Selasa, 06 Januari 2015

Ampun Patik beribu ampun


"Ampun Patik beribu ampun
Sembah Patik harap diampun
Bila Melayu telah berhimpun
Apa dibuat jadi tertuntun"

Minggu, 04 Januari 2015

KOTA YANG KEHILANGAN JEJAK


Dr.phil. Ichwan Azhari, MS
Kepala Pussis-Unimed

Alkisah kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernama Singa Mahraja memerintah di negeri Bekarah.
…Maka adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa orang besarnya mau jadikan, karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga, maka turunlah ia pergi ke hutan mencari ilmu…


Sebelum tahun 1975, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Penetapan hari ulang tahun itu didasarkan penetapan Kota Medan sebagai  Gemeenteraad tanggal 1 April 1909. Jika hari ulang tahun itu tidak dirubah pada tahun 1975,  maka tanggal 1 April ini merupakan hari ulang tahun Kota Medan ke-100 (satu abad). Melakukan refleksi melalui peringatan satu abad Kota Medan sebagai satu kota dengan warisan jejak peradaban Eropa yang tinggi, tentu beda dengan jika yang dijadikan tonggak adalah hari jadi sebuah kampung, apalagi tidak ada bukti historis bahwa dari kampung itulah Medan berkembang menjadi kota moderen.

Ini semua terjadi hanya gara-gara sekelompok orang kurang kerjaan yang tidak mau segala sesuatunya berbau kolonial. Lalu di awal tahun 1970-an, orang-orang itu mencari kesibukan mengarang hari jadi kota yang baru. Yang penting, tidak ada bau Belandanya. Mereka mencoba mengingkari bahwa Kota Medan adalah ciptaan Belanda.  Singkat cerita, mereka tersesat ke sebuah legenda bernama Hikayat Hamparan Perak. Fakta hari jadi sebuah kota dalam pengertian moderen di dalam hikayat itu jelas tidak ada. Lantas fakta yang tidak ada itu diada-adakan dan  dijungkirbalikkan, lalu…sim salabim…ketemulah tanggal yang tidak berbau kolonial Belanda. Tanggal boneka itu 1 Juli 1590, yang sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Kota Medan, satu tanggal yang manipulatif, jauh dari maksud mencari tanggal pengganti hari jadi sebuah kota moderen, yang embrio kemunculannya baru ada di  abad ke-19.

Berdasarkan dokumen yang ada di Arsip Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed, upaya untuk mengganti hari jadi kota yang berbau Belanda itu dilakukan melalui seminar tanggal 27-29 Maret 1971. Seminar itu kemudian bergulir ke tahap dibentuknya Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan. Nah, panitia inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk menelaah teks tradisional yang anonim, Riwayat Hamparan Perak (RHP), sebagai bahan untuk mencari hari jadi Kota Medan. Pada waktu itu, memang dalam disiplin ilmu sejarah, belum berkembang kajian kritis atas sebuah teks tradisional, sehingga tidak dipertanyakan apakah sebuah teks tradisional bisa dipertanggungjawabkan untuk mencari data historis. Apakah teks  yang menyimpan fakta sejarah atau teks tradisional sebenarnya sebuah wacana sejarah?

Karena pertanyaan kritis itu tidak diajukan, maka panitia tidak menyadari di belakang hari akan timbul masalah yang pelik ketika paradoks dalam teks ini dibuka orang satu persatu. Misalnya, panitia berdasar teks ini mengatakan, pendiri Kota Medan adalah Guru Patimpus, orang Karo bermarga Sembiring. Tapi sekarang di internet ada bantahan berdasarkan teks yang sama, bahwa Guru Patimpus bukan marga Sembiring. Dia adalah marga Sinambela, keturunan Singamangaraja. Jadi pendiri Kota Medan bukan orang Karo, melainkan orang Batak Toba.

Teks ini memang penuh paradoks dari awalnya. Tertulis dalam teks, Patimpus adalah anak dari putra Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita. Dengan kata lain, Patimpus adalah cucu dari keturunan langsung Raja Sisingamangaraja. Patimpus muda menolak menjadi raja meneruskan tahta ayahnya di Toba dan memutuskan untuk pergi merantau ke berbagai tempat sambil menimba ilmu.

