Kota Tebing Tinggi berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan – Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota yang dahulu adalah ibu negeri dari sebuah kerajaan Melayu yang bernama Negeri Padang ini, luasnya 38.438 kilometer persegi dikelilingi perkebunan milik PTPN III, IV dan Socfindo. Jika dari Medan menuju Pematang Siantar, kita akan menemukan kota tansit nan bersih, itulah kota Tebing Tinggi.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui, bahwa kota pelintasan antara jalur transportasi timur dan barat ini, memiliki beberapa aset wisata yang belum pernah dikelola. Sebut saja beberapa titik sumber mata air panas, seperti di antara kompleks TC Sosial dan kompleks Sekolah Dasar di sebelahnya. Di tempat ini air panas terbuang dari pelapisan bumi, tanpa ada kolam penampungan. Di daerah Simpang Rambung sumber air panas ini dimanfaatkan sebuah rumah ibadah untuk kebutuhan jamaah. Jika dibuat kolam-kolam penampungan, tentu akan menjadi objek wisata yang cukup menarik.
Di wilayah Sungai Sigiling, ada sebuah bangunan bergaya Minangkabau warisan dari Tuan Syech Baringin. Di lokasi ini terdapat makam ulama tersebut beserta surau peninggalannya. Tuan Syech Baringin adalah seorang ulama thariqat kharismatik di Kota Tebing Tinggi yang berasal dari Limapuluh Kota Sumatera Barat. Beliau dikenal sangat sakti. Dikisahkan ketika serdadu Jepang ingin menangkapnya di tempat persulukannya di Kampong Kebon Kelapa Tebing tinggi, tiba-tiba saja daerah itu menjadi hamparan telaga. Lokasi ini bisa menjadi objek wisata ziarah religi.
Tidak Jauh dari lokasi Tuan Syech Baringin, juga terdapat makam Datuk Genjang (kini disebut Datuk Ganjang). Makam ini unik karena memiliki panjang 7 meter. Konon dan tentu konon dari kabar mulut ke mulut saat sang datuk meninggal dunia, mayat beliau dilipat tujuh. Tentu kisah ini tidak bisa diterima akal dan adab. Datuk Ganjang adalah seorang bangsawan Melayu dari Malaka dan juga seorang ulama. Beliau wafat pada tarikh 4 Zulqaidah 1084 H (10 Pebruari 1674 M).
Di Bulian masih terdapat sebagian tidak utuh dari bangunan Istana Negeri Padang berasitektur Melayu beserta sebagian makam raja-raja dan bangsawan lainnya. Istana ini popular disebut Rumah Tinggi.
Di daerah Bandar Sakti masih berdiri rumah Melayu tua peninggalan Tengku Tocco (Tengku Tokoh). Semua ini bisa menjadi objek wisata jika ada pembenahan dan pengembangan yang didukung kesenian tempatan seperti musik tabuh larangan kerajaan, tari maniti gobuk, tari podang, tari dulang, tari tujah, tari junjong maharajo, tari persembahan, tari seri padang, sinandong atau juga dondang, sebagai khazanah budaya lokal.
Pada tahun 1881 datang permintaan dari Naeher & Grob untuk membuka concessie di wilayah Kerajaan Padang dan Bedagai. 1882 datang pula Controleur dari Labuhan dan Serdang, soal hubungan Raja Padang yang Melayu dengan Batak di Pagurawan yang dikatakan kurang mesra. Kedua controleur itu mendapat kesan bahwa untuk memberi concessie ini hanyalah lebih dahulu dapat diatur di daerah-daerah Melayu saja, sedang daerah-daerah orang Batak yang bermukim harus pelan-pelan dan hati-hati.
15 Desember 1884 dibuat kontrak antara Sultan Deli & Tengku Pangeran dengan Gouvernement, yang mengatur pengalihan cukai, monopoli dan sebagainya. Pada 5 Maret 1885, Kerajaan Padang masing-masing mendapat 30.000 gulden per tahunnya, dibagi menurut sepanjang adat antara yang berhak.
