Parenting dalam Adat Budaya Melayu: Mendidik Anak dengan Kasih, Adab, dan Kesadaran

 


Oleh: M. Muhar Omtatok

Dalam pandangan adat budaya Melayu, anak bukan sekadar keturunan, melainkan amanah Ilahi - titipan Tuhan yang harus dijaga, dididik, dan disayangi dengan penuh tanggung jawab. Filosofi ini sejalan dengan prinsip dasar psikologi perkembangan modern, yang menekankan pentingnya kasih sayang, keteladanan, komunikasi, dan pembentukan karakter sejak dini.

Melayu memandang bahwa mendidik anak bukan hanya urusan akal, tetapi juga hati dan adab. Karena dalam setiap jiwa anak, tersimpan masa depan bangsa dan keberlanjutan budi pekerti.

Anak sebagai Amanah: Fondasi Kasih dan Tanggung Jawab

 

Bidara tumbuh di laman,
Daunnya rimbun tempat bernaung;
Anak ibarat amanah Tuhan,
Dididik penuh kasih dan sayang.

Belanak senohong usah kelahi,
Alamat ditanak dalam sungkup;
Anak titipan dari Ilahi,
Amanah besar sepanjang hidup.

Dalam pandangan Melayu, anak adalah amanah, bukan sekadar milik. Pentingnya anak bagi Orang Melayu, sampai muncul banyak pepatah memakai kata anak, seperti "bagai kucing kehilangan anak". Namun sebalinya anak juga punya ikatan khusus kepada orang tua, sampai ada pepatah, "bagai anak ayam kehilangan induk".  

Prinsip ini beririsan dengan Teori psikologi humanistik, yang dikembangkan oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow, yang menekankan pentingnya kasih tanpa syarat (unconditional love) agar anak tumbuh dengan rasa aman dan percaya diri.

"Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan", sehingga orang tua Melayu idealnya menjadi contoh akhlak dan perilaku yang dilihat setiap hari oleh anaknya. Konsep belajar sosial (social learning) Albert Bandura menekankan bahwa individu belajar bukan hanya dari pengalaman langsung, tetapi juga melalui observasi, imitasi, dan pemodelan perilaku orang lain di lingkungannya. Teori ini, yang dikenal sebagai teori pembelajaran sosial-kognitif, menyoroti interaksi dinamis antara faktor personal (kognitif), perilaku, dan lingkungan, serta melibatkan tahapan perhatian, ingatan, reproduksi, dan motivasi. Disini anak belajar melalui pengamatan dan peniruan. Maka, teladan jauh lebih kuat daripada sekadar ucapan.

Pendidikan Melalui Keteladanan, Bukan Kekerasan

Dalam psikologi modern, pendidikan melalui keteladanan dianggap paling efektif karena anak secara alami meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya; sebagaimana dijelaskan Albert Bandura melalui teori observational learning, anak belajar lebih kuat dari contoh nyata - cara orang tua berbicara, bersikap, menyelesaikan masalah, dan memperlakukan orang lain - dibanding sekadar nasihat. Sebaliknya, kekerasan terbukti tidak mendidik karena hanya menumbuhkan rasa takut tanpa pemahaman moral, menghambat perkembangan berpikir kritis, bahkan meninggalkan trauma emosional yang berisiko diturunkan. Karena itu, pola asuh positif lebih dianjurkan, yakni melalui komunikasi hangat, penguatan positif, serta pembelajaran konsekuensi logis yang mendidik. Lingkungan keluarga yang aman dan penuh kasih sayang menjadi fondasi bagi tumbuhnya anak yang mandiri, percaya diri, dan berempati.

Kearifan Melayu sejatinya telah lama mengajarkan nilai serupa. Pepatah “Kecil teranjak anjak, besar terbawa-bawa” menekankan pentingnya pembiasaan sejak dini. Namun, disiplin yang dimaksud bukanlah kekerasan, melainkan penanaman nilai, tanggung jawab, dan konsekuensi logis yang membuat anak belajar dari pengalaman. Ada pula pepatah “Ada ikan ada santan” yang bermakna: setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Ini sejalan dengan pandangan psikologi bahwa konflik dalam pendidikan anak tidak diselesaikan dengan emosi atau kekerasan, melainkan dengan kesabaran, dialog, dan solusi yang mendidik.

