Kepekaan Individu dalam Menganalisa Menurut Filsafat Melayu: Suatu Tinjauan Filosofis dan Psikologis
Oleh: M. Muhar Omtatok
Dalam tradisi
intelektual Melayu, kepekaan dalam menganalisa bukan semata kemampuan
intelektual, melainkan sebuah keterampilan batiniah yang menuntut keseimbangan
antara akal, rasa, dan jiwa. Kepekaan individu melalui perspektif Filsafat
Melayu, khususnya konsep makna berlapis yaitu tersurat, tersirat, dan tersuruk,
dengan mempertautkannya pada pandangan psikologi modern mengenai persepsi,
kesadaran diri, dan kecerdasan emosional. Menunjukkan bahwa kepekaan merupakan
basis epistemologis dan etis yang memungkinkan individu untuk “tahu hidup”,
yakni hadir secara sadar dan bijaksana dalam realitas yang kompleks.
Pendahuluan
Hidup manusia
senantiasa dipenuhi dengan arus informasi, peristiwa, dan pengalaman. Tidak
semua individu mampu menafsirkan realitas secara tepat, sebab setiap fenomena
tidak hanya memiliki makna lahiriah, tetapi juga kedalaman batiniah yang
tersembunyi. Kepekaan dalam menganalisa dengan demikian menjadi sebuah
kompetensi eksistensial yang menentukan kualitas keberadaan manusia.
Dalam filsafat Melayu, terdapat pandangan bahwa makna realitas hadir dalam tiga
tingkatan:
·
Tersurat:
lahiriah, makna yang jelas, terucap, dan langsung.
·
Tersirat:
terselubung, makna yang tersembunyi di balik kata, simbol, atau kiasan.
·
Tersuruk:
tersembunyi dalam kedalaman, makna yang lebih halus, sangat dalam, dan hanya
bisa ditangkap oleh mereka yang arif.
Konsepsi ini sejalan
dengan tradisi epistemologis yang menekankan bahwa kebenaran tidak tunggal,
melainkan berlapis. Oleh sebab itu, individu yang mampu membaca tanda pada
setiap lapisan realitas dipandang sebagai pribadi yang memiliki ketajaman batin
dan kebijaksanaan.
Filsafat
Melayu tentang Makna dan Kepekaan
Ungkapan klasik Melayu
berbunyi:
"Tiba di mata dipicingkan, tiba di
dada dibusungkan, tiba di perut dikempiskan, jika termakan dikeletaikan."
Ungkapan atau Tunjuk Ajar Melayu ini menekankan prinsip kontekstualitas dalam
respon manusia terhadap peristiwa. Ia mengajarkan bahwa kepekaan tidak identik
dengan reaktivitas spontan, melainkan sikap menimbang, memilah, dan menempatkan
sesuatu pada tempatnya.
Pepatah petitih Melayu Minangkabau menyatakan:
"Alun takilek, alah takalam. Takilek
ikan di dalam lubuak, lah tantu jantan jo batinonyo."
Belum terkilat sudah terkalam,
tampak terlintas ikan dalam lubuk, sudah tahu memprediksikan apakah itu jantan
atau betina.
Ini menegaskan bahwa kepekaan menuntut kemampuan membaca tanda-tanda halus (subtle cues) yang belum tampak secara
eksplisit. Artinya, individu yang peka mampu menangkap implikasi dari riak
kecil yang muncul di permukaan, sebelum gelombang besar terjadi.
Dengan demikian, kepekaan menurut filsafat Melayu merupakan seni hermeneutika
kehidupan: kemampuan menafsir makna pada berbagai lapisan realitas, dengan
sikap berhati-hati, reflektif, dan bijaksana.
Keterhubungan
Ungkapan Melayu dengan Psikologi Modern
"Tiba di mata dipicingkan,
tiba di dada dibusungkan,
tiba di perut dikempiskan,
jika termakan dikeletaikan."
Ungkapan Melayu ini merupakan gambaran tentang kearifan
dalam merespon realitas. Ia menekankan bahwa setiap stimulus, baik berupa peristiwa,
ucapan, atau pengalaman, tidak boleh dihadapi secara serampangan, melainkan
harus ditimbang, disaring, dan diposisikan secara tepat.
Ketika dihubungkan
dengan psikologi modern, keterhubungan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Persepsi dan Pengolahan Informasi
• Ungkapan
Melayu: “Tiba di mata dipicingkan”
menunjukkan bahwa tidak semua yang terlihat harus langsung ditanggapi. Ada informasi
yang perlu disaring, diabaikan, atau ditunda responnya.