Pada 2 Juni 1907 diadakan politiek contract baru antara Sultan Deli dengan Gouvernement. Sampai saat itu dalam pemerintahan Sultan Deli ada pula Maharaja Padang, Raja Pangeran Bedagai, terdapat orang-orang besar dengan title kejeruan. Sehingga gouvernement tetap akan mengeluarkan schadevergoeding kepada pemerintah zelfbestuur sebesar 185.850 gulden.
Perihal aturan hukum, gouvernement untuk Sumatera Timur mengatur pembagian pengadilan dalam kerajaan, berdasarkan wilayah Bataksche Streken dan Daerah Melayu. Kerapatan Raja Padang di Daerah Melayu berhak mengadili sampai f.625, dan boleh appel kepada Kerapatan Negeri jika pokok perkara lebih dari f.125. Kerapatan Negeri mengadili lebih besar dari itu, dan boleh appel ke Kerapatan Sultan jika pokok perkara lebih dari f.1250.
Photo: Datuk Bandar Kajum 1870
Merujuk makalah tertanggal 15 juni 1978, berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi – Arisan Keluarga Besar Anak Cucu Datuk Bandar Kajum Pendiri Kota Teb. Tinggi”, yang ditandatangani Panitia peneliti/perumus hari penetapan berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi, yaitu Dt. Idris Hood Damanik, Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djundjungan Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan, dan OK Siradjoel Abidin, kemudian dianggap sebagai awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi yang terpakai saat ini, diketahui dari sebuah memori Tuan J.J. Mendelaar, mantan Voorzitter Don Gemeenteraad Tebing Tinggi, yang bila diterjemahkan secara bebas berbunyi : “Setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan desentralisasi, maka pada tanggal 31 Juni 1917 berdirilah Gemeente Tebing Tinggi dengan Insteling Ordonantie Van Staatsblad 1917 nomor 282, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1917.
Riwayat menceritakan, bahwa ada Rombongan Kerajaan Siak, diantaranya Tok Haji Abdul Karim (Datuk Bandar Kajum) meninggalkan kampungnya menuju ke daerah Padang (Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya), bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, dari Siak. Pengikut-pengikut tersebut bersebar juga hingga ke Pertumbukan.
Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Merulak di daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Merulak inipun mereka mendapat serangan dari Raya, kemudian Tok Haji Abdul Karim mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.
Bersama dengan beberapa pengikutnya Tok Haji Abdul Karim mendirikan rumah dan kampung yang dipagari dengan kayu yang kokoh di tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampung.
Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Tok Haji Abdul Karim, karena dianggap menguasai bandar di negeri Padang (baca: Tebingtinggi), yang sudah diincar Raya. Melihat musuh yang datang, seluruh kaum Tok Haji Abdul Karim dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.
Diceritakan, Tok Haji Panglima Abdul Karim memperoleh banyak bantuan dari berbagai negeri sekitar itu, sehingga Bandar Kajum dapat mengelakkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan.
Denah: Dataran Tinggi Yang Kelak Menjadi Perkuburan Datuk Bandar Kajum
Datuk Bandar Kajum sendiri dalam bahasa Melayu berarti Kepala wilayah yang mengajak. Datuk Bandar Kajum lahir sekira pada tahun 1795-an atau di sekitar itu, di Siak. Wafat pada hari Selasa 7 Muharram 1315 H atau 8 Juni 1897 M.
Berbeda dengan makalah tertanggal 15 juni 1978, berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi – Arisan Keluarga Besar Anak Cucu Datuk Bandar Kajum Pendiri Kota Teb. Tinggi; yang diperbuat tanda pendekatan data sejarah, Siak justru memiliki catatan sejarah lebih akurat tentang beliau, Tengku Tebing Pangeran, serta hubungan dengan Siak.