Pepatah lain mengingatkan: “Bapak borek, anak rintik” dan “Ke mana tumpah kuah kalau tidak ke nasi.” Keduanya menegaskan bahwa anak lebih banyak meniru daripada mendengar. Apa yang dilakukan orang tua akan jauh lebih membekas dibanding apa yang mereka katakan. Jika orang tua bersikap santun, jujur, dan bertanggung jawab, anak pun akan menyerap nilai-nilai tersebut. Sebaliknya, bila orang tua bersikap keras, lalai, atau tidak konsisten, anak akan mengikutinya dengan pola yang sama.

Dengan demikian, baik psikologi modern maupun tunjuk ajar Melayu sama-sama menegaskan bahwa pendidikan terbaik adalah melalui teladan, bukan kekerasan. “Menepuk air di dulang, terkena muka sendiri”. Orang tua ibarat cermin, dan anak adalah pantulannya. Maka, jika ingin anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan berakhlak baik, orang tua terlebih dahulu harus menghadirkan keteladanan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kasih Sayang yang Sadar, Bukan Sekadar Manja

Budaya Melayu memberi tunjuk ajar yang sangat dalam tentang bagaimana cinta harus disertai kesadaran dan arah:

                  Sayang sayang beruk” -  menggambarkan kasih yang tanpa arah, hanya sekadar manja, tanpa visi mendidik.

                  Manja manja dedak, ditampi melayang” - menasihati agar orang tua tidak memanjakan anak berlebihan hingga kehilangan prinsip, disiplin, dan daya juang.

Dalam psikologi, kedua pepatah ini menjelaskan bahaya pola asuh permisif (permissive parenting) yang terlalu longgar, sehingga anak tumbuh tanpa batasan dan tidak mengenal tanggung jawab.

Kasih sejati adalah kasih yang menumbuhkan - bukan yang memanjakan ibarat dedak yang cuma ditampi, tapi justru tidak menjadi pati tepung, melayang tak punya faedah dan tanpa kendali.

Tunjuk Ajar Melayu tentang Keseimbangan Peran Keluarga

“Kasih ibu sepanjang jalan,

Kasih ayah sepanjang galah,

Kasih saudara selagi ada.”

Tunjuk ajar Melayu mengatakan: “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih ayah sepanjang galah, kasih saudara selagi ada”, menggambarkan peran komplementer antara ibu dan ayah dalam perkembangan anak.

Kasih ibu yang “sepanjang jalan” melambangkan kehangatan tanpa batas, sejalan dengan teori attachment (John Bowlby) yang menekankan pentingnya ikatan emosional aman antara ibu dan anak. Seperti jalan yang menghubungkan banyak tempat, kasih ibu menjadi fondasi keterikatan yang menumbuhkan rasa aman, kepercayaan diri, dan empati dalam diri anak.

Sementara itu, kasih ayah yang “sepanjang galah” menggambarkan peran ayah sebagai figur yang tegas dan otoritatif. Galah, yang panjang namun kokoh, ibarat batasan yang jelas: tidak seluas jalan, tetapi sangat penting sebagai penopang dan pengarah. Dalam psikologi, hal ini mencerminkan peran ayah dalam membentuk karakter, disiplin, dan kemandirian anak, agar mereka mampu menghadapi tantangan kehidupan.

Dengan demikian, ini mengajarkan bahwa pendidikan anak membutuhkan harmoni antara kelembutan kasih ibu dan ketegasan kasih ayah - keduanya saling melengkapi dalam membentuk pribadi yang matang.

Sedangkan kasih saudara “selagi ada” menekankan bahwa saudara dan lingkungan menjadi jejaring sosial awal yang menumbuhkan empati, solidaritas, dan nilai kebersamaan.

