Selasa, 01 Oktober 2013

Contoh Ragam Hias Melayu










Sepasang tajuk di ujung
Sepasang tajuk di pangkal
Tajuk pembangkit seri pelangi
Membangkit cahaya di bumi
Membangkit cahaya di langit
Membangkit cahaya di laut
Membangkit cahaya di dalam rumah
Nan peduli mendapat tuah.*
(M Muhar Omtatok)

Senin, 15 Juli 2013

Pringan Hitam Lagu Melayu - sumatera timur



Guru Sauti


oleh:  ™ Muhar Omtatok

Sauti dilahirkan pada 16 Mei 1903 di Pantai Cermin, sebuah kota kecil pesisir pantai timur Sumatera Utara sekitar 54 KM dari Medan.  Ayahnya bernama Tatih dan Ibunya bernama Asmah. Sejak remaja Sauti muda sudah gemar berolahraga terutama bermain sepak bola. 

Di samping itu ia juga gemar bermain musik. Setelah menyelesaikan sekolahnya pada Normalschool Inland Hulpoderwijzers (sekolah pendidikan guru) tahun 1921 di Pematang Siantar, Sauti langsung ditempatkan menjadi guru Inlandschool (sekarang SD) di kota itu juga. Pada tahun 1926 Sauti dipindahkan menjadi guru SD di Sunggal. Setahun kemudian Sauti menjadi Kepala Sekolah Governement Inlandschool (SD Negeri) di Simpang Tiga Perbaungan. 

Karirnya di bidang pendidikan terus meningkat. Pada tahun 1941 sampai tahun 1946 Sauti diangkat menjadi Guru kepala pada sekolah Sambungan Medan II di Medan. Kemudian setelah itu dia jadi Pemeriksa Sekolah untuk wilayah Serdang, Padang dan Bedagai yang berkedudukan di Perbaungan. Pada tahun 1950, Sauti menjadi Penilik Sekolah diperbantukan pada Perwakilan Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara sampai ia pensiun. Sauti meninggal dengan tenang di usia 60 tahun, tepatnya di bulan 21 Agustur 1963 (4 Rabiul Akhir 1383). Jenazahnya dikebumikan di kompleks pemakaman Bangsawan - Mesjid Raya Perbaungan – 38 km ke timur Medan.
Adalah seorang tokoh tari lagi bersama Sauti yaitu Orang Kaya (OK)  Adram. Bahkan Sauti dan OK. Adram bersama menarikan Serampang Dua Belas pada pergelaran Muziek en Toneel Vereeniging Andalas tanggal 9 April 1938 bertempat di Grand Hotel Medan . Namun kedua tokoh ini memiliki orientasi yang berbeda. Sauti lebih mengutamakan tari Serampang Dua Belas dapat dan mudah dipelajari secara massal dengan membagi ragam-ragamnya, sedangkan OK. Adram mengutamakan kemampuan spontanitas penari secara klasik.
Orientasi Sauti semakin jauh meninggalkan OK. Adram, meski tetap harmonis, setelah pertunjukan pertama kritik tajam muncul dari Andjar Asmara melalui suratkabar Pewarta Delinya. Andjas mengatakan tari Serampang Dua Belas masih sebagai tari Pulau Sari yang sangat menjemukan dan melelahkan. Kritik ini seperti petir di siang bolong yang mencambuk dan membuat Sauti lari berpacu dan membenahi karyanya lagi. 

Lagu Pulau Sari mulanya adalah lagu yang berasal dari kesenian rakyat Melayu Sumatera Timur. Hanya saja, Lagu dan tari Pulau Sari mulanya adalah tarian yang tidak atau belum ditata dengan pendekatan koreografis. Tarian ini selalu dijadikan medium untuk mengukur atau melihat kemampuan menari di rakyat lapisan bawah, dan panjang tarian tidak terbatas, bergantung kepada siapa di antara penari yang menyatakan kalah. Melihat keberadaan lagu dan tari  Pulau Sari ini,  Sauti berkeinginan mengubahnya menjadi tarian yang lebih tertib dan terukur baik ragam maupun gerak-geraknya. 

Setelah pertunjukan pertama,  Sauti terus berproses menyempurnakan karyanya. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1941, untuk kedua kalinya Sauti menampilkan tari Serampang Dua Belas untuk masyarakat Serdang. Kegiatan pertunjukan yang kedua ini dalam rangka malam dana dan amal untuk membantu rakyat Serdang yang dilanda musibah banjir. Pertunjukan ini dikordinir oleh kelompok panitia yang tergabung dalam Commitee Bandjir Serdang. Ketika itu Sauti masih bersama OK. Adram dan pasangannya ketika menarikan tari Serampang Dua Belas untuk membantu masyarakat Serdang. 

Sejak penampilan kedua, Sauti terus aktif berkesenian. Sebagai seorang putra Melayu Serdang ia terus mencermati kesenian  Melayu yang ada disekitarnya. Kecintaannya kepada kesenian Melayu ia wujudkan dengan mendirikan kumpulan tari yang dipimpinnya sendiri. Pada tahun 1942 sampai tahun 1944 kumpulan Guru Sauti sering tampil mempertunjukkan tari-tari Melayu terutama untuk pembesar-pembesar Jepang dan anak sekolah. Semangat memperkenalkan dan mengembangkan tari Melayu kepada masyarakat luas semakin terus menggelora di jiwa Sauti. 

Masa-masa sulit justru didilaluinya dengan memperkuat kumpulannya. Terbukti pada sekitar tahun 1945 sampai 1948 Sauti masih sempat mengembangkan tari-tarian Melayu terutama Serampang Dua Belas kepada Masyarakat Sumatera Utara. Pada tahun 1949, Sauti telah merampungkan dan menyusun pola dasar tari ciptaaanya seperti, Lenggang Patah Sembilan, Melenggok Mak Inang, Serampang Dua Belas, Tari Biasa dan lain-lain.  




Ketika Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Ibu Fatmawati berkunjung ke Medan tahun 1951, Guru Sauti mendapat kepercayaan untuk menyambut Presiden dan Ibu negara dengan memimpin penampilan tari Serampang Dua Belas. Ketika itu penarinya adalah Ida Daulay, Nurma, Tenzur dan Tennar. Sementara musik pengiringnya dimainkan oleh Orkes Budaya.  

