Senin, 11 Agustus 2014

Tengku Rizal Nurdin


Mayor Jenderal TNI (Purn) H Tengku Rizal Nurdin lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 21 Februari 1948 – meninggal di Medan, Sumatera Utara, 5 September 2005 pada umur 57 tahun, adalah Gubernur Sumatra Utara ke-14 dan 15, menjabat dari tahun 1998 hingga meninggal dunia pada 5 September 2005. Saat itu ia sedang bertugas dalam periode keduanya (2003-2008). Pada periode sebelumnya (1998-2003), Rizal Nurdin juga merupakan gubernur Sumut.Sebelum menjadi Gubernur, dia adalah Pangdam I Bukit Barisan tahun 1997, dengan Pangkat Mayor Jenderal. Walau lahir di Sumatera Barat, namun ia adalah seorang suku Melayu Serdang.Ia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Mandala Airlines pada 5 September 2005 di Medan. Saat itu ia sedang berada dalam perjalanan untuk menghadiri rapat mendadak dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada malam harinya. Tengku Rizal Nurdin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 November 2005 dalam kaitannya dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
Tengku Rizal Nurdin  adalah putera marhum Mayor TNI Purn. H. Tengku Nurdin Perbaungan dan  Hj. Tengku Rafiah, merupakan abang kandung dari Tengku Erry Nuradi, wakil gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018.
Rizal adalah angah dari tujuh bersaudara, yaitu: H. Tengku Burhanuddin (abang) Berastagi, 3 Juni 1946, Hj. Tengku Rafina Nurdiaty (adik) Medan, 22 Mei 1950, Hj. Tengku Sofia Hanum (adik) Tarutung, 28 April 1951, H. Tengku Adi Graha Putra (adik) Bandung, 22 Mei 1953, H. Tengku Isma Irawadi (adik) Cimahi, 28 April 1954 dan H. Tengku Erry Nuradi (adik) Medan, 30 Juni 1964.
Dari pernikahannya dengan Hj. N.R. Siti Maryam (lahir tahun 1948), Rizal memperoleh dua orang putri, yaitu T.  Armilla Madiana dan T. Arisma Mellina. * (M Muhar Omtatok)

Ahmad Baqi


Prof (HC) Datuk AHMAD BAQI ( 17 Juli 1922 – 20 Januari 1999).
Putra dari Abdul Majid, Ulama  Kesultanan Deli. Ahmad Baqi dikenal sebagai pemusik dan pencipta lagu-lagu Melayu berirama nasyid ala padang pasir. Sejak tahun 1940-an, setidaknya telah menciptakan bertumpuk lagu dalam partiturnya. Atikah Rahman (Istri A Wahab Dalimunthe) yang bergabung dalam orkes El Suraya, menyanyikan lagu ‘Selimut Putih’ yang direkam kala itu dan sangat popular. Lagu tersebut merupakan arransemen langsung dari Ahmad Baqi dengan lirik Ustaz Haji Mohammad Ghazali Hasan. Tidak sedikit lagu yang masih terhafal bagi peminat irama nasyid, adalah karya cipta dari Ahmad Baqi, sebut saja lagu ‘Madah Terakhir’. “Sahabat, biarlah daku pergi, berjalan menuju Pangkalan …”, ini merupakan syair dari “Tersiksa Dalam Kenangan” yang diciptakan maestro musik religi Sumatera Utara ini. Lagu itu diciptakan Ahmad Baqi, sesaat sebelum ia mengambil sajadahnya untuk shalat tahajud malam di awal Syawal tahun 1999, menutup pengabdiannya untuk menghadap Sang Khalik. 

Hj. Rosmalina



Lahir tahun 1937, Putri dari Achmad Rasjid, seorang turunan bangsawan Langkat. Achmad Rasjid dan ayahandanya mendapat besluit no 14/tahun 1920 dari Asisten Residen Simeloengoen dan Karolanden menjadi Penghulu ke dua menggantikan ayahandanya di Bandartinggi.  

Hingga Hj. ROSMALINA lahir bukan di tanah moyangnya di Langkat, tapi di Bandartinggi dan pindah ke Tebingtinggi saat revolusi sosial 1946.

Menempuh pendidikan formal Sekolah Guru, Kursus Akuntansi Bond A – Bond B, Kursus Tik; Sekolah  Memasak. Beliau adalah pakar kuliner Melayu dan budaya Melayu. Hj. Rosmalina merupakan penggagas terbentuknya Himpunan Wanita Melayu Indonesia (HWMI) di Kota Tebingtinggi bersama Hj Nurlan Karim; dan awal diberi mandat pembentukan. HWMI adalah organisasi wanita Melayu di tubuh MABMI. 

