat Melayu klasik, susuk tidak hanya dipandang sebagai sarana mistik
untuk memperindah diri, melainkan juga memiliki fungsi sosial yang erat
kaitannya dengan tata kehidupan sehari-hari. Menurut kajian budaya Melayu
klasik, susuk dipercaya sebagai “jalan halus” untuk memperoleh penerimaan
sosial, memperkuat daya tarik, dan menjaga keharmonisan dalam pergaulan
(Ismail, 2011). Hal ini karena dalam masyarakat Melayu, citra diri yang disebut
‘seri muka dan seri tubuh’ sering dipandang sebagai cerminan harga diri
keluarga dan kedudukan sosial seseorang.
Susuk pemanis,
misalnya, kerap digunakan oleh perempuan Melayu klasik pada masa lalu untuk
memperkuat daya tarik dalam lingkaran adat, terutama saat menghadiri pesta
kenduri, majelis pernikahan, atau acara keramaian desa. Dengan wajah yang
tampak berseri dan tutur kata yang halus, pemakai susuk dianggap mampu menambah
rasa hormat orang lain kepadanya, sehingga memperkuat hubungan sosial yang
harmonis. Menurut penelitian Endicott (1970), praktik susuk di kalangan masyarakat
Melayu tidak hanya berhubungan dengan keindahan tubuh, tetapi juga terkait
dengan konsep “budi bahasa”, yakni perpaduan antara keindahan luar dan
keluhuran tingkah laku.
Di sisi lain, susuk
juga mempunyai fungsi ekonomi dan status sosial. Pada kalangan pedagang atau
pelaku seni, misalnya seri panggung, penari, atau biduan, susuk pemanis
dianggap dapat meningkatkan pesona diri, sehingga pelanggan atau penonton lebih
terpikat dan hubungan bisnis lebih lancar. Tradisi ini tercatat dalam beberapa
catatan antropologi Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaya, di mana susuk
dianggap sebagai “ilmu pengikat rezeki” (Skeat, Malay Magic, 1900). Dengan
demikian, susuk dipahami bukan sekadar praktik mistik, tetapi juga strategi
sosial-budaya untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh persaingan.
Selain itu, fungsi
sosial susuk dalam budaya Melayu juga terkait erat dengan konsep kehormatan dan
marwah. Seorang perempuan atau lelaki yang memiliki seri wajah karena susuk
sering dianggap lebih berwibawa dan lebih mudah diterima sebagai pemimpin atau
tokoh dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa susuk, dalam kacamata budaya,
berfungsi sebagai sarana memperkuat legitimasi sosial seseorang. Namun, praktik
ini tetap dijalankan dengan penuh rahasia, sebab masyarakat Melayu memiliki ambivalensi
terhadapnya: di satu sisi dianggap membantu, di sisi lain dikaitkan dengan
unsur gaib yang berlawanan dengan syariat Islam.
Susuk
Dalam Objek Penelitian Lintas Disiplin
Ilmu susuk telah
menjadi objek penelitian lintas disiplin, mulai dari medis, budaya, hingga
agama. Dalam ranah kesehatan, sejumlah laporan kasus dan tinjauan literatur
menemukan bahwa susuk sering terdeteksi secara tidak sengaja melalui radiografi
atau CT-scan. Penelitian di Malaysia bahkan mencatat penggunaan susuk oleh
praktisi tradisional untuk mengatasi nyeri punggung, meski praktik tersebut
dianggap membahayakan keselamatan pasien karena tidak memiliki standar medis
yang jelas (Ramli & Razali, 2024; Rusly et al., 2022; Rampal et al., 2020).
Di sisi lain, kajian
budaya menyoroti bagaimana susuk diposisikan dalam narasi masyarakat maupun
media populer. Analisis film Melayu, misalnya, menunjukkan bahwa susuk tidak
hanya berfungsi sebagai simbol kecantikan atau kekuatan, tetapi juga menjadi
metafora yang menggugat batas-batas sosial, terutama dalam konteks perempuan
dan patriarki (Asaari, Aziz, & Salleh, 2017). Dengan demikian, susuk tidak
sekadar praktik supranatural, melainkan juga representasi sosial yang memuat
makna resistensi, ketakutan, sekaligus daya tarik.
