Selasa, 18 Juni 2019

Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan

Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan

 

oleh: Muhammad Muhar - Omtatok

 

Stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise. Menurut Soerjono Soekanto, stratifikasi sosial merupakan pembedaan posisi seseorang ataupun kelompok yang pembedaaan kedudukannya secara vertikal. Sedangkan Bruce J. Cohen, menyebut stratifikasi sosial merupakan suatu sistem yang menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki, kemudian menempatkan seseorang tersebut ke dalam suatu kelas sosial yang sesuai dengan kualitasnya.

Gelar Kebangsawanan di masanya merupakan stratifikasi sosial, yang saat itu bangsawan bertugas sebagai penegak keadilan serta pemimpin masyarakat. Pada Masyarakat Melayu di pesisir timur Sumatera Utara atau masa itu disebut Sumatera Timur, juga memiliki Gelar Kebangsawanan dan Gelar Penyebutan dalam pranata Kemelayuan masa dulu, diantaranya:

A. Tuanku

 

Tuanku bukanlah gelar gelaran yang mulia digunakan apabila bercakap dengan Sultan atau setaranya. Tuanku dipakai sebagai kata ganti nama diri kedua bagi Sultan.

 

"Asah kapak tajam beliung,

Tebang mari kayu berduri;

Tuanku umpama kemuncak payung,

Patik di bawah berteduh diri".

 

B. TENGKU

 

Tengku adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam masyarakat adat Melayu.

 

Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak mereka.

 

Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau, Malaysia, Pattani, Singapura; dan lainnya.

Turunan Merah atau Raja di Sumatera Timur juga bisa disebut Tengku.

 

Sebagian zuriat Tengku, tidak meletakkan kata Tengku di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya disebut orang lain kepada dirinya, misalnya Pujangga asal Langkat - Tengku Amir Hamzah, beliau menulis namanya dengan Amir Hamzah saja, namun orang memanggilnya dengan sebutan Tengku Amir Hamzah atau Ku Busu. Dr Tengku Mansoer menulis namanya juga dengan Dr Mansoer, tapi orang lain menyebutnya dengan Dr Tengku Mansoer.

 

B1. MERAH 

 

Gelar ‘Marah’, Merah atau 'Morah' adalah gelar kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam.  Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.

 

Sebut saja contoh, Marah Silu yang merupakan pendiri kerajaan di Samudera yang disebut Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di kota Padang – Sumatera Barat,  pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat Minangkabau. 

Di Tebingtinggi sebelum popular penyebutan kata Raja dan selanjutnya Tengku, gelar yang dipakai adalah Marah (baca: Morah). Selanjutnya kini gelar itu tidak terpakai lagi, tetapi berubah menjadi Tengku.

 

B2. RAJA

 

Gelar ‘Raja’ juga popular di banyak tempat di Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini, bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota Pinang,  Tebingtinggi dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan fungsi yang beragam lagi.

Di luar Sumatera Timur, ada juga Melayu yang menggunakan gelar Raden dan lainnya, namun gelar Raden ini belum pernah tersandang bagi kaum bangsawan di Sumatera Timur.

 

C. DATUK

 

“Datuk” jika disamakan dengan  bahasa Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan. 

 

Gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar sebagai  kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku. Di wilayah Batubara, rajanya justru bergelar Datuk, karena Batubara adalah Datuk di bawah Kesultanan Siak.

Namun ada juga beberapa wilayah yang memakai gelar Tengku bagi turunan Rajanya yang dimasukkan Belanda dulu ke Batubara, semisal wilayah Tanjung Kasau, Inderapura, dan sekitar itu.

 

Di Deli ada Datuk Empat Suku. Sejak era Sultan Azmy Perkasa Alam, untuk membedakan dengan Datuk-Datuk di luar Datuk Empat Suku, diberi penanda  yang penulisannya menjadi Datuq.

 

Ada pula Datuk sebagai Orang Besar yang diangkat menurut kehendak Sultan atau Raja, berdasarkan titah pengangkatan resmi untuk zuriat tertentu. 

 

Di Sumatera Timur, orang-orang Cina pendatang yang menyembah arwah, akan menyiapkan bangunan kecil yang disebut Rumah Datuk untuk menghormati arwah Datuk Datuk Melayu tempatan.

 

D. ORANG KAYA (OK)

 

“Orang Kaya" dibaca Orangkaye atau Orangkayo sering disingkat OK, merupakan sebutan bagi anak lelaki turunan Datuk yang tidak menjabat Datuk. Sebutan ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang berpengaruh, baik secara materi maupun marwah dalam lingkungan istana.

 

E. WAN

 

“Wan” adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun ber-ayah-kan bergelar di bawah itu namun tetap berresam Melayu, juga boleh menyandang gelaran ini.  Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang Pahang). Di Kerajaan Padang di Tebingtinggi, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat bangsawan asal Negeri Pahang.

 

Anak perempuan dari beberapa Datuk Empat Suku di Deli ada juga bergelar ini.

Datuk di wilayah Sinembah (baik di Deli maupun di Serdang) menggunakan gelar Wan di depan nama - lalu meletakkan kata Baros di belakang nama.