…Maka adalah Timpus tiada mau menjadi raja; di dalam beberapa orang besarnya mau jadikan, karena ia anak yang tua, namun ia tidak mau juga, maka turunlah ia pergi ke hutan mencari ilmu…

Kalimat awal di teks RHP ini dimulai dengan kalimat:
Alkisah kata sahibul hikayat suatu cerita dahulu kala seorang Raja bernamaSinga Mahraja memerintah di negeri Bekarah.

Dilihat dari kajian teks, naskah HRP ini meragukan sebagai tempat untuk mencari fakta, tapi justru dimaksudkan untuk mengkonstruksi sebuah realitas rekaan: di bagian awal cukup menarik, karena ada pertalian garis keturunan ke Singamangaraja. Dan kabarnya panitia hari jadi Kota Medan waktu itu sudah menghubungi keturunan Sisingamangaraja. Tapi mereka mendapatkan jawaban, tidak ada keturunan Sisingamangaraja yang mengarah ke Guru Patimpus. Juga diperlukan metode analisis wacana untuk memahami bagaimana Patimpus di akhir teks muncul sebagai ulama besar penyebar Islam di kalangan orang Karo di Sumatera Timur.

Lalu, ada hal penting lainnya yang  rancu, yaitu temuan tentang asal muasal Datuk Kota Bangun yang menurut tafsir panitia adalah bernama Imam Saddik bin Abdullah, seorang ulama yang berasal dari Aceh (Dada Meuraxa, 1975:52). Namun itu terbantahkan sendiri oleh RHP bahwa Datuk Kota Bangun sebenarnya bukanlah Imam Saddik bin Abdullah yang seorang guru agama Islam dari Aceh, tetapi beliau (Datuk Kota Bangun) berasal dari Jawa.

Pada kenyataannya, ulama yang sebenarnya diduga berasal dari Jawa adalah Said Tahir yang makamnya ditemukan di Gelugur dan nisannya berangka tahun 1570-an, 20 tahun lebih dahulu dibuat dari makam Imam Saddik di Klumpang, daerah Hamparan Perak yang berangka tahun 23 Sya’ban 998 Hijriyah atau 27 Juni 1590 Masehi. Dalam hal ini, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah Imam Saddik-lah yang dimaksud ulama dari Jawa (mengingat namanya yang tidak berbau Jawa, dan cukup meragukan)? Atau, apakah Said Tahir-lah yang sebenarnya bergelar Datuk Kota Bangun yang berasal dari Jawa? Hal ini diperkuat oleh adanya catatan dalam buku Begraafplaats Rapport tahun 1938  Kota Medan (Dada Meuraxa, 1975:37), bahwa nama Keramat Gelugur adalah Said Tahir yang berasal dari Jawa. Disebutkan, ia kemungkinan adalah keturunan Wali Songo dari Cirebon sebagai pengembang Agama Islam yang wafat sekitar tahun 1575 (masa di saat Agama Islam mulai berkembang di Sumatera Timur). Hal ini semakin menarik karena pada buku yang sama telah ditemukan data yang malah mematahkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan tersebut.

Satu hal lagi yang semakin memperkuat adanya kesimpangsiuran data pada buku yang ditulis oleh Dada Meuraxa adalah, adanya catatan resmi yang ditulis oleh Sarjana Moquette pada tahun 1922 (Dada Meuraxa, 1975:38), di mana dinyatakan bahwa Imam Saddik adalah ulama yang berasal dari Aceh dan datang ke Deli sebagai Guru Agama Islam. Hal ini semakin menguatkan bahwa Imam Saddik bukanlah ulama dari Jawa seperti yang diakui sebagai nama alias Datuk Kota Bangun. Dengan kata lain, Imam Saddik bin Abdullah yang makamnya ditemukan di Klumpang dan berangka tahun 1590 bukanlah Datuk Kota Bangun yang bertemu dengan Guru Patimpus yang berhasil di-Islamkannya.
Hal di atas semakin mengaburkan keyakinan bahwa tahun 1590 adalah tahun yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai tahun di mana Said Tahir alias Datuk Kota Bangun bertemu dengan Guru Patimpus. Soalnya figur yang diduga sebagai orang pertama yang berhasil meng-Islamkan datuk-datuk Hamparan Perak ini sudah meninggal pada tahun 1575. Kalaupun pertemuan Datuk Kota Bangun dengan Guru Patimpus digunakan sebagai momentum awal didirikannya Kampung Medan, maka penggunaan tahun 1590 juga tidak tepat, karena Medan sudah ada sebelum Patimpus datang.

