Gelar
Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan
oleh: Muhammad
Muhar - Omtatok
Stratifikasi sosial adalah penggolongan
orang-orang yang termasuk suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan
hierarkis menurut dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise. Menurut
Soerjono Soekanto, stratifikasi sosial merupakan pembedaan posisi seseorang
ataupun kelompok yang pembedaaan kedudukannya secara vertikal. Sedangkan Bruce
J. Cohen, menyebut stratifikasi sosial merupakan suatu sistem yang menempatkan
seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki, kemudian menempatkan seseorang
tersebut ke dalam suatu kelas sosial yang sesuai dengan kualitasnya.
Gelar Kebangsawanan di masanya merupakan stratifikasi
sosial, yang saat itu bangsawan bertugas sebagai penegak keadilan serta pemimpin masyarakat.
Pada Masyarakat Melayu di pesisir timur Sumatera Utara atau masa itu disebut
Sumatera Timur, juga memiliki Gelar Kebangsawanan dan Gelar Penyebutan dalam
pranata Kemelayuan masa dulu, diantaranya:
A.
Tuanku
Tuanku bukanlah gelar gelaran yang mulia digunakan
apabila bercakap dengan Sultan atau setaranya. Tuanku dipakai sebagai kata
ganti nama diri kedua bagi Sultan.
"Asah kapak tajam beliung,
Tebang mari kayu berduri;
Tuanku umpama kemuncak payung,
Patik di bawah berteduh diri".
B.
TENGKU
Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang
otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari
Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal
nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam
masyarakat adat Melayu.
Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau
ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya
tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak
mereka.
Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah
keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung
Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau,
Malaysia, Pattani, Singapura; dan lainnya.
Turunan Merah atau Raja di Sumatera Timur juga bisa
disebut Tengku.
Sebagian zuriat Tengku, tidak meletakkan kata
Tengku di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya disebut orang lain
kepada dirinya, misalnya Pujangga asal Langkat - Tengku Amir Hamzah, beliau
menulis namanya dengan Amir Hamzah saja, namun orang memanggilnya dengan
sebutan Tengku Amir Hamzah atau Ku Busu. Dr Tengku Mansoer menulis namanya juga
dengan Dr Mansoer, tapi orang lain menyebutnya dengan Dr Tengku Mansoer.
B1.
MERAH
Gelar ‘Marah’, Merah atau 'Morah' adalah gelar
kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam. Prof. Dr.
Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam
Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata
‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.
Sebut saja contoh, Marah Silu yang merupakan
pendiri kerajaan di Samudera yang disebut Pasai. Contoh lainnya adalah putra
Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di
kota Padang – Sumatera Barat, pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman
juga memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat
Minangkabau.
Di Tebingtinggi sebelum popular penyebutan kata
Raja dan selanjutnya Tengku, gelar yang dipakai adalah Marah (baca: Morah).
Selanjutnya kini gelar itu tidak terpakai lagi, tetapi berubah menjadi Tengku.
B2.
RAJA
Gelar ‘Raja’ juga popular di banyak tempat di
Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini,
bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota
Pinang, Tebingtinggi dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan
Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan
fungsi yang beragam lagi.
Di luar Sumatera Timur, ada juga Melayu yang
menggunakan gelar Raden dan lainnya, namun gelar Raden ini belum pernah
tersandang bagi kaum bangsawan di Sumatera Timur.
C.
DATUK
“Datuk” jika disamakan dengan bahasa
Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan
to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan.
Gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar
sebagai kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku.
Di wilayah Batubara, rajanya justru bergelar Datuk, karena Batubara adalah
Datuk di bawah Kesultanan Siak.
Namun ada juga beberapa wilayah yang memakai gelar
Tengku bagi turunan Rajanya yang dimasukkan Belanda dulu ke Batubara, semisal
wilayah Tanjung Kasau, Inderapura, dan sekitar itu.
Di Deli ada Datuk Empat Suku. Sejak era Sultan
Azmy Perkasa Alam, untuk membedakan dengan Datuk-Datuk di luar Datuk Empat
Suku, diberi penanda yang penulisannya
menjadi Datuq.
Ada pula Datuk sebagai Orang Besar yang diangkat menurut
kehendak Sultan atau Raja, berdasarkan titah pengangkatan resmi untuk zuriat
tertentu.
Di Sumatera Timur, orang-orang Cina pendatang yang
menyembah arwah, akan menyiapkan bangunan kecil yang disebut Rumah Datuk untuk
menghormati arwah Datuk Datuk Melayu tempatan.
D.
ORANG KAYA (OK)
“Orang Kaya" dibaca Orangkaye atau Orangkayo
sering disingkat OK, merupakan sebutan bagi anak lelaki turunan Datuk yang
tidak menjabat Datuk. Sebutan ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang
berpengaruh, baik secara materi maupun marwah dalam lingkungan istana.
E.
WAN
“Wan” adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda
penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun
ber-ayah-kan bergelar di bawah itu namun tetap berresam Melayu, juga boleh
menyandang gelaran ini. Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali
disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang
Pahang). Di Kerajaan Padang di Tebingtinggi, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat
bangsawan asal Negeri Pahang.
Anak perempuan dari beberapa Datuk Empat Suku di
Deli ada juga bergelar ini.
Datuk di wilayah Sinembah (baik di Deli maupun di
Serdang) menggunakan gelar Wan di depan nama - lalu meletakkan kata Baros di
belakang nama.
F.
AJA
“Aja” adalah gelar kebangsawanan terbatas
dipergunakan, semisal di wilayah Sunggal. Ia diperuntukkan untuk turunan Datuk
dan boleh disandang bagi pria dan wanita.
Sebutan Aja juga dipergunakan sebagian kecil
zuriat Negeri Padang Tebingtinggi sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna
‘Entu’ (Ayahanda) atau Ende’ (Ibunda/Bonda).
G.
DATUK MUDO (DTM)
Ini adalah sebutan terbatas di Tanjungbalai Kesultanan
Asahan, untuk gelaran ‘bahu’ atau pembesar rendah pendamping Sultan di istana.
H.
MEGAT
Adalah gelar bagi anak turunan dari wanita
tergolong bangsawan yang menikah dengan orang di luar itu.
Megat juga ditemukan di Sumatera Timur untuk
penyebutan pada golongan berjasa pada kerajaan, misalnya sosok Megat Jiwa yang
kuburnya ada di Binjai.
I.
INCIK
“Incik” atau disingkat “Cik” adalah sebutan hormat
bagi orang bukan bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di
lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan
pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.
Sebutan ini adalah tanda hormat dan membesarkan
kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan. Bisa digunakan untuk laki
laki ataupun perempuan.
Walau kata Incik adalah tanda hormat, namun
seorang bangsawan semisal Tengku, tidak boleh disapa dengan sebutan Incik atau
Cik, karena ini menjadi makna teramat sangat merendahkan lawan bicara.
J.
TUAN
"Tuan" adalah sebutan bukan gelar
bangsawan, kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan, namun ahli dan
khusuk di bidangnya. Misalnya Tuan Guru, Tuan Haji dll. Di Simalungun, gelar
Tuan justru dipakai untuk bangsawan tinggi.
Seorang bangsawan Melayu bergelar semisal Tengku,
Datuk dll, walaupun ia ahli di bidangnya dan khusuk, tetap tidak boleh disapa
dengan Tuan dalam kaidah adat, tetap disebut Tengku, Datuk, dsb, karena
masing-masing telah didudukkan pada tempatnya menurut adat nan kanun zaman
berzaman.*(M Muhar – Omtatok)