Di saat Sultan Alam hidup mengembara di Selat Malaka sebagai lanun, meninggalkan kerajaan Siak setelah perebutan kekuasaan antara Tengku Buang Asmara dan Sultan Alam. Beliau menikah dengan anak dari Daeng Perani Bangsawan Luwu di pulau Tujuh, Anambas, yang bernama Dahing Khadijah. Hasil pernikahan ini memberikan 4 puteri. Diantaranya adalah Tengku Embung Badriyah. Didalam pengembaraan, sebelum Sultan Alam menjadi Sultan Siak ke 4, beliau menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan Arab yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bernama Said Osman Sahabuddin. Stanza/baris syair Siak ke 383 menceritakan hal ini.
Embung Badariah berparas rupawan
Dinikahkan dengan Arab bangsawan
Said Syarif Osman nama ilmuan
Gagah perkasa banyak pengetahuan.
Anak dari pernikahan antara Said Osman Syahabuddin bin Abdurrahman (Panglima, Diplomat dan Mufti Kerajaan di Kesultanan Siak) dan Tengku Embung Badariyah menjadi Sultan Siak, Sultan Pelalawan, dan Panglima perang di Tebing Tinggi ( Sumatera Utara ). Said Osman memberikan perananan yang besar dalam perkembangan kerajaan Siak, diantaranya. Sebagai panglima perang dari kerajaan Siak, Sayyid Usman menjadi pemimpin dalam perluasan kerajaan Siak hingga memiliki 12 daerah jajahan atau yang disebut dengan jajahan 12 negeri. Said Osman dimakamkan di Bukit Senapelan komplek makam Raja Alam.
Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim
Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi merupakan satu di antara Khalifah Tariqat Naqsabandi yang pernah memimpin pusat Persulukan Tariqat (Pusat Belajar Agama Islam) di Kampung Basilam, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi, dari banyak penuturan wafat di Kampung Kebun Kelapa pada 1928. Ulama kharismatik itu diperkirakan berusia 130 tahun dan dikebumikan di pemakaman keluarga, kini terletak di Gg. Keluarga Link.01, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir.
Tengku Muhammad Hasyim dilahirka sekitar tahun 1892? dari keluarga Kerajaan Melayu Padang berpusat di Tebing Tinggi. Ayahnya? bernama Raja Abdullah bin Raja Haji Achmad, bangsawan Karimun. Beliau saudara dekat Tengku Haji Jamta Melayu – putera dari Raja Kerajaan Padang, Tengku Tebing Pengeran yang gugur akibat pengkhianatan dalam perang yang dipimpin Daeng Salasa gelar Panglima Daud dari Kerajaan Negeri Bedagai.
Raja Tebing Pangeran dalam literature terbatas, dikenal sebagai pemberi nama dan pendiri Kota Tebing Tinggi. Di masa kekuasaannya, berdiri Pelabuhan Sungai di tepian Sungai Padang tepatnya di Muara Sungai Bahilang. Pangkalan ini diberi nama sesuai dengan nama pendirinya, yakni Pangkalan Tebing dan namanya berkembang menjadi nama sebuah kota yang menjadi bagian dari salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara sampai saat ini. Pasca wafatnya Tengku Tebing Pengeran, tampuk kekuasaan Kerajaan Melayu Padang dikendalikan zuriat dari garis perempuan.
Gejolak politik kerajaan itu, telah meminggirkan hak-hak politik dari warga Melayu pesisir, sehingga banyak di antaranya yang beralih perhatian dengan mendalami agama Islam dan menjadi ulama. Salah satunya adalah Tengku Muhammad Hasyim yang saat itu masih berusia muda. Dia mendalami ilmu Tariqat dari aliran Naqsabandiyah di Basilam, hingga kemudian sempat memimpin Persulukan ini.
Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah, berlayar dari Pangkalan Tebing menuju Bandar Khalifah. Dari Bandar Khalifah, jamaah haji kala itu menyeberang ke Penang, Malaysia dan terus berlayar ke Jeddah.