Kutipan di dalam teks sendiri membantah bahwa Patimpus yang mendirikan Medan:
…tiada berapa lama antaranya maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan, dan dengan takdir Tuhan pada suatu hari ia lagi tinggal menebas Medan itu bersama-sama dengan anak bininya…tiada berapa lamanya antaranya hamillah perempuannya itu, maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan…

Mengutip teks di atas, ”…maka ia pun pindahlah membuat kampung ke Medan…”, ”…tinggal menebas Medan…”, dan ”… maka Guru Petimpus pun sudah siap membuat rumahnya dan kampung di Medan…”, secara jelas tersirat bahwa daerah Medan itu telah ada sebelum kampung-kampung itu didirikan.

Jadi jelas, penggunaan teks RHP sendiri bermasalah untuk mencari jejak historis Kota Medan. Tapi karena motifnya hanya mencari hari jadi kota yang tidak berbau kolonial, maka RHP menurut saya telah jadi korban, dan kebesaran Guru Patimpus sebagai ulama Islam yang penting dan kharismatik menjadi terdistorsi oleh tafsir panitia Hari Jadi Kota Medan. Ia “diangkat” panitia menjadi pendiri sebuah kota yang tidak dia lakukan.

Jikapun kita menolak 1 April 1909 karena alasan buatan Belanda, sebenarnya masih ada tanggal lain yang lebih layak, misalnya pindahnya Ibukota Asisten Residen Deli  dari Labuhan ke Medan (1879) atau tanggal dipindahkannya Ibukota Residen Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan (1 Maret 1887) atau pindahnya Istana Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan (18 Mei 1891). Kampung tidak mungkin berevolusi menjadi sebuah kota jika tidak ada faktor-faktor luar yang mendukungnya, seperti ratusan kampung yang sampai sekarang tetap menjadi kampung dan tidak berevolusi menjadi sebuah kota.

Mengenang satu abad Kota Medan dari desain besar peradaban moderen Eropa, jelas bisa membuka mata kita: amburadulnya Kota Medan sekarang ini disebabkan karena salah urus penanggung jawab kota, yaitu Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan. Sebab, sejak didesain Belanda akhir abad 19 sebagai sebuah kota moderen dengan replika peradaban Eropa di dalamnya,  Kota Medan merupakan salah satu ikon penting kota yang unik dan tidak ada duanya di dunia. Sebuah kota Paris van Sumatra yang dirancang dan puluhan tahun diurus dengan serius oleh Dewan Kota (Gemeenteeraad) dan Walikotanya (Burgemeester).


Mengenang ke satu abad Kota Medan yang kini telah menjadi bagian dari kota dunia yang mengglobal tapi sekaligus tanpa roh peradaban kota, maka tiap tahun ada celah untuk membangkitkan pertanyaan:  apa yang menyebabkan kota yang semula luar biasa ini berubah menjadi kota yang salah urus? Apa saja warisan kota yang telah dijarah? Siapa saja pejabat yang tidak benar-benar mengurus kota ini seperti selama puluhan tahun sebelumnya diurus dengan baik? Dan siapa saja mereka yang “berjasa” menghancurkan peradaban kota? Tapi sayang, dalam memperingati Hari Jadi Kota Medan sejak 1975, kita tiap tahun tidak lagi mengenang sisi tingginya peradaban kota ini, karena memori kita disesatkan untuk mengenang sebuah kampung yang absurd.