Hj Rosmalina melestarikan kuliner asli Melayu, misalnya Manisan Halua khas Melayu. Berbagai jenis Halua langka, seperti buku bemban, tebukan asli dan sebagainya, ia ajarkan keseluruh pelosok negeri. Selain masakan Melayu, Hj Rosmalina juga mengembangkan budaya tutur Melayu.

Menikah di Tebingtinggi dengan Matdin Syah Putera bin Tengku Sortia, seorang TNI pada tahun 1958. Memiliki sembilan orang anak.* (dari berbagai sumber)

Amir Hamzah


Bernama lengkap Tengku Amir Hamzah gelar  Pangeran Indera Putera ibni Tengku Pangeran Muhammad Adil ibni Tengku Hamzah, (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun. Menurut catatan Tengku Abdullah Hod - Saudara Kandung Tengku Amir Hamzah, tanggal lahir bukan 28, tetap tanggal 11) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ku Busu, begitu panggilan buat Tengku Bungsu ini, lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Pada tahun 1918 Tengku Amir Hamzah masuk sekolah dasar berbahasa Belanda namanya “Langkatsche School” yang mempunyai 7 tingkatan kelas, didirikan oleh Sultan Langkat Tengku Abdul Azis pada tahun 1900 dengan mendatangkan guru-guru dari negeri Belanda.

Juli 1925 Tengku Amir Hamzah tamat dari H.I.S. (Hollandsch Inlandsche School) Tanjung Pura, Agustus 1925 ke sekolah M.U.L.O. (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Medan pada tingkatan “Voorklas” (kelas pendahuluan). Setelah tahun ke 2 Tengku Amir Hamzah dipindahkan ke Jakarta dan meneruskan kelas 2 di Christelyke MULO Manjangan sampai tamat tahun 1929. Setelah tamat dari M.U.L.O. di Jakarta, Tengku Amir Hamzah melanjutkan sekolahnya ke A.M.S. (Algemeene Middlebare School) di Jogjakarta 1929 - 1932. Penghujung 1932, Ku Busu kembali ke Jakarta memasuki Perguruan Tinggi, Rechtshooge School (Sekolah Hakim Tinggi). 1928 - 1932 Turut mempersiapkan Sumpah Pemuda & aktif dalam gerakan pemuda.
1930, menjadi Ketua Penyelenggara Kongres Pertama Indonesia Muda se-Indonesia, kemudian Tengku Amir Hamzah menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Jogja/Solo.Turut menggagas Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
1933 bersama-sama Armyn Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah menginisiasi pendirian majalah “POEDJANGGA BAROE” MADJALLAH KESOESASTERAAN & BAHASA.
1937 Kembali ke Langkat dan dinobatkan menjadi Tengku Pangeran Indera Putera dengan tugas menjadi Pangeran Kepala Luhak di Langkat Hulu.
1942-1945 Tengku Amir Hamzah merangkap tugas sebagai Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat.
29 Oktober 1945 Gubernur Sumatera Mr Teuku Muhammad Hassan mengangkat Tengku Amir Hamzah sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk daerah Langkat dengan berkedudukan di Binjai, sebagai pertimbangan bahwa Ku Busu adalah seorang republikan.


Kita menemukan banyak kosa kata Melayu dalam Puisi & Prosa karya Tengku Amir Hamzah, beberapa kosa kata itu kini jarang terpakai, sebut saja seperti:
1. Kaulah kandil kemerlap (Kandil=sejenis lampu yang bersegi)
2. Kujunjung di atas hulu (Hulu=kepala)
3. Kudaduhkan di selendang dendang (Daduh=timang –dlm bahasa Melayu Langkat, Deli, dll)
4. Dengan jarimu menirus halus (Menirus=menipis, tidak membengkak)
5. Gambuh asmara lurus lampai (Gambuh=berjangkit. Lampai=kecil, panjang, slim)
6. Umbai badai (Umbai=meluruskan yang kusut)
7. Runtuh ripuk tamanmu rampak (Ripuk=rusak. Rampak=rimbun)
8. Terapung naik jung bertudung (Jung=sejenis sampan)
9. Kini kami bertikai pangkai (Pangkai=berbeda pendapat)
10. Benang raja mencelup ujung (Benang Raja=pelangi)
11. Ranggitkan daku ke lengkung pelangi (Ranggit=gantung, kait)
12. Puadaimu padma-seraga (Puadai=sesuatu yang digelar untuk tempat duduk/laluan dari pembesar. Padma =Seroja. Seraga=lis penutup, Padma seraga=Kain yang bercorak seroja dengan ujung-ujungnya berhias).
13. Berjulang datang ubur terkembang (Julang = tampak menyembul tinggi, membubung tinggi, menjunjung atau menggendong di pundak tinggi tanda hormat).
14. Elang leka sayap tergulung (Leka = lengah, lalai krn tertarik hatinya kpd sesuatu).* (M Muhar Omtatok)