Pada masa berikutnya, Tengku Muhammad Hasyim kembali ke kampung halamannya di Kerajaan Melayu Padang dan menetap di Kampung Kebun Kelapa yang saat ini menjadi salah satu wilayah dari Kota Tebing Tinggi. Beliau menikah dengan Hj. Syofiah dan mendapat tujuh anak dari isteri pertamanya ini. kemudian beliau juga mempunyai 3 orang isteri lainnya.
Dari daerah Kebun Kelapa inilah menjadi awal dari penyebaran paham naqsabandiyah ke berbagai wilayah, meliputi kerajaan Padang, Bedagai hingga ke Kerajaan Serdang. Lima Laras dan Kerajaan Bandar. Beberapa persulukan sempat dibuka murid-murid Tuan Guru Mhd. Hasyim, di antaranya di Bedagai, Sei Buluh, Lidah Tanah, Tebing Tinggi dan Bandar Khalifah. Jejak terakhir dari penyebaran tariqat ini masih terlihat di Lidah Tanah, tepatnya di Kampung Tengah. Dulu dipimpin Khalifah Adnan dan terakhir ada di Sei Buluh dipimpin oleh H. Dul Hadi.
Sebutan lain untuk Beliau adalah Tuan Guru Muhammad Hasyim, juga membuka persulukan di lahan miliknya. Namun, saat ini persulukan itu telah lama rubuh dan lahannya kini menjadi area perkebunan ubi, tepat di pinggir rel kereta api di kelurahan Tebing Tinggi. Semasa hidupnya, Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi kelebihan sebagai tanda kedekatannya kepada Allah. Pada banyak keterangan yang didapat pada masa hidupnya, Syekh Muhammad Hasyim ini dikenal dengan doanya yang makbul. Kelebihan lain yang sempat terekam dalam ingatan keturunannya, adalah kemampuan Tuan Guru Muhammad Hasyim dalam melihat maksud orang yang datang kepadanya. Begitu pula dengan kemampuannya melihat masa lalu dan masa depan, sehingga banyak masyarakat saat itu yang meminta petunjuk padanya.
Tuan Syech Baringin
Adalah Ulama Tariqat Kharismatik di Kota Tebing Tinggi. Beliau dikenal berkaromah. Dikisahkan, Ketika Serdadu Jepang ingin menangkapnya di tempat persulukannya di Kampong Kebon Kelapa Tebing tinggi, tiba-tiba saja daerah itu menjadi hamparan telaga.Tuan Syech Baringin juga merupakan pimpinan umum dari organisasi Barisan Sabilillah Muslimin Indonesia cabang Tebing Tinggi dan pemimpin dari Markas Agung Tebing Tinggi. Organisasi BASMI yang dipimpin Tuan Guru Syekh Baringin juga berperan aktif ketika terjadi revolusi Sumatera Timur yakni berperan dalam melindungi sisa pelarian kaum bangsawan Kerajaan Langkat dan melindungi keturunan Kerajaan Negeri Padang di Tebing Tinggi.
Beliau juga turut berjuang dalam peristiwa 13 Desember 1945 dan turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan di Tebing Tinggi. Dalam bidang pendidikan, beliau dulunya berperanan aktif memberikan pengajaran agama islam kepada murid-murid yang datang belajar ke rumahnya sambil mengembangkan tarekat Naqsabandiyah dan Samaniyah di Tebing Tinggi, mengajarkan Silat, serta memberi pelayanan terhadap masyarakat luas.
Gelar Kebangsawanan di Tebing Tinggi
Gelar ‘Marah’ atau 'Morah'
adalah gelar kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam. Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.
Sebut saja contoh, Marah Silu yang disebut pendiri Samudera Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di kota Padang – Sumatera Barat, pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat Minangkabau.
Gelar ‘Raja’
berasal dari kata rÄjan (bahasa Sanskerta), juga popular di banyak tempat di Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini, bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota Pinang, dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan fungsi yang beragam lagi.