HARU, KERAJAAN BESAR MELAYU YANG DILUPAKAN

Sambutan Dr.phil. Ichwan Azhari, MS
kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan pada peletakan batu pertama Museum Maritim di Siba Island Hamparan Perak

Haru merupakan kerajaan Melayu yang besar yang pernah menguasai dan mengontrol jalur perdagangan internasional di Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah menjadi kerajaan ”superpower” di kawasan Asia Tenggara seperti Cina, Pasai, Aceh, Majapahit dan Malaka tidak bisa mengabaikan kebesaran kerajaan Haru yang penting tapi dilupakan ini. Bahkan Gajah Mada pun tidak tenteram sebelum kerajaan Haru bisa ditaklukkannya. Bukti-bukti sejarah berupa arsip, teks, temuan-temuan arkeologis serta sejarah lisan telah mengukuhkan bahwa kerajaan ini berkecenderungan kuat terletak di pantai timur Sumatra Utara, tepatnya di kawasan Hamparan Perak.

Keberadaan kerajaan ini muncul pertama kali dalam sumber Cina, ketika negeri tersebut berada dibawah pemerintahan Dinasti Yuan. Laporan perjalanan ini dituliskan oleh Ma Huan, asisten Laksamana Cheng Ho ketika melakukan perjalanan ke Nusantara  pada tahun 1416 M atas perintah kaisar Cina. Dalam buku Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (2009), diterangkan bahwa Laksamana Cheng Ho seorang utusan kaisar Cina sempat singgah di Kerajaan Haru melalui negeri Ma-La-Chia (Malaka). Dewasa itu, Kekaisaran Cina menjalin hubungan yang sangat baik dengan Kerajaan Aru. Menurut Ma Huan, di negeri ini terdapat sungai Air Tawar (Fresh Water River), dengan melintasi sungai ini maka kita akan tiba ke sebuah permukiman penduduk. Menurut keterangannya, penduduk Kerajaan Haru, kala itu telah menganut agama Islam.

Berselang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1430, Zheng He kembali menjadi utusan kaisar Renzong untuk melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Sebelumnya pada tahun 1412, sebagaimana di catat dalam Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325, menjelaskan bahwa Zheng He mengunjungi negara ini sebagai utusan kaisar. Tujuan perjalanan ketujuh ini ingin mengembalikan pengaruh Cina, ditandai dengan berkurangnya Negara-negara di selatan yang memberikan upeti ke kerajaannya. Negara yang dikunjunginya tersebut adalah Campa, Jawa, Kamboja, Ku-kang, Siam, Kalkuta, Melaka, Brunei, Sumatra, Aru, Cochin, Coilan Besar, Coilan Kecil, Soli dan Soli Barat, Cail, A-bo-ba-dan, Comari, Sri Langka, Lambri, Pahang, Kelantan, Hormus, Bi–la, Kepulauan Maladewa, Sun-la (Sunda) (Groeneveldt, 2009:63). Kedua laporan perjalanan ini masing-masing adalah Yingya Shenglan (1416) dan Xingcha Shenglan(1436).

Selain dari kedua sumber Cina tersebut, Sejarah Dinasti Ming (1368-1643)Buku 325 juga mencatat bahwa Aru terletak didekat Melaka. Pada tahun 1411, raja mereka Su-lu-tang Hut-sin mengirim utusan yang membawa upeti bersamaan dengan Kalkuta dan Negara lainnya. Sebagai gantinya, para utusan ini memperoleh hadiah topi, ikat pinggang, sutra, uang dan uang kertas serta hadiah lainnya untuk diberikan kepada Raja (Groeneveldt, 2009: 133).  Secara berturut-turut, Kerajaan ini mengirimkan upetinya kepada Kaisar Cina. Tepatnya pada tahun 1419, putra Raja Tuan A-la-sa mengirimkan utusannya. Diikuti pada tahun 1421 dan 1423. Hingga akhirnya tahun-tahun berikutnya, kerajaan ini mulai membelok dengan tidak mengirimkan upeti ke Kaisar Cina.

