Jumat, 10 April 2015

Tengkoe Mansoer Adil Mansoer

Mengenal Tengkoe Mansoer Adil Mansoer sama dengan mengenal data sejarah. Bukan cuma karena ia menetap di Negeri Belanda, tapi Tengkoe Mansoer Adil Mansoer mempunyai kepedulian besar terhadap upaya pengumpulan data tertulis sejarah Indonesia yang banyak tercatat dan tersimpan di Belanda.

Bangsawan Melayu Sumatera Timur yang bermukim di Negeri Belanda ini, yang di masa mudanya gemar bermain sepak bola, volly serta catur, banyak mengkoleksi surat kabar lampau yang pernah diterbitkan di zaman Hindia Belanda serta buku-buku budaya dan sejarah, terutama soalan khazanah Melayu.

Musisi yang pernah tergabung dalam kumpulan band yang genre musik hawai, country, jazz, keroncong  ini pula, tetap mengikuti perkembangan Puak Melayu di Sumatera meski ia jauh dari kampung halaman. Ia bahkan sedang berupaya menulis sebuah buku tentang Kesultanan Asahan.

Tengkoe Mansoer Adil Mansoer lahir di Medan, 28 Mei 1948.  Putera ketiga dari Tengku Aswani bin Tengku Hafas dan Tengku Sariah binti Dr. T. Mansoer - Asahan. Kedua Atoknya merupakan tokoh penting di Sumatera Timur, Dr. T. Mansoer  adalah Wali Negara Sumatera Timur, penggagas lahirnya Universitas Sumatera Utara yang saat itu adalah Perguruan Tinggi Kedokteran;  sedangkan Tengku Hafas bin Tengku Ismail  adalah Kepala Departemen Dalam Negeri – Negara Sumatera Timur pada 1948. Ia menikah dengan Jolanda pada 10 September 1976, dikaruniai satu putera dan empat puteri, dan saat ini ia telah memiliki dua orang cucu.


Tengkoe Mansoer Adil Mansoer menempuh pendidikan dasar berawal di  Sekolah Belanda Oranjeschool Medan. Namun saat naik kelas III, suasana politik antara Indonesia dan Negeri Belanda tampak tidak harmonis, sehingga sekolah Oranjeschool ditutup. Segala sesuatu yang berbau Belanda, baik bahasa atau juga buku-buku pelajaran berbahasa Belanda dilarang.  

“Buku-buku  pendidikan bahasa Belanda terpaksa dibakar dan banyak guru-guru kami diharuskan berangkat meninggalkan Indonesia dalam 24 jam, hanya satu koper boleh dibawa; uang tak boleh diambil dari bank. Bahkan tak dapat mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang dikenal dan dekat di hati mereka”, ujar Tengkoe Mansoer Adil Mansoer.

Setelah peristiwa penutupan sekolah tersebut, Tengkoe Mansoer Adil Mansoer kecil, dimasukkan ke Sekolah St. Joseph di kota Medan. Namun sistem pendidikan di sekolah ini mewajibkan seluruh murid untuk mengikuti misa di gereja. Karenanya, Tengkoe terpaksa dipindahkan lagi ke kelas IV di Perguruan Kristen Immanuel jalan Djokja - Medan, yang tak jauh dari rumah orangtuanya.

“Tetapi politik Soekarno belum membawa suasana damai juga. Revolusi kembali diteruskan. Indonesia lebih mencari hubungan dengan negara-negara komunis, seperti Uni Soviet - Rusia, China, Hungaria dan lain-lain.
Semua orang-orang Belanda yang masih bekerja di Indonesia harus pergi, akhirnya orang-orang putih berangkat kecuali orang-orang komunis. Perebutan Irian Barat, Pemberontakan Kolonel Simbolon, PRRI/Permesta, RMS, serta zaman permusuhan suku terhadap suku”, jelas Tengkoe Mansoer Adil Mansoer.

“Kita dihina dengan sebutan Belanda Tempe atau juga sebutan Feodal. Kelaparan terjadi di banyak pulau-pulau kecil dan besar. Gula hampir tak ada, beras sulit didapatkan”, jelas Tengkoe Mansoer Adil Mansoer lagi.

“Saya lalu masuk SMP, tahun 1960, Indoktrinasi di sekolah dilancarkan ala komunis. Saat upacara bendera pada hari senin, semua murid berbaju putih, berbaris di depan sekolah sambil mendengar pidato-pidato  tentang kaum imperialis dan kolonialis, tentang Irian Barat milik Indonesia. Hari sabtu berbaju putih lagi. Upacara penurunan bendera dan lagi-lagi pidato seperti tersebut”.

“Kalau sirene diperdengarkan, mobil-mobil  wajib berhenti di bawah pohon. Rumah-rumah harus gelap karena militer memerintahkan agar listrik dipadamkan. Halaman harus ditanami ubi, jagung dan sejenisnya. Suasana sangat tertekan seperti atmosfir zaman perang”, kenang Tengkoe Mansoer Adil Mansoer.

“Setiap hari jumahat kami berziarah ke makam Atok Mansoer di halaman samping Mesjid Raya. Karena Bunda masih terbayang suasana kekejaman Revolusi Sosial 1946. Bunda teramat  takut akan terulang lagi. Akhirnya, dimintalah  petuah kehadapan Sultan Asahan - Tuanku Saibun. Serta diminta nasihat dan pertolongan kawan-kawan, seperti Hamzah – seorang hakim, Pak Suwarno – orang imigrasi, dan lain-lainnya”.