“Tengku”
adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam masyarakat adat Melayu.
Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak mereka, kecuali menggunakan gelar Wan.
Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau, Malaysia, Pattani, Singapura; bahkan kini Melayu di Kalimantan juga menggunakannya.
Di Kerajaan Padang, gelar Tengku lebih popular dipergunakan sejak Tengku Haji Muhammad Nurdin gelar Maharaja Muda Wazir Negeri Padang (1870-1914). Setelah masa itu, gelar Marah berubah menjadi Tengku, dan gelar Raja juga lebih popular menjadi Tengku pula hingga kini. Sebagian zuriat Tengku di Tebing Tinggi, tidak meletakkan kata Tengku di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya menyebutkan bila ditanya.
Di samping gelar Marah dan Raja yang mengadaptasi menjadi Tengku, di Kerajaan Padang juga terdapat beberapa gelar kebangsawanan lain, seperti Datuk dan Orang Kaya (OK).
“Datuk”
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan. Di Kerajaan Padang dan wilayah-wilayah Melayu di Sumatera Timur,gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar sebagai kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku. Di wilayah Batubara, gelar Datuk justru setingkat dengan Tengku.
Di Kerajaan Padang pula, gelar Datuk dipakai juga untuk zuriat Datuk terdahulu.
“Orang Kaya (OK)”
merupakan gelaran bagi anak lelaki turunan Datuk yang tidak menjabat Datuk. Gelar ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang berpengaruh, baik secara materi maupun marwah.
“Incik” atau disingkat “Cik”
adalah sebutan hormat bagi orang non-bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.
“Wan”
adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun ber-ayah-kan orang kebanyakan, juga boleh menyandang gelaran ini. Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang Pahang). Di Kerajaan Padang, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat bangsawan asal Negeri Pahang.
“Aja”
dipergunakan sebagian kecil zuriat Negeri Padang sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’ atau Ende’.
Di lain tempat, misalnya di Kedatukan Sunggal Serbanyaman, gelar Aja dipakai lelaki dan perempuan zuriat Datuk.
Beberapa Nama Wilayah Di Tebing Tinggi
Cong Api
Kata Cong Api berasal dari nama Tjong A Fie adalah seorang bankir dari Meixian, Guangdong, Tiongkok . Setelah perantauannya di Medan pada 1875 lampau, dia membangun bisnis perkebunan besar, yakni pabrik kelapa sawit, pabrik gula, perusahaan kereta api, dan memiliki lebih dari 10.000 karyawan berkat kepiawaiannya dalam bergaul dengan gaya prularisme.
Wilayah Jl Tjong A Fie kini bernama Jl KH Ahmad Dahlan, tapi tetap melekat dalam sebutan Cong Api. Di wilayah ini berjejer beberapa stand pedagang lemang.
Kota Tebing Tinggi disebut juga Tebing Tinggi Deli, dikenal sebagai Kota Lemang. Disebut Kota Lemang, seperti halnya daerah-daerah lain di Pulau Sumatera, lemang menjadi salah satu panganan khas pada hari besar tertentu.
Di Tebing Tinggi dulu, lemang didagangkan keliling kampung. Di sekitar tahun 1958, pendatang etnis Minangkabau mulai memasuki kota Tebing Tinggi, dan memulai melirik Lemang menjadi dagangan yang menjanjikan keuntungan.
Jadilah Tebing Tinggi menjadi lebih Kota Lemang, sejak Pemko Tebing Tinggi membuat Pesta Lemang Terbesar dan Terbanyak dengan 96 varian rasa. Peristiwa unik ini tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI), 29/06/2013.
Bulian
Kayu Ulim (eusideroroxylon zwageri) dalam bahasa Melayu disebut Bulian. Adalah nama pohon besar yang berkayu keras, yang baik dipergunakan untuk bahan bangunan dan jenis atap.