Bahaya “Anak Siarahan”: Keluarga Tanpa Arah dan Prioritas

Dalam khazanah Melayu, terdapat ungkapan tajam:

“Dagang lalu ditanakkan,
Laki pulang lapar tak makan,
Kera di rimba disusukan,
Anak di pangkuan mati kebuluran.”

Ungkapan ini melahirkan istilah “Anak Siarahan” - gambaran tentang anak yang tumbuh tanpa arah dan tanpa prioritas dari orang tuanya. Orang tua lebih sibuk mengurus “orang luar” atau urusan sepele, tetapi lalai memberi perhatian pada keluarga sendiri.

Dalam kacamata psikologi keluarga, kondisi ini mencerminkan disfungsi peran pengasuhan. Orang tua mungkin terlihat aktif secara sosial, sukses secara materi, atau rajin menunjukkan kasih sayang secara simbolik, tetapi abai pada kebutuhan nyata anak: kehangatan emosional, pendampingan, dan bimbingan perkembangan.

Padahal, kasih sayang sejati bukan hanya soal memberi nafkah atau hadiah, melainkan manajemen keluarga yang sehat: mampu mengatur waktu, memberi prioritas pada anak, serta hadir secara fisik dan emosional dalam kehidupan mereka. Anak yang tumbuh tanpa perhatian dan arah berisiko kehilangan rasa aman, terabaikan secara emosional, bahkan tumbuh dengan luka batin yang memengaruhi masa depannya.

Ungkapan Melayu ini menjadi peringatan agar orang tua tidak terjebak pada “kesibukan semu” dan melupakan inti dari pengasuhan. Sebab, keluarga yang sehat lahir dari perhatian, perencanaan, dan keterlibatan aktif, bukan sekadar dari simbol kasih sayang yang dangkal.

Melentur Buluh dari Rebung: Pendidikan Sejak Dini

“Melentur buluh biarlah dari rebungnya.”

Pepatah ini menegaskan pentingnya pendidikan sejak dini, yang selaras dengan prinsip early childhood development dalam psikologi modern.

Usia dini adalah masa emas pembentukan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Oleh karena itu, bimbingan yang penuh kasih, pembiasaan adab, dan keteladanan harus dimulai sejak anak masih kecil.

Nilai Tahu Diri dan Sedar Diri: Pendidikan Jiwa dan Adab

Tahu diri dan sedar diri adalah inti dari pendidikan karakter Melayu.

Dalam psikologi, ini sejalan dengan konsep self-awareness dan emotional intelligence (Daniel Goleman) - kemampuan memahami diri, mengendalikan emosi, dan menghargai orang lain.

Anak yang dididik dengan nilai tahu diri akan tumbuh dengan rasa hormat, rendah hati, dan tanggung jawab sosial, yang merupakan inti dari kepribadian yang matang.

Akhirnya,

Parenting dalam adat Melayu adalah perpaduan antara kasih sayang, adab, dan kesadaran spiritual. Mendidik anak bukan semata-mata menjadikannya cerdas, tetapi lebih dalam daripada itu: agar ia berbudi, tahu diri, dan beradab.

Dalam bahasa psikologi modern, inilah hakikat parenting yang seimbang -  menyatukan kasih (love), batasan (limit), dan keteladanan (example).

Maka, dalam pandangan Melayu, mendidik anak bukan sekadar kewajiban orangtua, melainkan ibadah sekaligus amanah. Orangtua yang menanam dengan kasih dan budi akan menuai generasi yang tahu hormat, tahu arah, dan tahu jalan menuju keridhaan Tuhan.

Orangtua ibarat pohon yang meneduhkan dengan daun dan memberi buah, sementara anak ibarat ranting dan bunga yang menyambung kehidupan. Hubungan ini bukan sekadar ikatan darah, melainkan warisan budi, adat, dan agama. Bila orangtua mendidik dengan kasih, anak akan tumbuh berbudi; bila anak berbakti, orangtua akan meraih bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.* (M. Muhar Omtatok)

Komentar