Keberadaan kerajaan ini juga dituliskan dalam beberapa sumber Eropa, antara lain:  Tome Pires dari Portugis dan Mendez Pinto. Dalam sumber Eropa diuraikan bahwa Haru merupakan kerajaan besar yang terdapat di pesisir timur pulau Sumatera. Hal ini dijelaskan oleh Pires dalam Cortesao (1967: 146), bahwa Kerajaan Daruu (Haru) adalah kerajaan besar, lebih besar dari kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Perjalanan Tome Pires ini dilakukan pada pertengahan abad ke-16, ketika Malaka takluk dibawah pengaruh Portugis. Dalam kunjungannya tersebut, digambarkan Kerajaan Haru memiliki banyak sungai dan sedikit berawa (Pires dalam Cortesao, 1967:147). Kerajaan ini telah mendapat pengaruh Islam ditandai dengan kepemimpinan seorang Raja muslim yang berdiam di pedalaman.
Selain laporan perjalanan Tome Pires, keberadaan kerajaan ini juga dipaparkan Ferdinand Mendes Pinto yang merupakan utusan Portugis. Untuk mencapai kerajaan ini menurut Pinto dalam Reid (1991:28), membutuhkan waktu  berlayar dari Malaka, kemudian tibalah di sungai Panecitan dimana terletak ibukota Haru. Dengan demikian semakin jelaslah keberadaan Kerajaan ini, kerajaan besar di pesisir Sumatera Utara yang letaknya membentang dari Tamiang hingga ke Rokan. Uraian daerah kekuasaan Kerajaan Aru ini ditemukan juga dalam beberapa sumber local, antara lain:Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, pada pertengahan Abad ke-13 (Sinar, 2006:12).

Sumber-sumber local yang dimaksud tersebut ialah sumber Melayu, Aceh dan Jawa. Dalam sumber Jawa, Kerajaan Aru berulang kali disebutkan terutama di dalam kitab Negara Kertagama karya Prapanca dan Kitab Pararaton. Pada pupuh ke-13 bait ke-1, diuraikan bahwa di Sumatera daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai Majapahit pada abad ke-14, antara lain: Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Tamiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung (Muljana, 2006:161). Kitab Negara Kertagama dikarang pada tahun 1365 Masehi yang menyimpulkan kepemimpinan Rajasanagara atau Hayam Wuruk sebagai Raja Kerajaan Majapahit.

Penaklukkan ini berkaitan dengan upaya perluasan hegemoni Majapahit di seberang lautan diawali dari pengucapan Amukti Palapa oleh Gajah Mada. Dalam buku Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (2005), dijelaskan bahwa saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa jikalau seluruh Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan Negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik sudah dikalahkan.”  Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada ini menyebutkan bahwa Haru merupakan salah satu kerajaan yang nantinya akan ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit. Selain itu, penaklukkan Kerajaan Haru yang dituangkan dalam Amukti Palapa ini  dituliskan dalam Kitab Pararaton. Dalam istilah bahasa Jawi, Kitab Pararaton berarti kitab Raja-raja dan dikenal pula dengan nama Pustaka Raja.

Sedangkan di dalam sumber-sumber Aceh dan Melayu, terutama padaSejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan bahwa rombongan Nahkoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus), kemudian Lamiri (Lamuri) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudra Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian Sultan Malikulussaleh diislamkan (Sinar, 2006:12).

Pada abad ke-15, kebesaran Kerajaan Aru semakin berkembang dengan pesatnya.  Sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah Melayu bab ke-13 bahwa Kerajaan Aru telah menjadi kerajaan besar setaraf dengan Malaka dan Pasai. Periode tersebut, kerajaan ini menjadi kerajaan besar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka Sebelum kedatangan Portugis, Kerajaan Aru sudah berdiri kokoh dan memiliki pengaruh besar di Selat Malaka. Oleh karena itu, berkali-kali dalamSejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dijelaskan bahwa Haru sempat berkali-kali menduduki Pasai dan menyerang Malaka.

Untuk meredam pertempuran dengan Malaka, Kerajaan Harupun tetap berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan Melayu Malaka. Sultan Haru sempat membantu Kerajaan Malaka dari penyerbuan Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Persahabatan tersebut semakin dipererat dengan pernikahan anak perempuan sultan yang bernama Raja Putih dengan Sultan Haru yang bernama Sultan Husin (Sinar, 2006:19).  Setelah penyerangan Malaka tersebut, Sultan Malaka menyelamatkan diri di Bintan. Hubungan yang erat inilah yang nantinya menjadi pangkal permasalahan dengan Kerajaan Aceh, sebagai kerajaan yang menggantikan peran penting kerajaan Pasai setelah Pasai surut. Menurut Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1981), sengketa antara Portugis dan Aru pada suatu pihak terhadap Aceh pada lain pihak, sebetulnya bermulaan sejak tahun 1524 (Masa Ali Mughayat Syah).