Pertunjukan Serampang Dua Belas berikutnya terjadi pada bulan November 1952 oleh Yayasan Budaya Medan pimpinan Schoolopziener (Penilik Sekolah) Abdul Wahab. Kala itu Abdul Wahab sudah menjabat Kepala Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara. Penampilan kali ini Guru Sauti menarikannya sendiri bersama pasangannya encek Khalijah Abidin. Sejak saat itu tari Serampang Dua Belas yang ditarikan Sauti dan pasangannya encek Khalijah Abidin sangat popular. 


Perjalanan tari Serampang Dua Belas dan Guru Sauti semakin luas dan panjang. Masa-masa keemasan tari Melayu di tangan Sauti semakin cemerlang. Tahun 1954 Guru Sauti ditunjuk untuk memimpin duta seni Sumatera Utara ke RRC. Di negara tirai bambu itu Sauti sempat mengajarkan tari Melayu pada Akademi Seni Tari di Peking.  Setahun berikutnya pada tahun 1955 sebuah perusahaan film di Jakarta Radial Film Coy membuat film Serampang Dua Belas.


Sauti langsung sebagai bintang utamanya. Menurut Almarhum OK. Habibullah (di Batang Kuis), ia sempat menyaksikan film tersebut dan penontonnya sangat membludak hingga gedungnya terasa sesak. Sukses dengan film Serampang Dua Belas, Radial Film Coy menggarap film Tanjung Katung dan Guru Sauti tetap menjadi bintang utamanya. 

Pada tahun itu juga Guru Sauti diminta mengajarkan tari Serampang Dua Belas kepada Ibu Fatmawati Soekarno, Ibu Rahmi Hatta dan beberapa istri pejabat RI lainnya. Kesempatan berikutnya Serampang Dua Belas dan Guru Sauti tampil di Jakarta untuk menyambut misi kebudayaan India dan  di Yogja dalam rangka 200 tahun kota Yogja. 

Sementara kursus tarinya yang ia dirikan di Medan terus kebanjiran siswa bahkan sebahagian diantaranya dari kalangan masyarakat Tionghoa. Di masa itu juga Guru Sauti mengembangkan tari ciptaannya sampai Riau daratan dan kepulauan Dabo Singkep. Puncak dari kegemilangan Serampang Dua Belas ketika itu ditandai dengan diselenggarakannya festival tari Serampang Dua Belas tingkat nasional di Jakarta, Surabaya dan di Medan pada tahun 1963. 

Tengku Mahkota Serdang - Radjih Anwar setelah tahun 1949 lebih banyak mengembangkan tari Serampang Dua Belas di Jakarta. Kemudian ia bersama murid-murid dan keturunannya mempelopori lahirnya studio tari Melayu di Jakarta. Studio pertama tari Melayu di Jakarta adalah Syailendra pimpinan Muchlis Ismyran dengan pelatihnya  yaitu M. Junus BS, Ery, Husein dan Habil Ibrahum yang beralamat di Tanah Tinggi Bunder, Kramat Raya 47 Jakarta Pusat. * 


Minggu, 30 Juni 2013

Tebing Tinggi Dalam Catatan



Kota Tebing Tinggi berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan – Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota yang dahulu adalah ibu negeri dari sebuah kerajaan Melayu yang bernama Negeri Padang ini, luasnya 38.438 kilometer persegi dikelilingi perkebunan milik PTPN III, IV dan Socfindo. Jika dari Medan menuju Pematang Siantar, kita akan menemukan kota tansit nan bersih, itulah kota Tebing Tinggi.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui, bahwa kota pelintasan antara jalur transportasi timur dan barat ini, memiliki beberapa aset wisata yang belum pernah dikelola.  Sebut saja beberapa titik sumber mata air panas, seperti di antara kompleks TC Sosial dan kompleks Sekolah Dasar di sebelahnya. Di tempat ini air panas terbuang dari pelapisan bumi, tanpa ada kolam penampungan. Di daerah Simpang Rambung sumber air panas ini dimanfaatkan sebuah rumah ibadah untuk kebutuhan jamaah. Jika dibuat kolam-kolam penampungan, tentu akan menjadi objek wisata yang cukup menarik.

Di wilayah Sungai Sigiling, ada sebuah bangunan bergaya Minangkabau warisan dari Tuan Syech Baringin. Di lokasi ini terdapat makam ulama tersebut beserta surau peninggalannya. Tuan Syech Baringin adalah seorang ulama thariqat kharismatik di Kota Tebing Tinggi yang berasal dari Limapuluh Kota Sumatera Barat. Beliau dikenal sangat sakti. Dikisahkan ketika serdadu Jepang ingin menangkapnya di tempat persulukannya di Kampong Kebon Kelapa Tebing tinggi, tiba-tiba saja daerah itu menjadi hamparan telaga. Lokasi ini bisa menjadi objek wisata ziarah religi.

Tidak Jauh dari lokasi Tuan Syech Baringin, juga terdapat makam Datuk Genjang (kini disebut Datuk Ganjang). Makam ini unik karena memiliki panjang 7 meter. Konon dan tentu konon dari kabar mulut ke mulut saat sang datuk meninggal dunia, mayat beliau dilipat tujuh. Tentu kisah ini tidak bisa diterima akal dan adab. Datuk Ganjang adalah seorang bangsawan Melayu dari Malaka dan juga seorang ulama.  Beliau wafat pada tarikh 4 Zulqaidah 1084 H (10 Pebruari 1674 M).
Di wilayah Kampung Keling juga dulu terdapat makam panjang juga.


Di Bulian masih terdapat sebagian tidak utuh dari bangunan Istana Negeri Padang berasitektur Melayu beserta sebagian makam raja-raja dan bangsawan lainnya. Istana ini popular disebut Rumah Tinggi.

Di daerah Bandar Sakti masih berdiri rumah Melayu tua peninggalan Tengku Tocco (Tengku Tokoh). Semua ini bisa menjadi objek wisata jika ada pembenahan dan pengembangan yang didukung kesenian tempatan seperti musik tabuh larangan kerajaan, tari maniti gobuk, tari podang, tari dulang, tari tujah, tari junjong maharajo, tari persembahan, tari seri padang, sinandong atau juga dondang, sebagai khazanah budaya lokal.

