Jumat, 02 Maret 2018

Melawan Lupa Tragedi Sumatera Timur 1946



Oleh: Muhammad Muhar - Omtatok

Revolusi Sosial Sumatera Timur disebut oleh sebagian sumber merupakan gerakan sosial di Sumatera Utara Bagian Timur, terhadap penguasa Kesultanan dan Kerajaan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Masih menurut sebagian sumber, Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan anti feodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi orang terorganisir yang berujung pada pembunuhan Sultan, anggota keluarga kesultanan dan Kerajaan Melayu, golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia.

Beberapa saksi mata mengatakan,
“Ini bukanlah Revolusi Sosial, tetapi pembantaian besar-besaran”.
“Tak usahlah ditabalkan nama peristiwa ini menjadi Revolusi Sosial. Tak ada itu! Ini Pembunuhan masal di Sumatera Timur yang mesti diusut dan kebenaran sejarah mesti diluruskan”.
“Maret berdarah di Sumatera Timur adalah pembantaian masal”.



Apapun itu namanya, mereka yang telah membangun Pesisir Timur Sumatera Utara ini, telah dibunuh secara sadis, perempuan-perempuan diperkosa di hadapan ayahanda dan keluarganya, harta benda dirampas layaknya penggarap merampas hak ulayat.

Yang selamat dan hidup saat itu, harus lari bersembunyi entah kemana membawa nasib, dari satu kampung ke kampung lain, bahkan ada yang ketakutan hingga terdampar ke luar negeri.

Ini sebuah traumatik terwaris yang semestinya ada setawar sedingin bagi mereka dan turunannya di Sumatera Timur ini.

Coba lah kita amati photo photo lampau Sumatera Timur (kini berada di Provinsi Sumatera Utara), yang dahulu indah dengan istana-istana yang berornamen seni tinggi; di saat itu, dibakar habis. Istana Darul Aman Kesultanan Langkat diserbu dan dibakar, Istana Keraton Kota Galuh Kesultanan Negeri Serdang dijarah, Puri Kesultanan Deli dijarah hingga banyak bangsawan Deli diungsikan ke Malaya.  Demikian juga di Asahan, Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, dan memporak porandakan Bedagai, Padang - Tebing Tinggi, dan beberapa wilayah batubara dan lainnya.

Alahai, semua negeri di Sumatera Timur sama rata mengalami peristiwa menyedihkan, Seluruh negeri negeri Melayu, Simalungun hingga Karo. Para pembantai seperti diseluk syetan, lesap hilang prikemanusiaan.

Sebetulnya perih hati mengisahkan peristiwa lampau nan masih berbekas hingga kini, entah bila terobati luka meruyak.
*


Di Tanjung Pasir, kini berada di Kabupaten Labuhanbatu Utara, ada sebuah Kesultanan Melayu bernama Kualuh. Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Kualuh sedang terlelap, dan ada pula yang sedang sholat. Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul-pukul keras dari luar.

“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, putra Sultan Kualuh. Rupanya, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah yang lain.

“Tuanku mana? Mana Tuanku?” Tuanku adalah panggilan bagi Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh.
Dengan paksa, Tuanku yang sedang beribadah itu, mereka bawa ke kuburan Cina, Lalu Tengku Besar juga dijemput dan dibawa ke tempat yang sama.

Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.

Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat.

Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.

“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.
“Usahlah, biar kami saja yang urus,” ujar istri Sultan.

Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa tanpa ada adab bersopan. Dan kerabat istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan hingga kita tak pernah terkabar. Kerabat istana yang lain, termasuk perempuan ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar, mereka disiksa bathin dan kejiwaan.

“Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (Azan) selesai dikumandangkan, dan izinkan kami sembahyang sekejap.  Ini permintaan kami kepada kalian yang tak satupun kami kenal ini”, pinta Tuanku.

“Ah, tak penting sholat. Bunuh mereka !”, perintah pemimpin pembunuhan  itu.