Sementara itu, dari
perspektif agama, berbagai skripsi dan tesis di Indonesia menegaskan bahwa
mayoritas ulama menolak pemasangan susuk, terutama ketika melibatkan unsur
magis atau mantera yang dinilai bertentangan dengan akidah. Namun, sebagian
kecil pandangan masih memberi ruang jika praktik tersebut dianggap murni budaya
tanpa dimensi gaib. Perbedaan penafsiran ini memperlihatkan bagaimana susuk
berada di persimpangan antara tradisi, keyakinan, dan modernitas, sehingga
menjadi fenomena yang terus memicu perdebatan di masyarakat (Sidik, 2012; Anansyah
& Fitrian, 2020).
Analisis Kritis: Susuk antara Adat & Syariat dalam Budaya Melayu
Islamisasi di dunia
Melayu sejak abad ke-12, tetapi menjadi lebih kuat pada abad ke-13 hingga 15. membawa
transformasi besar dalam pandangan hidup masyarakat. Banyak praktik adat lama
yang bersifat animistis dan kepercayaan tempatan berasimilasi dengan nilai
Islam. Susuk, sebagai warisan ilmu halus, menjadi salah satu praktik yang
menimbulkan ambivalensi. Di satu sisi ia masih dipelihara sebagai bagian dari
adat pengasih, di sisi lain ia sering dipandang bertentangan dengan akidah
Islam.
Dalam pandangan ulama
Melayu, susuk dikategorikan sebagai “ilmu sihir” jika penggunaannya melibatkan
jin, khadam, atau niat menundukkan kehendak orang lain. Misalnya, dalam kitab
Hidayat al-Salikin (Abdurrauf Singkel, abad ke-17), disebutkan bahwa amalan
yang menggunakan perantara selain Allah tergolong syirik kecil, meskipun
bertujuan memikat kasih. Karena itu, banyak ulama menentang susuk yang
menggunakan benda fisik yang ditanam dalam tubuh.
Namun demikian,
masyarakat Melayu kemudian melakukan “Islamisasi simbolik” terhadap susuk.
Jampi-jampi lama diadaptasi dengan ayat Qur’ani atau doa Islam, sebagai
pengganti jampi tradisional, dengan tujuan menghadirkan “seri wajah” melalui
barakah doa, bukan karena benda gaib.
Inilah yang membuat
praktik susuk bermigrasi ke luar tanah dan pulaunya, lalu diadaptasi menurut mantera dan tata cara non-Melayu.
Penutup
Kampung Susuk di Medan
adalah bukti bahwa praktik gaib dapat meninggalkan jejak pada lanskap kota.
Nama ini mencerminkan sinkretisme budaya Melayu pra-Islam dan Islam, sekaligus
memperlihatkan bagaimana tradisi gaib diingat melalui toponimi. Sampai keilmuan
tradisi pun bisa bermigrasi dari tanahnya ke pulau berbeda dengan tata cara
yang berbeda pula.*
Daftar Pustaka:
• Anansyah, R., & Fitrian, M. (2020). Tradisi Susuk dan Hukum Islam di Indonesia. Jurnal Studi Agama dan Budaya, 12(1), 59–74.
• Asaari, A., Aziz, N., & Salleh, N.
(2017). Susuk in Malay Films: A Cultural Reading. Journal of Southeast Asian
Media Studies, 3(2), 45–63.
• Braginsky, V. (2004). The Heritage of
Traditional Malay Literature. Leiden: KITLV Press.
• Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in
a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press.
• Endicott, K. (1970). An Analysis of
Malay Magic. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society,
43(1), 1–28.
• Ramli, F., & Razali, N. (2024).
Traditional Susuk Practices and Their Detection in Medical Imaging. Malaysian
Journal of Radiology, 16(1), 25–33.
• Rampal, L., Rusly, N., et al. (2020).
Traditional Healing in Malaysia: A Review of Practices and Safety Issues. Asian
Journal of Complementary Medicine, 8(2), 12–22.
• Rusly, N., Yusoff, H., & Omar, S.
(2022). Incidental Findings of Susuk in Radiological Examinations: Case Reports
from Malaysia. International Medical Journal, 29(3), 155–161.
• Sidik, H. (2012). Susuk dalam Perspektif
Islam. Jurnal Ilmu Ushuluddin, 21(2), 87–103.
• Skeat, W. W. (1900). Malay Magic: Being
an Introduction to the Folklore and Popular Religion of the Malay Peninsula.
London: Macmillan.
Komentar