Beberapa Catatan Hal Yang Berhubungan Dengan Tebing Tinggi

Concessie
Pada tahun 1881 datang permintaan dari Naeher & Grob untuk membuka concessie di wilayah Kerajaan Padang dan Bedagai. 1882 datang pula Controleur dari Labuhan dan Serdang, soal hubungan Raja Padang yang Melayu dengan Batak di Pagurawan yang dikatakan kurang mesra. Kedua controleur itu mendapat kesan bahwa untuk memberi concessie ini hanyalah lebih dahulu dapat diatur di daerah-daerah Melayu saja, sedang daerah-daerah orang Batak yang bermukim harus pelan-pelan dan hati-hati.

15 Desember 1884 dibuat kontrak antara Sultan Deli & Tengku Pangeran dengan Gouvernement, yang mengatur pengalihan cukai, monopoli dan sebagainya. Pada 5 Maret 1885, Kerajaan Padang masing-masing mendapat 30.000 gulden per tahunnya, dibagi menurut sepanjang adat antara yang berhak.

Pada 2 Juni 1907 diadakan politiek contract baru antara Sultan Deli dengan Gouvernement. Sampai saat itu dalam pemerintahan Sultan Deli ada pula Maharaja Padang, Raja Pangeran Bedagai, terdapat orang-orang besar dengan title kejeruan. Sehingga gouvernement tetap akan mengeluarkan schadevergoeding kepada pemerintah zelfbestuur sebesar 185.850 gulden.

Perihal aturan hukum, gouvernement untuk Sumatera Timur mengatur pembagian pengadilan dalam kerajaan, berdasarkan wilayah Bataksche Streken dan Daerah Melayu.  Kerapatan Raja Padang di Daerah Melayu  berhak mengadili sampai f.625, dan boleh appel kepada Kerapatan Negeri jika pokok perkara lebih dari f.125. Kerapatan Negeri mengadili lebih besar dari itu, dan boleh appel ke Kerapatan Sultan jika pokok perkara lebih dari f.1250.




Datuk Bandar Kajum


Photo: Datuk Bandar Kajum 1870

Merujuk makalah tertanggal 15 juni 1978, berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi – Arisan Keluarga Besar Anak Cucu Datuk Bandar Kajum Pendiri Kota Teb. Tinggi”, yang ditandatangani Panitia peneliti/perumus hari penetapan berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi, yaitu Dt. Idris Hood Damanik, Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djundjungan Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan, dan OK Siradjoel Abidin, kemudian dianggap sebagai awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.

Sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi yang terpakai saat ini, diketahui dari sebuah memori Tuan J.J. Mendelaar, mantan Voorzitter Don Gemeenteraad Tebing Tinggi, yang bila diterjemahkan secara bebas berbunyi : “Setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan desentralisasi, maka pada tanggal 31 Juni 1917 berdirilah Gemeente Tebing Tinggi dengan Insteling Ordonantie Van Staatsblad 1917 nomor 282, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1917.

Riwayat menceritakan, bahwa ada Rombongan Kerajaan Siak, diantaranya Tok Haji Abdul Karim (Datuk Bandar Kajum) meninggalkan kampungnya menuju ke daerah Padang (Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya), bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, dari Siak. Pengikut-pengikut tersebut bersebar juga hingga ke Pertumbukan.

Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Merulak di daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Merulak inipun mereka mendapat serangan dari  Raya, kemudian Tok Haji Abdul Karim mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.

Bersama dengan beberapa pengikutnya Tok Haji Abdul Karim mendirikan rumah dan kampung yang dipagari dengan kayu yang kokoh di tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampung.

Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Tok Haji Abdul Karim, karena dianggap menguasai bandar di negeri Padang (baca: Tebingtinggi), yang sudah diincar Raya. Melihat musuh yang datang, seluruh kaum Tok Haji Abdul Karim dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.

Diceritakan, Tok Haji Panglima Abdul Karim memperoleh banyak bantuan dari berbagai negeri sekitar itu, sehingga Bandar Kajum dapat mengelakkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan.


Denah: Dataran Tinggi Yang Kelak Menjadi Perkuburan Datuk Bandar Kajum


Datuk Bandar Kajum sendiri dalam bahasa Melayu berarti Kepala wilayah yang mengajak. Datuk Bandar Kajum lahir sekira pada tahun 1795-an atau di sekitar itu, di Siak. Wafat pada hari Selasa 7 Muharram 1315 H atau 8 Juni 1897 M.

Berbeda dengan makalah tertanggal 15 juni 1978, berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi – Arisan Keluarga Besar Anak Cucu Datuk Bandar Kajum Pendiri Kota Teb. Tinggi; yang diperbuat tanda pendekatan data sejarah, Siak justru memiliki catatan sejarah lebih akurat tentang beliau, Tengku Tebing Pangeran, serta hubungan dengan Siak.

Di saat Sultan Alam hidup mengembara di Selat Malaka sebagai lanun,  meninggalkan kerajaan Siak setelah perebutan kekuasaan antara Tengku Buang Asmara  dan Sultan Alam. Beliau menikah dengan anak dari Daeng Perani Bangsawan Luwu di pulau Tujuh, Anambas, yang bernama Dahing Khadijah. Hasil pernikahan ini memberikan 4 puteri. Diantaranya adalah Tengku Embung Badriyah. Didalam pengembaraan, sebelum Sultan Alam menjadi Sultan Siak ke 4, beliau menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan  Arab yang berasal dari Hadramaut, Yaman yang bernama Said Osman Sahabuddin. Stanza/baris syair  Siak ke 383 menceritakan hal ini.
Embung Badariah berparas rupawan
Dinikahkan dengan Arab bangsawan
Said Syarif Osman nama ilmuan
Gagah perkasa banyak pengetahuan.
Anak dari pernikahan antara Said Osman Syahabuddin bin Abdurrahman (Panglima, Diplomat dan Mufti Kerajaan di Kesultanan Siak)  dan Tengku Embung Badariyah menjadi Sultan Siak, Sultan Pelalawan, dan Panglima perang di Tebing Tinggi ( Sumatera Utara ). Said Osman memberikan perananan yang besar dalam perkembangan kerajaan Siak, diantaranya. Sebagai panglima perang dari  kerajaan Siak,  Sayyid Usman menjadi  pemimpin dalam perluasan kerajaan Siak hingga memiliki 12 daerah jajahan atau yang disebut dengan jajahan 12 negeri.  Said Osman dimakamkan di Bukit Senapelan komplek makam Raja Alam.


Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim

Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi merupakan satu di antara Khalifah Tariqat Naqsabandi yang pernah memimpin pusat Persulukan Tariqat (Pusat Belajar Agama Islam) di Kampung Basilam, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Syekh Haji Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi, dari banyak penuturan wafat di Kampung Kebun Kelapa pada 1928. Ulama kharismatik itu diperkirakan berusia 130 tahun dan dikebumikan di pemakaman keluarga, kini terletak di Gg. Keluarga Link.01, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir.

Tengku Muhammad Hasyim dilahirka sekitar tahun 1892? dari keluarga Kerajaan Melayu Padang berpusat di Tebing Tinggi. Ayahnya? bernama Raja Abdullah bin Raja Haji Achmad, bangsawan Karimun. Beliau saudara dekat Tengku Haji Jamta Melayu – putera dari Raja Kerajaan Padang, Tengku Tebing Pengeran yang gugur akibat pengkhianatan dalam perang yang dipimpin Daeng Salasa gelar Panglima Daud dari Kerajaan Negeri Bedagai.

Raja Tebing Pangeran dalam literature terbatas, dikenal sebagai pemberi nama dan pendiri Kota Tebing Tinggi. Di masa kekuasaannya, berdiri Pelabuhan Sungai di tepian Sungai Padang tepatnya di Muara Sungai Bahilang. Pangkalan ini diberi nama sesuai dengan nama pendirinya, yakni Pangkalan Tebing dan namanya berkembang menjadi nama sebuah kota yang menjadi bagian dari salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara sampai saat ini. Pasca wafatnya Tengku Tebing Pengeran, tampuk kekuasaan Kerajaan Melayu Padang dikendalikan zuriat dari garis perempuan.

Gejolak politik kerajaan itu, telah meminggirkan hak-hak politik dari warga Melayu pesisir, sehingga banyak di antaranya yang beralih perhatian dengan mendalami agama Islam dan menjadi ulama. Salah satunya adalah Tengku Muhammad Hasyim yang saat itu masih berusia muda. Dia mendalami ilmu Tariqat dari aliran Naqsabandiyah di Basilam, hingga kemudian sempat memimpin Persulukan ini.

Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah, berlayar dari Pangkalan Tebing menuju Bandar Khalifah. Dari Bandar Khalifah, jamaah haji kala itu menyeberang ke Penang, Malaysia dan terus berlayar ke Jeddah.

Pada masa berikutnya, Tengku Muhammad Hasyim kembali ke kampung halamannya di Kerajaan Melayu Padang dan menetap di Kampung Kebun Kelapa yang saat ini menjadi salah satu wilayah dari Kota Tebing Tinggi. Beliau menikah dengan Hj. Syofiah dan mendapat tujuh anak dari isteri pertamanya ini. kemudian beliau juga mempunyai 3 orang isteri lainnya.

Dari daerah Kebun Kelapa inilah menjadi awal dari penyebaran paham naqsabandiyah ke berbagai wilayah, meliputi kerajaan Padang, Bedagai hingga ke Kerajaan Serdang. Lima Laras dan Kerajaan Bandar. Beberapa persulukan sempat dibuka murid-murid Tuan Guru Mhd. Hasyim, di antaranya di Bedagai, Sei Buluh, Lidah Tanah, Tebing Tinggi dan Bandar Khalifah. Jejak terakhir dari penyebaran tariqat ini masih terlihat di Lidah Tanah, tepatnya di Kampung Tengah. Dulu dipimpin Khalifah Adnan dan terakhir ada di Sei Buluh dipimpin oleh H. Dul Hadi.


Sebutan lain untuk Beliau adalah Tuan Guru Muhammad Hasyim, juga membuka persulukan di lahan miliknya. Namun, saat ini persulukan itu telah lama rubuh dan lahannya kini menjadi area perkebunan ubi, tepat di pinggir rel kereta api di kelurahan Tebing Tinggi. Semasa hidupnya, Tengku Muhammad Hasyim Al Kholidi Naqsabandi kelebihan sebagai tanda kedekatannya kepada Allah. Pada banyak keterangan yang didapat pada masa hidupnya, Syekh Muhammad Hasyim ini dikenal dengan doanya yang makbul. Kelebihan lain yang sempat terekam dalam ingatan keturunannya, adalah kemampuan Tuan Guru Muhammad Hasyim dalam melihat maksud orang yang datang kepadanya. Begitu pula dengan kemampuannya melihat masa lalu dan masa depan, sehingga banyak masyarakat saat itu yang meminta petunjuk padanya.




Tuan Syech Baringin

Adalah Ulama Tariqat Kharismatik di Kota Tebing Tinggi. Beliau dikenal berkaromah. Dikisahkan, Ketika Serdadu Jepang ingin menangkapnya di tempat persulukannya di Kampong Kebon Kelapa Tebing tinggi, tiba-tiba saja daerah itu menjadi hamparan telaga.Tuan Syech Baringin juga merupakan pimpinan umum dari organisasi Barisan Sabilillah Muslimin Indonesia cabang Tebing Tinggi dan pemimpin dari Markas Agung Tebing Tinggi. Organisasi BASMI yang dipimpin Tuan Guru Syekh Baringin juga berperan aktif ketika terjadi revolusi Sumatera Timur yakni berperan dalam melindungi sisa pelarian kaum bangsawan Kerajaan Langkat dan melindungi keturunan Kerajaan Negeri Padang di Tebing Tinggi.
Beliau juga turut berjuang dalam peristiwa 13 Desember 1945 dan turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan di Tebing Tinggi. Dalam bidang pendidikan, beliau dulunya berperanan aktif memberikan pengajaran agama islam kepada murid-murid yang datang belajar ke rumahnya sambil mengembangkan tarekat Naqsabandiyah dan Samaniyah di Tebing Tinggi, mengajarkan Silat, serta memberi pelayanan terhadap masyarakat luas.