“Kami disarankan berlibur ke Malaysia. Namun saat di lapangan terbang, kami tak boleh berangkat. Untunglah tetangga kami, Letkol Zain Hamid, pada waktu itu ia pembesar militer di Medan dan berada di Ambon untuk menyiapkan perang Irian Barat. Untunglah ia memberitahukan wakilnya agar kami diusahakan untuk berangkat”.

“Setelah wakil dari Letkol Zain Hamid mengupayakan, kami langsung masuk ke kapal terbang tujuan Singapura. Disana kami  dihalangi lagi, alasannya berpaspor Indonesia tak mendapat izin meneruskan perjalanan ke Malaysia, sebab Soekarno hendak mengganyang Malaya”.

“Bunda begitu bingung, takut disuruh pulang kembali. Bunda membuka tasnya, difikir bapak-bapak yang menghalangi tersebut Bunda ingin memberinya uang, biasalah di Indonesia.  Tapi Bunda mengambil passport yang lain di dalam tas, Bunda punya juga passport Belanda. Maka kami pun dengan penuh susah payah akhirnya dapat berangkat”, demikian Tengkoe Mansoer Adil Mansoer mengenang masa-masa pahit itu.

Dari Malaysia akhirnya mereka menuju Belanda. Disana Tengkoe melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP, kemudian HBS (Hogere Burger School atau Hoogere Burgerschool) setingkat SMA. Karena sudah berumur 22 tahun saat menyelesaikan sekolah, ia masuk wajib militer, karena sudah mendapat kewarganegaraan Belanda.

Ia ditawarkan untuk menjadi Opsir cadangan, Namun ia menolak, dengan pertimbangan karena 24 bulan dalam dinas, lalu menjadi Opsir rendah ditambah 18 bulan, telah menyita usianya, ditambah lagi ia lebih memilih bidang lain dalam meniti karier.

Sesudah 37 tahun bekerja pada perusahan industri, sejak tahun 2013 ia pensiun. Saat ini selain aktif dalam pengumpulan data sejarah dan budaya Melayu, Lelaki hitam manis yang fasih berbahasa Melayu nan santun bertutur ini, bergabung di dalam perkumpulan Indonesia di Kota Alkmaar, di Provinsi Noord Holland.


Tentang perhatian beliau terhadap keberadaaan etnis Melayu di Sumatera Timur (Provinsi Sumatera Utara), Tengkoe Mansoer Adil Mansoer menuliskan pendapat dan masukannya sebagai berikut:

Yang terpenting adalah persatuan dan kesatuan gerakan-gerakan Melayu di Medan dan sekitarnya. Walaupun berbeda pandangan atau urusan, tetapi semangat dan hasrat mesti sama. Tak perlu yang satu merasa  lebih baik dari pada yang lain.

Kalau kaum Melayu hendak membangkit, mulailah dengan kembali menghidupkan upacara-upacara adat Melayu, misalnya Adat Turun, Ke Sungai atau Pesta Mupus, Ayun-ayun (untuk upacara ini dahulu ditenun kain songket untuk mengayun anak bayi itu), Mandi-mandi, Tepung Tawar dan lainnya".


“Publikasi dan dokumentasi  tentang khazanah adat budaya Melayu menjadi penting untuk mengekalkan resam Melayu. Karenanya diperlukan publikasi televisi baik dalam dan luar negeri, atau membuat film sendiri (indie) yang boleh menjadi publikasi dan dokumentasi hingga ke luar negeri, supaya dunia tahu adat dan upacara-upacara Melayu sekaligus memperkenalkan kain songket yang dipakai, baju panjang dan teluk belanga.

Pada waktu kejayaan Sumatera Timur, sering ada kontes memakai Baju Panjang Melayu yang terindah. Hal ini perlu diulang, agar generasi muda Melayu memahami dan diajarkan adat budayanya, seperti melipat tengkuluk atau memakai bengkung dan kain samping dalam bentuk workshop. Juga dikenalkan tokoh-tokoh Melayu yang memimpin dahulu seperti Sultan-Sultan pejuang, Dr Tengku Mansoer, Tengku Hafas, Tengku Dzulkarnain, Tengku Bahrioen,seniman dan budayawan Melayu, serta yang lainnya.

Guna menghidupkan keparawisataan, adat budaya Melayu sangat layak disajikan untuk wisatawan, agar mereka menceritakan tentang upacara-upacara itu kepada yang lain. Warisan songket dapat menjadi objek wisata saat menenun, serta songket dijadikan cendera mata bagi wisatawan, bahkan boleh dibuat shawl atau selendang berbahan songket. Budaya pencak silat dan tarian Melayu ditampilkan menyambut tetamu di lapangan terbang dan hotel. Permainan Layang layang wau bulan atau gasing menjadi objek wisata dan dibuat pula latihan membuat layang-layang berbagai jenis pula. Organisasi Melayu harus berperan nyata untuk memperkenalkan khazanah Melayu, segaligus sebagai penyelenggaranya.

Jika mau memajukan Melayu, banyak yang dapat dilakukan untuk mengangkat batang terendam. Tiada yang tak mungkin jika mau berbuat”.
 *(M Muhar Omtatok)