Di wilayah Bulian di Tebing Tinggi, dahulu banyak ditumbuhi jenis pohon yang tingginya mencapai 50m dengan diameter 170cm ini.
Wilayah Bulian, dulu pernah menjadi Ibu Negeri Kerajaan Padang.
Bandar Sakti
Nama Bandar Sakti disebut pertama kali oleh T Achmad Rasyid alias Penghulu Amat. T Achmad Rasyid adalah Bangsawan Langkat yang diminta Raja Siantar untuk menjadi Hoofd Penghulu di Bandar Tinggi karena terjadi kerusuhan antar Puak Simalungun, Mandailing, Rao dengan Banjar di wilayah tersebut.
Pada maret 1946 terjadi revolusi sosial pembantaian kaum bangsawan. Keluarga Penghulu Amat dan Turunan Raja Tanjung Kasau lari menyelamatkan diri di sebuah rumah di wilayah yang kini disebut Jl F Tandean Tebing Tinggi.
Pada hal wilayah tersebut adalah wilayah kantong bangsawan Kerajaan Padang, yang juga sebenarnya rawan menjadi korban pembantaian.
Kesaktian wilayah tersebut yang mampu menyelamatkan kaum bangsawan dari amuk pemberontak disebut Bandar Sakti.
Bagelen
Dari hikayat mulut ke mulut adalah wilayah berpaya di pinggiran Tebing Tinggi sekarang. Di dekat paya itu tinggal seorang puteri yang selalu bertenun songket, Puteri Pinang Sendawar.
Konon sang puteri adalah anak seorang raja yang selalu kematian anak. Maka raja mengasingkan sang puteri, agar tidak meninggal dunia. Di tempat pengasingan tersebut Puteri Pinang Sendawar yang selalu bertenun songket tersebut akhirnya menikah dan memiliki dua anak lelaki.
Ternyata aktifitas bertenun songket masih ia lakukan setelah memiliki anak. Keasyikan bertenun itu membuat ia lupa waktu dan akhirnya dua anaknya mati kelaparan di dalam lumbung. Padahal salah satu anaknya masih usia menyusui. Puteri itu akhirnya kalut dan menyusui anak lembu.
Kisah klasik di wilayah tersebut ternyata ada kemiripan dengan kisah asal muasal daerah Bagelen di Pulau Jawa. Oleh para kuli kontrak pekerja perkebunan asal Jawa, wilayah itu mereka namakan Bagelen.
Kampung Durian
Disebut Kampung Durian, karena dulu banyak ditumbuhi pohon-pohon durian.
Kampung Bicara
Bicara dalam bahasa Melayu artinya adalah akal budi, pikiran, perundingan, beperkara, berurusan, pertimbangan pikiran, pendapat, berbahasa dan berkata.
Di wilayah Kampung Bicara, dulu berdiam seorang cendikia yang pembicaraannya bernas dan buah fikirnya selalu memberi solusi terbaik. Konon orang segan menaiki rumah panggungnya jika ingin meminta Beliau berbicara, tapi sang cendikiawan akan turun dari rumah panggung dan mengajak orang berbicara di bawah pohon manggis yang tumbuh di halamannya.
Bandar Sono
Dulu di wilayah ini sudah lama menjadi daerah pemukiman. Banyak tumbuh pohon angsana (Pterocarpus indicus). Pohon angsana dalam bahasa lokal disebut Pokok Sono atau dalam dialek lain disebut Sena. Karenanya wilayah ini disebut Bandar Sono.
Persiakan
Di wilayah ini dulu sunyi, sungai menjadi wilayah pelintasan peniaga ke pusat Tebing Tinggi. Jika pedagang yang bersampan melewati tempat ini, maka acapkali menemukan kaum asal Siak yang bermukim di wilayah ini. Karena orang-orang asal Siak tersebut bermukim di tempat itu, maka orang menyebutnya Persiakan.