• Psikologi
Kognitif: Hal ini selaras dengan mengenali pola (pattern recognition) dan membedakan sinyal dari gangguan (signal vs noise). Individu yang peka
mampu membedakan mana sinyal penting dan mana gangguan, serta melihat pola di
balik kerumitan. Dengan demikian, “memicingkan mata” berarti menyaring
informasi agar hanya yang relevan yang diproses.
2.
Kesadaran Diri (Self-Awareness)
• Ungkapan
Melayu: “Tiba di dada dibusungkan”
menggambarkan sikap menghadapi sesuatu dengan kesadaran penuh atas diri, keberanian,
kewibawaan, dan penegasan diri.
• Psikologi
Humanistik: Menurut Rogers dan Maslow, kesadaran diri memungkinkan individu
untuk mengetahui posisi dirinya dalam menghadapi realitas. “Membusungkan dada”
tidak sekadar simbol keangkuhan, tetapi tanda kesadaran diri dalam
mempertahankan nilai dan martabat.
3.
Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)
• Ungkapan
Melayu: “Tiba di perut dikempiskan”
melambangkan kemampuan mengendalikan hawa nafsu dan dorongan batin. Perut dalam
simbolik Melayu sering dikaitkan dengan lapar, syahwat, atau keinginan.
Mengempiskannya berarti menahan diri dari tindakan impulsif.
• Psikologi
Emosional: Menurut Goleman, kecerdasan emosional mencakup self-regulation, yaitu kemampuan mengelola emosi dan
dorongan sebelum bertindak. Di sini jelas terlihat keterhubungan: menahan perut
adalah bentuk pengendalian emosi agar respons yang keluar proporsional dan
bijaksana.
4.
Metakognisi
• Ungkapan
Melayu: “Jika termakan dikeletaikan”
menunjukkan proses reflektif: tidak semua yang masuk ke dalam diri layak
diterima. Bila ternyata beracun atau tidak sesuai, ia harus ditolak kembali.
• Psikologi
Kognitif (Metakognisi): Ini setara dengan kemampuan memonitor dan mengevaluasi
pikiran sendiri. Individu yang peka mampu bertanya: “Apakah yang saya terima
ini benar, berguna, dan bernilai?” Jika tidak, maka ia ‘dikeletaikan” - “dimuntahkan”, yakni ditolak melalui refleksi
kritis.
Implikasi
Etis dan Eksistensial
Kepekaan dalam
menganalisa tidak hanya bernilai kognitif, tetapi juga etis dan eksistensial.
Individu yang peka akan:
·
Menghindari penilaian tergesa-gesa,
karena sadar bahwa yang tampak di permukaan tidak selalu mewakili kebenaran sejati.
·
Membaca tanda-tanda halus, sehingga
mampu mengantisipasi dampak dan konsekuensi suatu fenomena.
·
Menimbang dengan akal dan rasa,
menghasilkan keputusan yang tidak hanya rasional tetapi juga manusiawi.
·
Merenung sebelum bertindak, sehingga
setiap tindakan lahir dari kesadaran reflektif, bukan reaksi emosional semata.
Dalam konteks ini,
kepekaan berfungsi sebagai pengetahuan praktis (phronesis) yang memandu manusia
dalam “Sedar diri” dan “Tahu hidup”, yaitu hadir secara sadar,
bijak, dan bertanggung jawab di tengah kompleksitas kehidupan.
Akhirnya
Kepekaan individu dalam
menganalisa menurut filsafat Melayu merupakan sebuah keterampilan epistemologis
sekaligus sikap etis. Ia menuntut kemampuan membaca makna yang berlapis, yaitu tersurat,
tersirat, hingga tersuruk; serta menimbang dengan keseimbangan akal dan rasa.
Dalam perspektif psikologi, kepekaan berkaitan erat dengan persepsi, kesadaran
diri, kecerdasan emosional, dan refleksi metakognitif.
Dengan demikian, kepekaan bukan sekadar keterampilan analitis, melainkan seni
untuk hidup secara sadar. Ia adalah jembatan antara filsafat tradisional dan
psikologi modern dalam membentuk manusia yang arif, bijaksana, dan mampu
menghadapi realitas yang kompleks.* (M.
Muhar Omtatok)
Komentar