Gelar Kebangsawanan di Tebing Tinggi

Gelar ‘Marah’ atau 'Morah' 
adalah gelar kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam.  Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisan ejaan di Aceh; Kata ‘Marah’ ditulis ‘Meurah’, kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja ‘Marah’.

Sebut saja contoh, Marah Silu yang disebut pendiri Samudera Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Gelar Marah, yang berlaku di kota Padang – Sumatera Barat,  pesisir barat Minangkabau, yaitu Pariaman juga memakai gelar yang berasal dari Aceh. Ketika Aceh menguasai pesisir barat Minangkabau.

Gelar ‘Raja’ 
berasal dari kata rājan (bahasa Sanskerta), juga popular di banyak tempat di Sumatera Timur. Gelar kebangsawanan yang disandang lelaki ataupun wanita ini, bisa ditemukan di daerah Melayu, seperti Panai, Kualuh, Bilah, Kota Pinang,  dan lainnya, dengan fungsi dan sama makna dengan Tengku. Di masyarakat Simalungun dan Batak juga mengenal sebutan Raja dengan fungsi yang beragam lagi.

“Tengku”
adalah gelar kebangsawanan Melayu yang otomatis melekat pada seorang laki-laki dan perempuan keturunan dari Sultan-Sultan dan para Raja-Raja di Kerajaan Melayu. Tulisan “Tengku” di awal nama setiap orang Melayu merupakan status yang menandakan kedudukannya dalam masyarakat adat Melayu.
Gelar Tengku ini hanya bisa didapat jikalau ayahnya juga bergelar Tengku. Sementara jika yang bergelar Tengku hanya ibunya tetapi ayahnya tidak, maka gelar Tengku ini tidak bisa disandang oleh anak mereka, kecuali menggunakan gelar Wan.
Beberapa daerah yang menggunakan gelar ini adalah keturunan Raja atau Sultan-sultan Kerajaan Melayu yang terletak di Semenanjung Malaka, yaitu di Sumatera Timur yang bergaris pantai di Selat Malaka, Riau, Malaysia, Pattani, Singapura; bahkan kini Melayu di Kalimantan juga menggunakannya.
Di Kerajaan Padang, gelar Tengku lebih popular dipergunakan sejak Tengku Haji Muhammad Nurdin gelar Maharaja Muda Wazir Negeri Padang (1870-1914). Setelah masa itu, gelar Marah berubah menjadi Tengku, dan gelar Raja juga lebih popular menjadi Tengku pula hingga kini. Sebagian zuriat Tengku di Tebing Tinggi, tidak meletakkan kata Tengku di depan namanya, dalam penulisan formal, hanya menyebutkan bila ditanya.

Di samping gelar Marah dan Raja yang mengadaptasi menjadi Tengku, di Kerajaan Padang juga terdapat beberapa gelar kebangsawanan lain, seperti Datuk dan Orang Kaya (OK).

“Datuk” 
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu datu yang tersusun dari kata da atau ra berarti yang mulia dan to artinya orang; sehingga berarti Orang Yang Dimuliakan. Di Kerajaan Padang dan wilayah-wilayah Melayu di Sumatera Timur,gelar ini diperuntukkan bagi lelaki pembesar sebagai  kedudukan di bawah Tengku, atau pembesar di luar zuriat Tengku. Di wilayah Batubara, gelar Datuk justru setingkat dengan Tengku.
Di Kerajaan Padang pula, gelar Datuk dipakai juga untuk zuriat Datuk terdahulu.

“Orang Kaya (OK)” 
merupakan gelaran bagi anak lelaki turunan Datuk yang tidak menjabat Datuk. Gelar ini juga pernah diperuntukkan bagi seseorang yang berpengaruh, baik secara materi maupun marwah.

“Incik” atau disingkat “Cik” 
adalah sebutan hormat bagi orang non-bangsawan baik laki-laki maupun perempuan yang berkiprah di lingkungan kebangsawanan. Istilah ini juga sering diperuntukkan bagi perempuan pacal (kebanyakan) yang menikah dengan golongan bangsawan.

“Wan” 
adalah gelar kebangsawanan sebagai tanda penghormatan kepada pria dan wanita. Seorang yang ber-ibu-kan Tengku namun ber-ayah-kan orang kebanyakan, juga boleh menyandang gelaran ini.  Gelar Wan dalam sejarahnya, pertama kali disandang oleh Cik Siti Wan Kembang (Ratu Kelantan 1610, ber-ibu-kan orang Pahang). Di Kerajaan Padang, gelar Wan ditemukan pula untuk zuriat bangsawan asal Negeri Pahang.

“Aja” 
dipergunakan sebagian kecil zuriat Negeri Padang sebagai kata ganti Raja, atau bisa bermakna ‘Entu’ atau Ende’.
Di lain tempat, misalnya di Kedatukan Sunggal Serbanyaman, gelar Aja dipakai lelaki dan perempuan zuriat Datuk.


Beberapa Nama Wilayah Di Tebing Tinggi

Cong Api

Kata Cong Api berasal dari nama Tjong A Fie adalah seorang bankir dari Meixian, Guangdong, Tiongkok . Setelah perantauannya di Medan pada 1875 lampau, dia membangun bisnis perkebunan besar, yakni pabrik kelapa sawit, pabrik gula, perusahaan kereta api, dan memiliki lebih dari 10.000 karyawan berkat kepiawaiannya dalam bergaul dengan gaya prularisme.
Wilayah Jl Tjong A Fie kini bernama Jl KH Ahmad Dahlan, tapi tetap melekat dalam sebutan Cong Api. Di wilayah ini berjejer beberapa stand pedagang lemang.

Kota Tebing Tinggi disebut juga Tebing Tinggi Deli, dikenal sebagai Kota Lemang. Disebut Kota Lemang, seperti halnya daerah-daerah lain di Pulau Sumatera, lemang menjadi salah satu panganan khas pada hari besar tertentu.