Dra. Tengku Sitta Syaritsa


Lahir di Perbaungan, 12 Februari 1938. Sejak kecil sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu Melayu dan melihat tari-tarian yang diiringi musik tradisional Melayu dalam upacara perkawinan dan keramaian lainnya di Istana Melayu Kesultanan Serdang di Kota Galuh - Perbaungan. Saat itu, untuk pertama kalinya ia melihat alat musik serunai, rebab, gedombak, gendang penginduk/penganak, dan sebagainya. Meskipun belum mengenal betul nama alat-alat musik tersebut, tetapi ia sering melihat dan ingat betul bahwa alat-alat musik tersebut selalu digunakan untuk mengiringi drama tari Melayu Makyong yang sangat populer di Istana Serdang. Kadang-kadang pertunjukan diselingi musik biola, gendang, dan tawak-tawak (tetawak). Musik ini digunakan untuk mengiringi ronggeng yang menari sambil menyanyikan lagu-lagu berirama lambat maupun cepat. Lagu berirama lambat yang dinyanyikan antara lain Mak Inang Pulau KampaiLagu Dua, dan Hitam Manis.

Kepandaiannya dalam menari Melayu sendiri diwarisinya dari orang tuanya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar dan dari Guru Sauti. Selain itu ia pernah pula belajar tari daerah Simalungun kepada Taralamsyah Saragih. Wanita yang pernah menjadi Karyawati RRI Nusantara I Medan ini menempuh pendidikan di Sindoro School Medan (1952), SMPN I Medan (1955), SMA Prayatna Medan (1958), Sastra lnggris di Medan (1979), dan mengikuti kuliah Dance Ethnology di UCLA , Amerika Serikat, selama 1,5 tahun.

Pertama kali melawat ke luar negeri tahun 1955 bersama grup tari milik abangnya, Tengku Nazly, selanjutnya telah berkali-kali mengikuti rombongan kesenian ke Malaysia (1960, 1963, 1967). Tahun 1968, ia menghidupkan lagi kumpulan kesenian milik Istana Serdang, yaitu Himpunan Seni Budaya Melayu ‘Seri Indera Ratu’ yang di pimpinnya sampai akhir hayatnya. Bersama grup tari itu, Ia aktif mengadakan pertunjukan di daerahnya, antara lain tampil dalam pembukaan Medan Fair (1973) dan pembukaan Marah Halim Cup (1974). Serta beberapa kali memimpin rombongan kesenian Sumatera Utara ke luar daerahnya, yakni tampil pada Pekan Raya Jakarta (1970), Pekanbaru (1972), Spanyol (1979) dan HUT Proklamasi RI di Jakarta (1977).

Bersama Orkes Tropikana, Pada 1959, merekam lagu-lagu Melayu asal Medan di Studio Lokananta Solo dalam piringan hitam. Tengku Sitta Syaritsa melantunkan lagu Tudung Saji, Seri Mersing dan Seri Banang.

Di masa hidupnya, almarhumah Tengku Sitta Syaritsa pernah menjadi dosen tidak tetap di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Pengurus dan anggota Himpunan Wanita Melayu Indonesia, serta anggota dan pengurus Himpunan Ratna Busana Medan. Tercatat telah menciptakan sejumlah tarian, diantaranya ‘Lenggang Jenaka’‘Lancang Kuning’ dan ‘Sendratari Tun Teja’. Selain itu, ia juga pernah menyusun dramatari Melayu Ramayana (1971), dan Zapin Mak InangInang Kecak PinggangLenggang Baru, dan Pok Anai-anai (1976).

Hasil karya tulisnyaa adalah ‘Masalah Tari Melayu di Sumatera Utara’, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Utara; ‘Kreasi Tari Berkesinambungan’, makalah dalam seminar yang diadakan oleh BKKNI Sumatera Utara; ‘Merangsang Kreativitas Tari’, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Dewan Kesenian; dan ‘Perkembangan Musik Melayu di Sumatera Utara’, makalah dalam seminar yang diadakan oleh Depdikbud.


Beberapakali mendapat penghargaan yang ia terima antara lain dari Universitas Trisakti, Pemerintah Daerah, TVRI Medan, USU, Medan Fair, Kanwil P dan K Medan, Menteri Muda Urusan Pemuda dan Menteri Penerangan RI. Tengku Sitta Syaritsa lah yang pertama kali mengkreasikan tari zapin, dengan menyertakan penari perempuan menarikan zapin.* (M Muhar Omtatok - dari berbagai sumber)