Hibriditas
Identitas Melayu di Pesisir Sumatera Utara:
Antara
Genealogi, Ulayat, dan Simbol Sosial
M. Muhar Omtatok
Abstrak
Penelitian ini mengkaji fenomena
hibriditas identitas etnik pada masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Utara
yang mempraktikkan penggunaan marga, suatu sistem penandaan genealogis yang
secara normatif tidak dikenal dalam tradisi Melayu klasik. Fenomena ini
ditemukan di berbagai wilayah seperti Melayu Deli, Langkat, Asahan, Bilah,
Panai, Kotapinang, Tanjungkasau, Tebingtinggi, serta kawasan pesisir timur dan
barat Provinsi Sumatera Utara. Sebagian masyarakat Melayu di wilayah tersebut
mengadopsi marga yang berasal dari etnis Karo, Toba, Mandailing, Angkola,
Simalungun, dan Pakpak.
Melalui pendekatan antropologis
kualitatif-deskriptif, penelitian ini menelaah makna sosial, simbolik, dan
genealogis dari penggunaan marga tersebut. Temuan menunjukkan bahwa adopsi
marga oleh masyarakat Melayu tidak semata-mata mencerminkan asimilasi garis
keturunan patrilineal, melainkan merupakan strategi simbolik untuk memperkuat
relasi sosial, menegaskan klaim terhadap wilayah ulayat, serta menegosiasikan
identitas di tengah batas-batas etnis yang cair. Penelitian ini juga menegaskan
bahwa sistem kekerabatan Melayu di Sumatera Utara memperlihatkan karakter
ganda: patrilineal dalam konteks simbol dan legitimasi adat tertentu, sekaligus
parental - bilateral dalam praktik sosial, perkawinan, dan pewarisan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa
identitas Melayu di Sumatera Utara bersifat dinamis, adaptif, dan merupakan
hasil dari proses negosiasi historis yang panjang antara genealogi, adat, Islam,
dan interaksi lintas etnik.
Kata kunci: hibriditas identitas, Melayu, marga, kekerabatan, Sumatera
Utara.
Pendahuluan
Suku Melayu dikenal sebagai salah
satu kelompok etnik tua di Nusantara yang secara historis tersebar di pesisir
timur dan barat Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, hingga
Kepulauan Riau. Identitas Melayu umumnya ditandai oleh penggunaan bahasa
Melayu, agama Islam, adat istiadat, serta sistem nilai yang menekankan
kesopanan.
Dalam kajian antropologi klasik,
sistem kekerabatan Melayu sering dipahami sebagai parental - bilateral,
di mana garis keturunan diakui melalui ayah dan ibu sekaligus, terutama dalam
konteks pewarisan, perkawinan, dan jaringan sosial (Koentjaraningrat, 1985;
Hooker, 1972). Namun, di Sumatera Utara - khususnya di wilayah Melayu Deli,
Langkat, Asahan, Bilah, Panai, Kotapinang, Tanjungkasau, dan Tebingtinggi - muncul
fenomena yang relatif unik, yakni penggunaan marga oleh sebagian
masyarakat Melayu.
Marga seperti Sembiring, Tarigan,
Perangin-angin, Nasution, Rambe, Munthe, Marpaung, Sitorus, Panjaitan, Damanik,
Saragih, dan Purba secara historis merupakan ciri khas sistem
kekerabatan patrilineal masyarakat Batak Toba, Mandailing-Angkola, Karo,
Simalungun, Pakpak-Dairi. Kehadiran marga dalam komunitas Melayu menantang
pemahaman esensialis tentang identitas etnik dan menunjukkan adanya proses
hibridisasi budaya yang kompleks.
Penelitian ini bertujuan
menganalisis bagaimana masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Utara
mengonstruksi dan menegosiasikan identitasnya melalui penggunaan marga, serta
bagaimana praktik tersebut berkelindan dengan sistem kekerabatan, klaim ulayat,
dan strategi sosial dalam ruang etnis yang beririsan.
Tinjauan
Pustaka
Konsep hibriditas budaya sebagaimana
dikemukakan oleh Homi K. Bhabha (1994) menekankan bahwa identitas tidak
lahir dari tradisi yang statis, melainkan dari ruang antara (in-between
space) yang terbentuk melalui negosiasi, kontak, dan ketegangan
antarkelompok. Hibriditas bukan sekadar pencampuran unsur budaya, melainkan
produksi makna baru yang kontekstual dan situasional.
Sementara itu, Fredrik Barth
(1969) menegaskan bahwa batas etnik bersifat sosial dan situasional, bukan
biologis. Identitas etnik dipertahankan atau dinegosiasikan melalui interaksi,
perkawinan, dan kepentingan politik-ekonomi. Dalam konteks Sumatera Utara,
wilayah pesisir sejak lama menjadi ruang pertemuan antara Melayu, Batak
pedalaman, Minangkabau, Aceh, dan komunitas migran lainnya.