Di Tebing Tinggi dulu, lemang didagangkan keliling kampung. Di sekitar tahun 1958, pendatang etnis Minangkabau mulai memasuki kota Tebing Tinggi, dan memulai melirik Lemang menjadi dagangan yang menjanjikan keuntungan.

Jadilah Tebing Tinggi menjadi lebih Kota Lemang, sejak Pemko Tebing Tinggi membuat Pesta Lemang Terbesar dan Terbanyak dengan 96 varian rasa. Peristiwa unik ini tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI), 29/06/2013.

Bulian
Kayu Ulim (eusideroroxylon zwageri) dalam bahasa Melayu disebut Bulian. Adalah nama pohon besar yang berkayu keras, yang baik dipergunakan untuk bahan bangunan dan jenis atap.

Di wilayah Bulian di Tebing Tinggi, dahulu banyak ditumbuhi jenis pohon yang tingginya mencapai 50m dengan diameter 170cm ini.
Wilayah Bulian, dulu pernah menjadi Ibu Negeri Kerajaan Padang.

Bandar Sakti
Nama Bandar Sakti disebut pertama kali oleh T Achmad Rasyid alias Penghulu Amat. T Achmad Rasyid adalah Bangsawan Langkat yang diminta Raja Siantar untuk menjadi Hoofd Penghulu di Bandar Tinggi karena terjadi kerusuhan antar Puak Simalungun, Mandailing, Rao dengan Banjar di wilayah tersebut.

Pada maret 1946 terjadi revolusi sosial pembantaian kaum bangsawan. Keluarga Penghulu Amat dan Turunan Raja Tanjung Kasau lari menyelamatkan diri di sebuah rumah di wilayah yang kini disebut Jl F Tandean Tebing Tinggi.

Pada hal wilayah tersebut adalah wilayah kantong bangsawan Kerajaan Padang, yang juga sebenarnya rawan menjadi korban pembantaian.

Kesaktian wilayah tersebut yang mampu menyelamatkan kaum bangsawan dari amuk pemberontak disebut Bandar Sakti.

Bagelen
Dari hikayat mulut ke mulut adalah wilayah berpaya di pinggiran Tebing Tinggi sekarang. Di dekat paya itu tinggal seorang puteri yang selalu bertenun songket, Puteri Pinang Sendawar.

Konon sang puteri adalah anak seorang raja yang selalu kematian anak. Maka raja mengasingkan sang puteri, agar tidak meninggal dunia. Di tempat pengasingan tersebut Puteri Pinang Sendawar yang selalu bertenun songket tersebut akhirnya menikah dan memiliki dua anak lelaki.

Ternyata aktifitas bertenun songket masih ia lakukan setelah memiliki anak. Keasyikan bertenun itu membuat ia lupa waktu dan akhirnya dua anaknya mati kelaparan di dalam lumbung. Padahal salah satu anaknya masih usia menyusui. Puteri itu akhirnya kalut dan menyusui anak lembu.

Kisah klasik di wilayah tersebut ternyata ada kemiripan dengan kisah asal muasal daerah Bagelen di Pulau Jawa. Oleh para kuli kontrak pekerja perkebunan asal Jawa, wilayah itu mereka namakan Bagelen.

Kampung Durian
Disebut Kampung Durian, karena dulu banyak ditumbuhi pohon-pohon durian.

Kampung Bicara
Bicara dalam bahasa Melayu artinya adalah akal budi, pikiran, perundingan, beperkara, berurusan, pertimbangan pikiran, pendapat, berbahasa dan berkata.

Di wilayah Kampung Bicara, dulu berdiam seorang cendikia yang pembicaraannya bernas dan buah fikirnya selalu memberi solusi terbaik. Konon orang segan menaiki rumah panggungnya jika ingin meminta Beliau berbicara, tapi sang cendikiawan akan turun dari rumah panggung dan mengajak orang berbicara di bawah pohon manggis yang tumbuh di halamannya.

Bandar Sono
Dulu di wilayah ini sudah lama menjadi daerah pemukiman. Banyak tumbuh pohon angsana (Pterocarpus indicus). Pohon angsana dalam bahasa lokal disebut Pokok Sono atau dalam dialek lain disebut Sena. Karenanya wilayah ini disebut Bandar Sono.

Persiakan
Di wilayah ini dulu sunyi, sungai menjadi wilayah pelintasan peniaga ke pusat Tebing Tinggi. Jika pedagang yang bersampan melewati tempat ini, maka acapkali menemukan kaum asal Siak yang bermukim di wilayah ini. Karena orang-orang asal Siak tersebut bermukim di tempat itu, maka orang menyebutnya Persiakan.

Persiakan  dalam bahasa Melayu memiliki beberapa arti yaitu tempat perawat surau atau daerah yang tumbuh pohon siak (Dianelle ensifolia).

Kampung Mandailing
Perjalanan Tuanku Tambusai yang berperang melawan Belanda melintasi pegunungan Bukit Barisan (Mandailing, Angkola, Padang Lawas dan Kota Pinang) kemudian dipandang sebagian penting dalam sejarah migrasi orang Mandailing. Jalur perjalanan itu kemudian dipakai para perantau sebagai jalur pertama ke Sumatera Timur. Gelombang kedua migrasi orang Mandailing dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1840-an. Ketika itu perkebunan belum dibuka di Sumatera Timur. Sejak itu migrasi orang Mandailing terus berlanjut. (Pelly, 1994:42,55).

Tanah Deli  (orang Mandailing-Angkola menyebutnya Tano Doli) adalah daerah rantau utama orang Mandailing-Angkola. Para perantau awal Mandailing-Angkola tampil sebagai guru, guru agama, kerani, kadhi atau pedagang. Pembauran mereka dengan masyarakat Melayu tidak mengalami kesulitan, karena terutama adanya persamaan agama. Keturunan mereka ditambah dengan para migran yang terus berdatangan sejak akhir abad XIX telah membentuk suatu komunitas tersendiri .
Hubungan mereka yang erat dengan kalangan bangsawan Melayu menempatkan mereka pada kedudukan yang terhormat di kalangan masyarakat. Banyak diantara mereka yang menjadi pejabat pejabat agama kesultanan dan kerajaan.