Persiakan dalam bahasa Melayu memiliki beberapa arti yaitu tempat perawat surau atau daerah yang tumbuh pohon siak (Dianelle ensifolia).
Kampung Mandailing
Perjalanan Tuanku Tambusai yang berperang melawan Belanda melintasi pegunungan Bukit Barisan (Mandailing, Angkola, Padang Lawas dan Kota Pinang) kemudian dipandang sebagian penting dalam sejarah migrasi orang Mandailing. Jalur perjalanan itu kemudian dipakai para perantau sebagai jalur pertama ke Sumatera Timur. Gelombang kedua migrasi orang Mandailing dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1840-an. Ketika itu perkebunan belum dibuka di Sumatera Timur. Sejak itu migrasi orang Mandailing terus berlanjut. (Pelly, 1994:42,55).
Tanah Deli (orang Mandailing-Angkola menyebutnya Tano Doli) adalah daerah rantau utama orang Mandailing-Angkola. Para perantau awal Mandailing-Angkola tampil sebagai guru, guru agama, kerani, kadhi atau pedagang. Pembauran mereka dengan masyarakat Melayu tidak mengalami kesulitan, karena terutama adanya persamaan agama. Keturunan mereka ditambah dengan para migran yang terus berdatangan sejak akhir abad XIX telah membentuk suatu komunitas tersendiri .
Hubungan mereka yang erat dengan kalangan bangsawan Melayu menempatkan mereka pada kedudukan yang terhormat di kalangan masyarakat. Banyak diantara mereka yang menjadi pejabat pejabat agama kesultanan dan kerajaan.
Keberhasilan perantau Mandailing di pesisir Sumatera Timur antara lain karena : kesamaan dalam agama dan keyakinan dengan suku Melayu, pendidikan yang lebih baik , dan kurangnya persaingan kelompok-kelompok etnis lain. Dalam hal ini perantau Mandailing memiliki dua keuntungan, yaitu; 1. Simpati kesultanan kesultanan Melayu, dan 2. Posisi ekonomik mereka yang lebih lama. (Castles,1972:187;Pelly,1994:61).
Di Tebing Tinggi sendiri, Kampung Mandailing dulu adalah pemukiman yang disediakan Kerajaan Padang untuk kaum ulama asal Mandailing – Angkola yang kedudukannya setara dengan Melayu, dan dianggap sebagai puak Melayu.
Kondisi nyaman yang didapat Orang Mandailing dari penguasa Melayu di Tebing Tinggi, membuat migrasi Mandailing ke Tebing Tinggi semakin bertambah dari golongan usahawan emas yang cukup berhasil. Di dunia kesenian Melayu, Orang Mandailing turut berkiprah sebagai seniman lagu, musik dan lainnya, bahkan turut berbahasa Melayu fonem ‘O’ sebagai bahasa utama.
Kampung Rao
Rao adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, Rao sendiri adalah sub etnis Melayu.
Kehadiran etnis Melayu Rao ke Tebing Tinggi, sezaman dengan kehadiran Mandailing. Pemukiman orang Rao tidak jauh dari Kampung Mandailing, yang disebut Kampung Rao.
Tongkah
Wilayah yang dulu sebagai rantau Padang, kini berada di sekitar Kampung Muslimin, Nagur Bayu, Nagur Usang. Dulu sebagai negeri wazir Padang yang ditanam tembakau.
Rantau Laban
Rantau Laban secara bahasa artinya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon laban. Pohon Laban berkayu putih kekuning-kuningan, kulit dan daunnya lebih besar dari pada daun kenari, biasa digunakan untuk obat; Vilex pubescens . Ada beberapa jenisnya Laban, seperti Laban Bunga dan Laban Kunyit.
Di Rantau Laban dahulu sebagai ‘luhak’ dari Negeri Padang, yang pernah dipimpin Tengku Laidin. Yang terakhir Rantau Laban dipimpin Tengku Muhammad Aminullah.