Ketika orang Portugis lari ke Aru sehingga armada Aceh memburu sisa-sisa angkatan perang Portugis yang sebelumnya dihancurkan di Pasai lantas berlindung ke Aru serta meminta bantuan disana. Portugis meminta bantuan Kerajaan Haru dari penyerangan Ali Mughayat Syah. Hingga kemudian sejarah menjelaskan bahwa akhir pertempuran tersebut adalah kemenangan di pihak Aceh. Sejumlah legenda dan cerita rakyat berkaitan dengan konflik Aceh – Haru ini seperti cerita tentang Benteng Putri Hijau di Deli Tua sebenarnya berkaitan atau merupakan interpretasi tradisional atas  fakta-fakta historis yang ada.

Penyerangan yang terjadi pada tahun 1612 ini menyebabkan Kerajaan Haru berada di bawah kekuasaan Aceh. Di daerah taklukkan ini ditempatkanlah Wali Negara Aceh, yaitu Gotjah Pahlawan. Ratu Aru yang selamat dalam pertempuran tersebut lantas meminta bantuan kepada Sultan Johor dengan syarat ratu bersedia menikah dengan Sultan Johor yaitu Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah. Pada tahun 1640, Sultan Johor dan Ratu Aru berhasil mengadakan serangan balasan ke Haru dan memulihkan kembali kekuasaan Ratu di negerinya tersebut (Said, 1981:189). Dua puluh empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1664, Kerajaan Aru dapat diambil alih kembali oleh pihak Aceh.

Majapahit, Pasai, Aceh dan Malaka sering disebut-sebut dalam historiografi nasional Indonesia. Bahkan dalam sejarah resmi Indonesia (6 Jilid Sejarah Nasional Indonesia) kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai kerajaan penting di Asia Tenggara. Tapi Haru tidak disebut, Haru belum mendapat tempat dalam sejarah nasional Indonesia.  Untuk itu diperlukan suatu upaya agar kerajaan besar ini dapat intensif diperkenalkan, artefak dan teks yang sudah ada dapat di himpun dalam suatu museum serta penelitian lanjutan berupa eskavasi tentang kerajaan ini perlu segera dilakukan.*
Hamparan Perak, 18 Mei 2010



Kota Rentang dan Hubungannya Dengan Kerajaan Aru


Oleh: Suprayitno
Dosen Sejarah Fakultas Sastra USU Medan

PADA April 2008, Tim Peneliti Gabungan dari Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat menemukan situs Kota Rantang yang terletak di Kec. Hamparan Perak, Deli Serdang. Temuan itu berupa keramik, potongan kayu bekas kapal, batu bata dan nisan. Koordinator kegiatan penggalian situs, Nani H Wibisono dalam salah satu media Jakarta terbitan 24 April 2008 mengatakan, aneka keramik yang ditemukan paling banyak berasal dari Dinasti Yuan abad ke-13-14. Selain itu ada keramik dari Dinasti Ming abad ke-15, keramik Vietnam abad ke-14-16, keramik Thailand abad ke-14-16, keramik Burma abad ke-14-16, dan keramik Khmer abad ke-12- 14. Adapun batu nisan yang ditemukan di lokasi bergaya Islam bertuliskan syahadat tanpa ada angka tahun.

Temuan situs Kota Rantang kembali mengingatkan kita kepada temuan situs Kota China di Labuhan Deli yang ditemukan pada tahun 1970-an. Yang menarik dari komentar para ahli sejarah dan arkeologi tentang temuan itu adalah, temuan di kedua situs itu selalu dihubungkaitkan dengan keberadaan Kerajaan Aru. Pertanyaannya: benarkah demikian? Bagaimanakah temuan-temuan di lokasi tersebut berkaitan dengan Kerajaan Aru, dan bisa dipahami oleh publik secara logik? Tulisan singkat ini berupaya menjawab soalan itu berdasarkan batu nisan Aceh yang berada di situs Kota Rantang.