Keberhasilan perantau Mandailing di pesisir Sumatera Timur antara lain karena : kesamaan dalam agama dan keyakinan dengan suku Melayu, pendidikan yang lebih baik , dan kurangnya persaingan kelompok-kelompok etnis lain. Dalam hal ini perantau Mandailing memiliki dua keuntungan, yaitu; 1. Simpati kesultanan kesultanan Melayu, dan 2. Posisi ekonomik mereka yang lebih lama. (Castles,1972:187;Pelly,1994:61).

Di Tebing Tinggi sendiri, Kampung Mandailing dulu adalah pemukiman yang disediakan Kerajaan Padang untuk kaum ulama asal Mandailing – Angkola yang kedudukannya setara dengan Melayu, dan dianggap sebagai puak Melayu.

Kondisi nyaman yang didapat Orang Mandailing dari penguasa Melayu di Tebing Tinggi, membuat migrasi Mandailing ke Tebing Tinggi semakin bertambah dari golongan usahawan emas yang cukup berhasil. Di dunia kesenian Melayu, Orang Mandailing turut berkiprah sebagai seniman lagu, musik dan lainnya, bahkan turut berbahasa Melayu fonem ‘O’ sebagai bahasa utama.

Kampung Rao
Rao adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, Rao sendiri adalah sub etnis Melayu.

Kehadiran etnis Melayu Rao ke Tebing Tinggi, sezaman dengan kehadiran Mandailing. Pemukiman orang Rao tidak jauh dari Kampung Mandailing, yang disebut Kampung Rao.

Tongkah
Wilayah yang dulu sebagai rantau Padang, kini berada di sekitar Kampung Muslimin, Nagur Bayu, Nagur Usang. Dulu sebagai negeri wazir Padang yang ditanam tembakau.


Rantau Laban
Rantau Laban secara bahasa artinya adalah daerah yang banyak ditumbuhi pohon laban. Pohon Laban berkayu putih kekuning-kuningan, kulit dan daunnya  lebih besar dari pada daun kenari,  biasa digunakan untuk obat; Vilex pubescens . Ada beberapa jenisnya Laban, seperti  Laban Bunga dan Laban Kunyit.

Di Rantau Laban dahulu sebagai ‘luhak’ dari Negeri Padang, yang pernah dipimpin Tengku Laidin. Yang terakhir Rantau Laban dipimpin Tengku Muhammad Aminullah. 

Beberapa Photo Tentang Negeri Padang ( Tebing Tinggi)

Syahdan, Raja Umar Saleh tinggal di hulu padang.

Dalam pada itu Raja Negeri Bedagai bergelar Yang Dipertuan Raja Negeri Panjang

dan di Tanjungbalai ia adalah raja, sementara Raja Adim duduk di Tanjungbolon.

Pada suatu hari datanglah Raja Umar Saleh dari Padang menemui Raja Adim di Tanjungbolon, untuk bermusyawarah membuat perjanjian bahwa antara mereka berdua sedia berserugi dan selaba.

Setelah dibuat perjanjian itu, maka Raja Umar Saleh pulang ke Negeri Padang.

Tiada berapa lama Raja Umar Saleh pergi lagi ke Bedagai menghadap Yang Dipertuan Raja Panjang, serta memulangkan Negeri Padang kepada Yang Dipertuan Raja Panjang dan ingin membuat aturan tanah supaya tidak saling berbantah anak cucu Puak Melayu di kemudian masa hari kelak.

Maka diaturlah Perwatasan Padang dengan Tanjung di sebelah laut Jaring Halus, dan di darat daerah Peranggiran Perlimbatan dan Perlimbatan Simpang empat. Daerah Simpang empat itu tempat banyak orang yang kena samun.

Sebelah ke barat Padang untuk yang punya tanah dan sebelah ke timur Tanjung untuk yang punya tanah.

Perwatasan Tanjung dengan Dolok ialah dari Simpang empat menuju ke Parapat.

Ke hulu Dolok untuk yang punya tanah dan ke hilir Tanjung untuk yang punya tanah.

Kemudian dibagi lagi tanah Datuk Saidi Muhammad – Batubara, yaitu watas sebelah tepi laut Gambus dan watas sebelah darat Rih Sigulanggulang. Berperinggan dengan Siantar, Bah Kemungmung menuju Sialang Condong.


Tengku Haji Jamta Melayu, 1870.
Tengku Haji Jamta Melayu adalah putera Raja Tebing Pangeran.
Putera Tengku Haji Jamta Melayu adalah Tengku Sortia.
Tengku Haji Jamta Melayu disebut juga Tengku Muhammad.

Tebing Tinggi 1938

Tengku Hassim - Raja Negeri Padang di Bandar Sakti - Tebing Tinggi, hingga 1946.
Tengku Hassim lahir di Bandar Sakti 29 Januari 1902

BESTUURDER (Pemimpin Pemerintahan Wilayah) PADANG (TEBING).
Tengkoe Hassim.
Sejak hilangnya bestuurder - wazir Padang (Tebing Tinggi)
lebih dari setahun yang lalu, Negeri Padang mengalami kekosongan jabatan.
Setelah kami kaji, kami mengangkat YM Tengkoe Hassim - Kepala Dewan Kehakiman di wilayah ini.
Pukul 10 Pagi ini di Tebing Tinggi,
di hadapan Controleur dan beberapa orang besar dari beberapa negeri lain, diserahkanlah jabatan kepada Tengkoe Hassim, dan berwenang terhadap kantor kewaziran.
Sedang Bedagai juga terjadi kekosongan jabatan, karena Pangeran telah mangkat, beberapa bulan lalu & belum ada pengganti.
Untuk sementara, jalannya pemerintahan ditanggungjawabi oleh Tengkoe Hafas.
Telah dipelajari dengan seksama juga, siapa yang akan diangkat menjadi Pangeran Bedagai.* (terbit: 01-03-1933)



STOVIA sebagai Sekolah Tinggi Kedokteran, mencatat Radja Kamaroedin (Tebing Tinggi, Deli) sebagai dokter, 1927

Diangkat menjadi dokter.
Raja Kamarudin diangkat menjadi dokter di Tebing Tinggi
Tgl 12/09/1927.
Di Koran tahun 1951, menyebutkan dr. Raja Kamarudin meninggal dunia.