Kajian tentang sistem kekerabatan
Melayu (Koentjaraningrat, 1985; Milner, 1982) menunjukkan bahwa meskipun tidak
mengenal marga secara genealogis, masyarakat Melayu tetap mengakui garis
keturunan ayah dalam konteks simbolik tertentu, seperti gelar, warisan
kehormatan, dan kepemimpinan adat. Hal ini membuka ruang bagi munculnya praktik
patrilineal simbolik yang berdampingan dengan sistem bilateral.
Penelitian Collins (2005), Said
(2021), Harahap (2020), dan Nasution (2022) menunjukkan bahwa identitas Melayu
di Sumatera, khususnya di wilayah timur, terbentuk melalui proses asimilasi
panjang yang melibatkan Islamisasi, perkawinan antaretnis, dan integrasi
politik kerajaan serta kesultanan.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode etnografi singkat.
Lokasi penelitian mencakup wilayah pesisir Sumatera Utara, antara lain Deli
Serdang, Langkat, Asahan, Labuhanbatu, dan Tebingtinggi.
Data dikumpulkan melalui observasi
lapangan, wawancara mendalam dengan tokoh adat, pemuka masyarakat, dan individu
Melayu bermarga, serta studi dokumen terhadap arsip lokal dan literatur
sejarah. Analisis data mengikuti model interaktif Miles dan Huberman (1994)
dengan kerangka teori hibriditas budaya (Bhabha) dan batas etnik (Barth).
Pembahasan
Kontak antara komunitas Melayu dan
kelompok yang jamak disebut Batak secara awam di Sumatera Utara telah
berlangsung sejak masa kedatukan, kerajaan, dan kesultanan pada abad ke-17
hingga ke-19, seperti di Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Panai, Bilah, dan
Kotapinang. Proses Islamisasi terhadap sebagian masyarakat terutama
Mandailing-Angkola dan Simalungun pesisir, mempercepat terjadinya perkawinan campur
dan integrasi sosial.
Dalam konteks ini, muncul generasi
yang secara kultural dan religius mengidentifikasi diri sebagai Melayu, namun
tetap mempertahankan atau mengadopsi marga. Pada sebagian kasus, marga
berfungsi sebagai penanda patrilineal simbolik, terutama untuk
legitimasi sosial dan posisi adat. Namun, dalam praktik keseharian - seperti
pewarisan harta, relasi kekerabatan, dan perkawinan - masyarakat Melayu tetap
menjalankan prinsip parental/bilateral.
Di Tebingtinggi, misalnya,
penggunaan marga Saragih, Damanik, atau Purba tidak selalu
dipahami sebagai bukti hubungan darah dengan Simalungun, melainkan sebagai
simbol keterikatan pada wilayah ulayat atau sejarah lokal tertentu. Dengan
menyandang marga tersebut, seseorang memperoleh pengakuan sebagai “orang tempatan”
(orang kampong) bukan sebagai
keturunan biologis marga itu.
Dengan demikian, marga berfungsi
sebagai modal simbolik (Bourdieu) yang menjembatani relasi antaretnis,
memperkuat klaim sosial atas ruang dan tanah, serta mempermudah integrasi dalam
struktur adat dan birokrasi lokal. Identitas Melayu di Sumatera Utara tampil
sebagai identitas yang cair, kontekstual, dan dinegosiasikan secara strategis.
Kesimpulan
Penggunaan marga oleh masyarakat
Melayu di pesisir Sumatera Utara merupakan manifestasi nyata dari hibriditas
identitas etnik. Marga tidak semata-mata dipahami sebagai penanda genealogis
patrilineal, melainkan sebagai simbol sosial yang berkaitan dengan legitimasi
adat, klaim ulayat, dan strategi integrasi sosial.
Penelitian ini menegaskan bahwa
sistem kekerabatan Melayu di Sumatera Utara memperlihatkan karakter ganda:
patrilineal secara simbolik dalam konteks tertentu, sekaligus parental -
bilateral dalam praktik sosial sehari-hari. Identitas Melayu dengan demikian
tidak bersifat esensialis, melainkan merupakan hasil dari proses negosiasi
historis yang panjang antara adat, Islam, genealogi, dan dinamika lintas etnik.
Daftar
Pustaka
- Barth, F. (1969). Ethnic Groups and Boundaries.
Boston: Little, Brown.
- Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture.
London: Routledge.
- Collins, J. T. (2005). “Malay Dialects and Ethnic
Identity in Sumatra.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
- Harahap, S. (2020). “Asimilasi Etnis Melayu dan
Mandailing di Labuhanbatu Selatan.” Jurnal Ilmu Sosial Humaniora,
UNIMED.
- Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
- Milner, A. C. (1982). Kerajaan: Malay Political
Culture on the Eve of Colonial Rule. Tucson: University of Arizona
Press.
- Nasution, Z. (2022). “Transformasi Identitas Melayu di
Pesisir Timur Sumatera Utara.” Jurnal Melayu Islamic Studies.
- Said, M. A. (2021). “Identitas Melayu dan Perkawinan
Budaya di Sumatera Timur.” Jurnal Melayu, UKM.
- Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative
Data Analysis. Sage.

Komentar