Tersayat hati mengenang peristiwa pembunuhan ini. Tak terhitung berapa banyak korban di Kualuh, Panai, Kota Pinang, atau juga Sultan Bilah – Tuanku Hasnan terbunuh beserta sekian banyak lainnya.

“Macam ditetak sebatang buluh,
Ditetak buluh kecai terbelah;
Macam tak bertuhan mereka membunuh,
Mangkatlah bangsawan tiada bersalah”
*

Di Kesultanan Langkat, peristiwa ini pun tak kurang menyedihkan. Tak sedikit perempuan diperkosa dihadapan orangtuanya, lelaki dibantai teramat sangat mengejamkan. Di Kesultanan kaya ini, kehilangan banyak petinggi yang bermutu dan pakar.

Adalah Tengku Amir Hamzah, seorang sastrawan, Pangeran Langkat hulu serta wakil Pemerintah Republik Indonesia, juga turut dibunuh.

Pada 7 Maret 1946 dengan kendaraan terbuka, Tengku Amir Hamzah dan lainnya dijeput paksa. Saat itu ia berbaju putih lengan panjang, ia sempatkan melambaikan tangannya pada orang-orang yang ingin menyalaminya di jalan. Bersama tahanan lain, Amir dikumpulkan di Jalan Imam Bonjol - Binjai, lalu dikirim ke perladangan Kuala Begumit untuk disiksa dan dibunuh.

Anehnya, beberapa orang pemuda ternyata sempat mendatangi Tengku Kamaliah, istri Amir Hamzah, untuk memintakan apa-apa yang kiranya perlu dikirimkan kepada Tengku Amir Hamzah di camp penyiksaan.

“Ini lah daku titipkan teruntuk suamiku, juadah satu siya(rantang)- masakan Melayu. Dan ini sehelai kain sembahyang, dan sepasang baju teluk belanga putih, kerana Ku Busu tak lepas dari menderas Al qur’an saban hari, bawakan lah ini Al qur’an untuk beliau”, ujar Tengku Kamaliah.

Di tempat yang lain di Kuala Begumit, nyatanya pakaian Tengku Amir Hamzah diambil, diganti dengan celana goni. Para tahanan diperintahkan menggali lubang; untuk kuburan mereka sendiri.

Satu demi satu para tahanan ditutup rapat matanya. Tangan diikat kuat ke belakang.
Sang algojo ternyata tak lain adalah Mandor Iyang Wijaya.

Sebelum melakukan pembunuhan, ia mengabulkan permintaan terakhir Tengku Amir Hamzah. Tengku Amir Hamzah meminta dua hal.

Pertama, ia meminta tutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk sholat sebelum hukuman dijatuhkan.
Kedua permintaan Tengku Amir ini entah kenapa dikabulkan mereka.

Usai sholat, Sang Pujangga pun menerima ajalnya. Ia pergi menghadap Allah dalam usia 35 tahun dengan Kepala terputus dari badan.

“Aduhai dimana batang jerami,
Batang jerami usah dikerat;
Alahai dimana hati nurani,
Membunuh pejuang kekasih rakyat”
*


Pada tarikh 7- 8 Maret 1946, para Bangsawan Melayu Batubara diculik dan dikumpulkan di Labuhan Ruku.
Kemudian pada hari selasa 12 Maret,  mereka dibawa ke penjara di Pematang Siantar.

Tak lama berselang,  pada 26 Maret 1946 mereka dibawa lagi di Kampung Merdeka Berastagi,  tanpa kepastian untuk apa bahkan diintimidasi.
Di tanggal 30 Juni,  mereka dibawa lagi ke Raya Simalungun.
Selanjutnya pada 1 Juli 1946 dipindahkan ke Bah Birong.

Bangsawan Perempuan dibawa ke Tanjung Balai  pada 23 Maret 1946 - Juli 1946. Mereka ditawan dan hanya diberi makan dari bahan makanan ternak.