Tuan Kali Harun di Tebing Tinggi (Sumatera Timur).
Tuan Kali Harun bernama asli Haji Harun Al Rasjid.
Beliau seorang ulama yang juga turunan ulama. Ayahnya seorang Lebai (Penggiat Agama Islam di Alam Melayu) bernama Lebai Abdullah. Sedangkan Ibunya - Siti Aisyah, adalah puteri seorang bangsawan Melayu bergelar Tengku di Tebing Tinggi yang juga seorang Ulama Thariqat, yaitu Syekh Haji Hasyim Al Kholidi An Naksabandi
Tuan Kali Harun adalah seorang Bangsawan Melayu di Tebing Tinggi dengan susur galur Kesultanan Melayu Pahang.
Memang banyak kaum bangsawan Melayu di Tebing Tinggi, tidak melekatkan gelar kebangsawanannya.
Sama halnya dengan Tuan Kali Harun atau Haji Harun Al Rasjid bin Lebai Abdullah ini. Padahal beliau bangsawan Melayu yang bergelar Wan.

Tebing Tinggi arah Pabatu, antara tahun 1900-1915

Rumah Panggung 1910

Tebing Tinggi arah Pabatu, antara tahun 1900-1915

Tebing Tinggi arah Pabatu, sebelum tahun 1915

Sebuah Rumah Panggung Melayu di Pabatu, antara tahun 1897 - 1903


Nyonya Van der Goot menulis memorinya 1923-1930
Saat itu keluarganya tinggal di Tebing Tinggi.
Sang ayah bekerja di Perkebunan Karet.

Tebing Tinggi, 1919

Gobuk khas Diraja Melayu jenis ini dipakai dalam upacara Diraja.
Untuk menyimpan beberapa jenis air yang sudah dido'akan untuk kebaikan Raja (pemilik hajat), biasanya berjumlah ganjil

Syarifah Zawiyah binti Sayyid Husein Sahabuddin - Kedah.
Istri Tengku Haji Muhammad Nurdin

Potongan wilayah Tebing Tinggi, 1918
Tampak daerah penaikan hingga ke Kantor Pos

Tebing Tinggi 1947

Tebing Tinggi 1918

Tampak Wan Mohd Yunan, Wan Harun, Wan Rahmah - Inah, Wan Mahmud, di Kota Tebing Tinggi lampau.
Mereka adalah putera & puteri dari Wan Abdullah Pahang dan Tengku Aisyah.
Kaum Bangsawan Melayu dari Pahang, memang sudah lama ada di Kota Tebing Tinggi - Sumatera Utara.
Di Wilayah ini juga terdapat turunan Melayu misalnya saja dari Siak atau juga wilayah semenanjung lainnya.


Kajang Palis tanda Bangsawan Melayu asli, pada Pemakaman Datuk Penggawa Zakaria bin Datuk Penggawa Mohd Ali bin Datuk Bandar Kajum, lahir di Tebing Tinggi pada tahun 1901 dan wafat di Tebing Tinggi 29 Agustus 1986

Pemuda-Pemuda Melayu di Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara) di era tahun 1960-an.
Dari kiri Wan H Tajuddin Noer bin Wan Mohd Yunan Pahang , Wan Ahmad Suhil bin Wan Khalifah Mahmoed Pahang, Djamaluddin bin Tuan Kali Soelaiman, yg duduk Tengku Long Kuala Bali


1958

Kebakaran di Tebing Tinggi. terbit 21/02/1934

Banjir di Tebingtinggi.
terbit 31/12/1938

Sepakbola di Tebing Tinggi
Untuk kompetis Persatuan Sepakbola Padang Bedagai, kemarin petang, bertanding Sahata melawan Sibarau. Pertandingan kali ini biasa-biasa saja. Sahata menang 3-1.
terbit 1938

... ternyata meriam ini panjangnya 237 cm, dengan diameter lubang 10 cm dan panjang perahu 670 cm. Menurut Pangeran, perahu dan meriam itu digunakan utk melawan kaum Batak yang berperang dengan 'Sultan' Padang. Meriam itu berasal dari Bedagai dari rajanya yang berhubung dengan Raja Padang. Diangkat dgn perahu di sungai yg sekarang tak ada lagi. Oleh taifun kapal itu tenggelam. Menurut Pangeran, meriam itu sudah bisa diangkat & akan ditunjuk di depan Kerapatan Bedagai di Firdaus.
terbit 01/08/1940

21-03-1914

Peringatan Korban di Tebing Tinggi. Hari kamis yg lalu diperingati masalah antara pemuda2 dgn pasukan Jepang thn 1945. Pada perjuangan itu di Tebing Tinggi, kira2 2000 pemuda terbunuh atau hilang. Upacara itu dikunjung oleh bapak Munar S. Hamidjojo.
Het Dagblad tgl 27-12-1945.

Sepakbola di Tebing Tinggi.
Hari ahad depan pertandingan sepak bola antara Kesebelasan China Kasi dan Kesebelasan Padang.
Keuntungan tiket akan didermakan bagi korban kebakaran di Tebing Tinggi.
Terbit 16-02-1940

RADJA PADANG DI MEDAN.

Ditangkap di lapangan terbang Medan. Berita yang didapat bahwa kemarin sore dengan kapal terbang KLM yang berangkat dari Alor Star, mendaratlah Mantan Raja Padang, Tengku Alamsyah, Maharaja Indra Bungsu dari Padang (Tebing Tinggi).
Zelfbestuurder ini diberhentikan tahun 1932 karena ada masalah, dan pelaksana tugas oleh adiknya Tengku Hasyim, dari Raad van Justitie (Dewan Kehakiman/ Dewan Kerapatan/ Pengadilan Negeri). Sekarang Mantan Zelfbestuurder ini kembali dgn rela. Tengku Alamsjah yg mendarat di Tanah Deli itu pun ditahan.
Terbit: 15-03-1935.

Tengku Hassim berphoto bersama Orang Besar Kerajaan Negeri Padang di Kantor Kerapatan di Bulian – Tebingtinggi. Tampak dalam photo: Tengku Abin, Tengku Sortia, Pejabat Asing, dan lainnya.

Tengku Abin



Tulisan & photo: M Muhar Omtatok