Kerajaan Aru

Dimanakah lokasi Kerajaan Aru dan benarkah Kerajaan Aru itu wujud dalam sejarah Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Jika benar, siapakah nama rajanya, bagaimanakah kehidupan sosial-ekonomi penduduk dan hasil bumi negeri itu. Pertanyaan ini penting untuk dijelaskan lebih awal sebagai entri point untuk menjelaskan isu tersebut diatas. Sebagaimana diketahui, catatan atau rekord tentang Kerajaan Aru sangat terbatas sekali. Menurut Ma Huan dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary”. A.H. Gilles sebagaimana dikutip J.V.G. Mills menyatakan “fresh water estuary” adalah muara Sungai Deli. Oleh karena itu Gilles menegaskan bahwa lokasi Aru berada di sekitar Belawan (3o 47` U 98o 41` T) wilayah Deli Pantai Timur Sumatera. Di sebelah selatan, Aru berbatasan dengan Bukit Barisan, di sebelah utara dengan Laut, di sebelah barat bertetangga dengan Sumentala (Samudera Pasai) dan di sebelah timur berbatasan dengan tanah datar.  Untuk sampai ke Kerajaan Aru, dibutuhkan pelayaran dari Melaka selama 4 hari 4 malam dengan kondisi angin yang baik.

Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan (wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia), dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik. Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari. Semua sumber China itu mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah Sumatera Utara, karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai. Samudera Pasai sudah jelas terbukti berdasarkan bukti arekologi berupa makam Sultan Malik Al-Saleh posisinya berada di daerah antara Sungai Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan Sungai Pasai (Krueng Pase) di Aceh Utara.

Namun, lokasi pusat Kerajaan Aru yang disebutkan dalam sumber China itu memang belum dapat dikenali pasti karena, bukti-bukti pendukung lainnya, khususnya bekas istana, makam-makam diraja Aru dsb. belum ditemukan. Dua lokasi tempat ditemukannya sisa-sisa keramik China, nisan, dan lain-lainnya sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini belum dapat dijadikan bukti yang kuat. Hasil-hasil penggalian di kota China (Labuhan Deli) dan Kota Rantang sementara hanya membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang penting sebagai tempat aktifitas perdagangan dengan para pedagang asing dari China, Siam dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat tentang lokasi Kerajaan Aru. Groeneveldt (1960:95) menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). Pendapat terakhir ini tampaknya sesuai dengan keterangan geografi dari salah satu sumber China di atas, yakni berhadapan dengan Pulau Sembilan di Pantai Perak Malaysia. Memang apabila ditarik garis lurus dari Pulau Sembilan menyeberangi Selat Melaka akan bertemu dengan Teluk Haru yang terletak di Muara Sungai Wampu. Tetapi hingga hari ini didaerah itu belum ada ditemukan bukti-bukti arkeologis yang dapat mendukung pernyataan tersebut.
Sesuai dengan sistem transportasi zaman dahulu yang masih bertumpu kepada jalur sungai, dapat kita pastikan bahwa bandar-bandar perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah kekuasaan politik (kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai. Dalam konteks ini, maka di sepanjang pantai Sumatera Timur, ada beberapa sungai besar yang bermuara ke Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun, Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai Bedera. Dua sungai yang disebut terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya (Hamparan Perak). Jika demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal, apalagi dihubungkaitkan dengan beberapa temuan-temuan arkeologis di Kota Rantang dan Labuhan Deli.

Tiga buah sungai yang disebutkan terakhir itu juga merupakan jalur lalulintas penting sepanjang sejarah, setidaknya sebelum penjajah Belanda membangun jalan raya pada awal abad ke-20, bagi orang-orang Karo untuk berniaga, sekaligus bermigrasi ke pesisir pantai Sumatera Timur/Selat Melaka. Dalam sejarah Melayu, ada disebutkan tentang nama-nama pembesar Aru yang erat kaitannya dengan nama-nama/marga orang Karo, seperti Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat dan nama Aru atau Haru juga dapat dikaitkan dengan Karo. Jika informasi ini dikaitkan, maka pusat Kerajaan Aru memang berada di muara-muara sungai tersebut. Namun, secara pasti belum dapat ditetapkan, apakah di sekitar Muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat) atau di sekitar Belawan.
Dalam Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin, pada sekitar abad ke-15 M wilayah Kerajaan Aru meliputi seluruh Pesisir Timur Sumatera dari Tamiang sampai ke Rokan dan bahkan sampai ke Mandailing dan Barus. Jika begitu yang boleh kita pastikan adalah wilayah Kerajaan Aru berada di sebagian Pantai Timur Sumatera yang sekarang menjadi wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penguasa. Siapakah penguasa Kerajaan Aru? Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488 dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Pasai.