 

F. AJA

 

“Aja” adalah gelar kebangsawanan terbatas dipergunakan, semisal di wilayah Sunggal. Ia diperuntukkan untuk turunan Datuk dan boleh disandang bagi pria dan wanita.

 

Sebutan Aja juga dipergunakan sebagian kecil zuriat Negeri Padang Tebingtinggi sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’ (Ayahanda) atau Ende’ (Ibunda/Bonda).

 

G. DATUK MUDO (DTM)

 

Ini adalah sebutan terbatas di Tanjungbalai Kesultanan Asahan, untuk gelaran ‘bahu’ atau pembesar rendah pendamping Sultan di istana.

 

H. MEGAT

 

Adalah gelar bagi anak turunan dari wanita tergolong bangsawan yang menikah dengan orang di luar itu.

Megat juga ditemukan di Sumatera Timur untuk penyebutan pada golongan berjasa pada kerajaan, misalnya sosok Megat Jiwa yang kuburnya ada di Binjai.

 

I. INCIK

 

“Incik” atau disingkat “Cik” adalah sebutan hormat bagi orang bukan bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.

 

Sebutan ini adalah tanda hormat dan membesarkan kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan. Bisa digunakan untuk laki laki ataupun perempuan.

 

Walau kata Incik adalah tanda hormat, namun seorang bangsawan semisal Tengku, tidak boleh disapa dengan sebutan Incik atau Cik, karena ini menjadi makna teramat sangat merendahkan lawan bicara.

 

J. TUAN

 

"Tuan" adalah sebutan bukan gelar bangsawan, kepada orang yang tidak memiliki gelar kebangsawanan, namun ahli dan khusuk di bidangnya. Misalnya Tuan Guru, Tuan Haji dll. Di Simalungun, gelar Tuan justru dipakai untuk bangsawan tinggi.

 

 

Seorang bangsawan Melayu bergelar semisal Tengku, Datuk dll, walaupun ia ahli di bidangnya dan khusuk, tetap tidak boleh disapa dengan Tuan dalam kaidah adat, tetap disebut Tengku, Datuk, dsb, karena masing-masing telah didudukkan pada tempatnya menurut adat nan kanun zaman berzaman.*(M Muhar – Omtatok)






Sabtu, 01 Juni 2019

Melayu Gemar Bergurau




Di setiap kampung-kampung yang didominasi etnis Melayu, kita sudah pasti akan menemukan orang-orang yang gemar berceritera lucu.

Manakala kita duduk di kedai kopi, saat malam berkumpul menjelang sebuah perhelatan, dan lainnya; ada saja muncul cerita cerita membuat gelak. 
Terkesan nyanyah, mentertawakan keadaan tanpa meratapi,  namun bernas, menciptakan keakraban, dan menghidupkan resam Melayu.

Yang sulit terbantahkan bahwa puak Melayu itu cerdas, tema cerita boleh muncul tanpa dirancang sebelumnya, dan satu sama lain bebas memberi perencah kisah yang tidak merusak alur & tetap jenaka.

Kita masih ingat kisah orang-orang yang membuat gelak terpingkal di seluruh negeri-negeri Orang Melayu,  seperti Pak Pandir atau Pak Belalang. 

Masyarakat Bengkalis yang hidup sekitar rentang tahun 1930-1975, akan tahu Yong Dollah.
Dari empunya ceritera, Yong Dollah bernama asli Abdullah bin Entong, ia akan berkisah di kedai kopi.  Yong Dollah tanpa gelak namun yang mendengarkan  ceritanya menjadi tertawa berjamaah. Kelakarnya muncul dalam kisah yang tiada berkesudahan.

Orang Melayu di Sumatera Timur dahulu pun mengenal Pak Andih,  yang digambarkan 'bodoh alang',  namun membawa gelak tak sudah-sudah pula. 

Di Medan,  pernah juga ada lelaki kurus bertelukbelanga, memakai kopiah terlentang sungsang, dan menyelempangkan kain sarung; dia lah Tok Alang. 

Sempat TVRI Medan memunculkan selorohnya setiap pekan hingga akhir tahun 1980-an . Dengan bercakap Melayu, Tok Alang begitu ditunggu masa itu.

Puak Melayu di Bagan Siapi Api mengenal 'Cito Ulong Temuik'. 
Di Siak & Pekanbaru ada Wak Atan yang diangkat menjadi cerita satir di suratkabar tempatan. 
Orang Melayu Palembang pun dikenal 'Pacak Bekelakar'. Seni cerita lucu Melayu Sumatera Selatan ini,  dikenal dengan sebutan  Kelakar Betok.  Entah kenapa memakai istilah  Betok (Ikan Puyu/Ikan Betik), yang pasti semua boleh tergelak tanpa harus 'bertegang insang'. 

Di Tebingtinggi Deli pula,  ada kisah Si Jonaha yang 'anti mainstream'  namun menghibur hingga orang gelak terkekeh. 

Masih banyak lagi Yung Dolah, Tok Alang,  atau orang-orang penghilang rungsing di rantau rantau Melayu lainnya. Yang memancing kebersamaan puak dalam suasana rehat namun sungguh berfaedah.


Sayangnya dewasa ini, jiwa jenaka orang kita sedang menyuruk, di tengah kepentingan hidup yang dianggap berat.* (M Muhar Omtatok)