Semua harta benda dirampas dan tanah mereka sudah dipancang.
Kaum bangsawan yang dipulangkan, terpaksa hidup di ladang dan hutan.
Penyiksaan dan pembunuhan tak terhitung jumlahnya. Ada yang matanya dicongkel, kemaluan disayat sayat. Bahkan ada yang dicincang dan dibuang ke laut.

Sebut saja beberapa korban, yaitu: Tengku Nur bin Tengku Busu Abdul Somad Indrapura, Tengku Anif Indrapura, Wan Bakhtin kemanakan Wan Sakroni Tanah Datar, Orang Kayo Syahbandar Indrapura, Orang Kayo Achmad cucu Datuk Limo Puluh, Orang Kayo Musa juru tulis Datuk Limo Puluh, Saudagar Sohor dari Sungai Balai Kedatukkan Suku Duo.
*


Ada lah pula Tengku Sortia bin T alhaji Jamta Melayu, cucu dari Tengku Tebing Pangeran, ia adalah Tengku Penasihat Negeri Padang di Tebing Tinggi. Saat itu ahad malam 3 maret 1946, beliau sedang berada di rumah perkebunan Tongkah milik kerajaan di wilayah Kampung Muslimin yang kini terletak antara Simalungun dan Serdang Bedagai. Bersama istrinya, Panakboru Nunum Purba gelar Puang Maimunah dan anak-anaknya, ia didatangi Barisan Harimau Liar.

“Raja  mana… Raja  mana!”, ucap rombongan. Tengku Sortia digelari Raja , karena beliau pemimpin tertinggi di perkebunan tembakau itu.

“Rajo sodang sembahyang Isya, Kojap yo”, ujar Puang Maimunah.
Sebelum berujung kalimat Puang Maimunah, rombongan terus memasuki rumah dan membawa Tengku Sortia yang sedang bersujud dalam sholatnya.

Puang Maimunah mengikuti dari kejauhan. Dan Tengku Sortia dibawa ke tepi sungai deras, tidak diketahui apa yang terjadi.  Bisa saja dibunuh sadis dan dihanyutkan ke sungai.  Yang pasti rumah panggung milik beliau dijarah dan dibakar.

Hingga akhir hayatnya Puang Maimunah seperti hilang kesadaran,  acapkali ia menyusuri sungai,  acapkali pula ia menangis mengharapkan suaminya kembali.

“Begitu pisau hendak diasah,
Usah nafsu diperturutkan;
Begitu perih mengenang kisah,
Sebuah sejarah yang menyedihkan”
*

3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Kesultanan Asahan.

Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir - cucu Sultan Asahan yang ke X - Tuanku Muhammad Husinsyah, menyambut kedatangan ayahandanya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.

Rumah keluarga Tengku Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.

Ketika itu, Tengku Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahandanya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.

“Ontu(ayahanda) , tengoklah itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.
Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang. Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, dapat melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari disesuatu tempat yang tersembunyi.

Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Tengku Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Tengku Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa. Tengku Yasir pun lari ditengah sakitnya, menyelamatkan diri ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya.

Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah diculik sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.

Sebuah dokumen Belanda memperkirakan bahwa revolusi sosial 1946 ini menelan korban pembunuhan sebanyak 1200 orang di Asahan, belum lagi di negeri-negeri lain di Sumatera Timur. Dari Sungai Londir saat dievakuasi dikemudian hari, menemukan banyak kerangka korban yang terkubur tak teratur, bahkan ada di dinding-dinding tanah.


*
Sebetulnya masih banyak yang hendak saya kisahkan dari peristiwa nyata yang mengharukan ini. Namun tak kuat saya melanjutkan untuk menuliskan kisah-kisah kebenaran sejarah ini. Terlalu sedih hati  menuliskan kekejaman masa lalu yang berbekas hingga kini di hati puak Melayu di Sumatera Utara.

Aduhai Datuk Keramat Tasik Sijenggi,
Sedih pilu Bentan Telani;
Duhai Allah, begitu perih hati kami,
Mengenang kisah kekejam ini