Tuanku Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya adalah Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut beliau ada kesalahan tulis antara wau pada akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat adalah “…yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir. Dari nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Suku Karo. Tetapi nama tokoh Maharaja Diraja anak Sultan Sujak masih perlu diperbandingkan dengan sumber lain untuk membuktikan kebenarannya. Sebutan Maharaja Diraja adalah sebuah gelar bagi seorang raja, bukan nama sebenarnya dan apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru yang pertama atau apakah itu gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini sukar untuk memastikannya.

Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu. Sulutang Hutsin adalah sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin. Nama Sultan Husin juga telah disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528.

Disebutkan, Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama dengan Raja-raja Melayu lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas undangan Sultan Mahmud Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di Kampar karena Melaka sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi Melayu melawan Portugis. Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan bahwa nama Sultan Husin sebagaimana disebut dalam catatan China dan Sejarah Melayu secara historis dapat dibenarkan. Dengan demikian hanya itulah nama-nama yang tercatat sebagai penguasa Aru. Namun nama itu secara arkeologis hingga hari ini belum dapat dibuktikan, maksudnya belum ada temuan berupa batu nisan atau mata uang yang memuat nama tersebut.

Sosial Ekonomi

Bagaimanakah keadaan sosial-ekonomi penduduk Aru? Raja Aru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad. Keduanya merupakan pendakwah dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13. Oleh karena itu, dapat dipastikan agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak sejak abad ke-13. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa batu nisan Sultan Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh 1270-1297, dan kunjungan Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber itu sudah valid dan kredibel.

Sumber-sumber China menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan mayat, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Kerajaan Aru sama dengan Kerajaan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengkonsumsi susu (maksudnya mungkin susu kambing). Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi negeri itu mereka barter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96).
Kerajaan Aru telah terwujud pada abad ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008). Ketika itu telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang berusaha mendominasi wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia Tenggara). Singosari berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari, seperti Melayu (Jambi) dan  Aru/Haru. Sementara dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik. Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit, termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan Madahaling.

Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China. Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri yang merdeka saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau persembahan/surat kepada Kaisar China.

Oleh karena itu dapat dipastikan Kerajaan Aru pada abad ke-15 adalah negeri yang merdeka dan berusaha pula untuk mendominasi perdagangan di sekitar Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah Melayu. Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan politik.
Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk dijadikan sekutu melawan Melaka.  Akan tetapi hubungan Aru dengan Melaka tetap harmonis. Pada saat Sultan Melaka (Sultan Mahmud Shah) diserang oleh Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang membantu Melaka. Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan November 1539.

Aru berhasil dikuasai Aceh dan Sultan Abdullah ditempatkan sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru melarikan diri ke Melaka untuk meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis, Pero de Faria. (M.Said, 2007: 164). Dengan bukti-bukti itu secara tertulis, jelas Kerajaan Aru memang pernah wujud di Pantai Timur Sumatera paling tidak sejak abad ke 13 hingga awal abad ke-16. Namun benarkah istananya terdapat disekitar Belawan (Muara Sungai Deli) atau di Muara Sungai Barumun di Padang Lawas, masih perlu dikaji lebih teliti dengan memerlukan banyak bukti.

sumber: WASPADA ONLINE, Minggu, 18 Mei 2008 00:59 WIB
Catatan:
Terdapat kesalahan yang menurut EE. McKinnon, nama tersebut bukan ‘Kota Rantang’ tetapi ‘Kota Rentang’. Hal ini didasarkan kepada sumber-sumber Melayu klasik.